Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 153)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 02 Juni 2022


Oleh, Dalem Tehang


SAMPAI tengah malam, suara canda tawa Basri dan Dino serta beberapa sipir, masih terdengar dari taman di depan kamar 20.


Sangat berbeda saat aku masih berada di kamar 8. Yang penuh ketenangan, meski belum semua penghuni kamar terlelap dalam tidurnya.


Tepat tengah malam, aku baru melaksanakan solat Isya, dilanjutkan dengan menulis pada buku catatan pribadi. Saat itulah, Rudy mendekat. 


“Lagi ngapain, om?” tanya dia, dan duduk didekatku. Yang masih menelungkupkan badan di kasur sambil menulis.


“Lagi nulis aja, Rud. Ya, sekadar buat catatan harian aja,” sahutku pendek. Dan bangun dari kasur.


“Buat apa itu, om?” tanyanya lagi.


“Yah, sekadar buat hiburan aja, ngilangin suntuk. Dan kalau buku sudah penuh, om kirim ke rumah. Buat bacaan istri dan anak-anak, agar mereka tahu apa aja yang om alami selama ngejalani penahanan,” kataku, mengurai.


“Bukannya nambah buat istri dan anak-anak om sedih ya, kalau ngebacanya,” kata Rudy.


“Nggaklah, Rud. Malah mereka terus ngerasa nyatu sama om. Soal sedih itu tinggal gimana kita ngelihatnya aja. Emang mana ada suami atau ayahnya masuk penjara, yang nggak sedih, kan gitu. Tapi om bersyukur, istri dan anak-anak om justru makin tegar dan tangguh mentalnya setelah om ngalami masalah sampai kayak gini,” ujarku, panjang lebar.


“Aneh ya, keluarga om. Kalau aku malah sebaliknya, om. Ibu sama bapakku sama sekali nggak pernah mau ngebesuk aku. Mereka nggak kuat ketemu aku di tahanan gini. Paling juga kakak yang laki, itu juga sebulan sekali datengnya,” jelas Rudy.


“Masing-masing orang kan emang beda-beda, Rud. Apa yang nurut keluarga om positif, belum tentu buat orang lain. Juga sebaliknya. Biasa aja itu mah. Yang jelas, dengan nulis itulah, cara om ngelepasin pikiran dan perasaan dari rasa suntuk,” sahutku. Membuka kartu.


Rudy menawariku untuk dibuatkan kopi. Menghargai tawarannya, buru-buru aku mengeluarkan kopi sasetan yang diberikan istriku. 


Juga beberapa bahan makanan dan minuman lain yang masih ada di dalam kantong plastik, aku minta untuk ditaruh di lemari tempat makanan.


Tidak lama kemudian, Rudy membawakan kopi seduhan. Kopi seger waras. Dia sendiri membuat teh manis.


Rudy banyak menceritakan lika-liku kehidupan di rutan. Mulai dari biaya yang harus dikeluarkan bila ingin memegang telepon seluler pribadi sampai kepada memasak sendiri di kamar.


“Boleh aja pakai hp disini kok, om. Asal terdaftar. Dan bayar. Kalau nggak terdaftar, pasti ketahuan. Nanti gitu kena razia, risikonya besar. Nggak cuma harus tetep bayar, tapi juga dibagal dan dimasukin ke straffcell,” urai Rudy.


“Berapa bayarnya kalau pegang hp sendiri?” tanyaku, penasaran.


“Rata-rata sih Rp 1,5 juta sebulannya, om. Itu yang terdaftar,” katanya lagi.


“Maksudnya yang terdaftar itu kayak mana?” tanyaku lagi.


“Misalnya, om mau pegang hp sendiri, nomor hp dan nama om dicatet sama om Dino. Nanti dia lapor ke pegawai penanggungjawab blok. Setiap akhir bulan, om harus bayar. Dan kalau yang om daftarin satu hp, nggak boleh pegang dua. Jadi hitungannya per-hp,” jelas Rudy.


“Gimana kalau pegang hp, tapi nggak usah didaftarin?” kataku, semakin penasaran.


“Baiknya nggak usah deh, om. Pasti ketahuan juga. Nanti malah susah sendiri om. Enakan kalau om emang mau pegang hp, daftarin aja. Lebih aman. Kalaupun mau ada razia, pasti dikasih tahu dan nanti diamanin sama petugas. Jadi nggak bakal ketangkep,” lanjut Rudy.


“Cuma bayarnya itu gede bener, Rud,” ujarku lanjut.


“Ini sudah lebih murah dibanding tiga bulan lalu, om. Kepala rutan sebelumnya kejem orangnya. Urusan hp aja harus bayar Rp 3 jutaan sebulannya. Pas ganti kepala rutan yang sekarang, lebih murah. Cuma Rp 1,5 juta sebulannya,” tambah Rudy.


“Kali bayaran segede itu buat-buatan pegawai yang ngurusin blok ini aja, Rud. Padahal sebenernya, nggak segitu juga maunya bos rutan,” kataku, menyelidik.


“Wah, nggak tahu aku kalau soal itu, om. Yang ku tahu, sekarang ini per-hp bayar Rp 1,5 juta sebulannya. Kalau nggak bayar, bukan cuma hp disita, tapi orangnya juga dibagal dan dimasukin straffcell selama dua minggu,” urai Rudy.


“Maksudnya straffcell itu apa sih, Rud?” tanyaku lagi.


“Itu lo, om. Sel tikus. Ukuran selnya cuma 1 x 2 meter aja. Terpisah lokasinya. Ada di Blok A. Cuma ada kamar mandi aja. Nggak boleh dibesuk selama kita masuk straffcell. Jangankan keluarga, sesama tahanan aja nggak boleh kasih apa-apa sama mereka. Sengsara bener kalau masuk sana, om. Jangan sampai ngalami om. Ngebayanginnya aja aku sudah ngeri,” ucap Rudy, seraya menggerakkan badannya. Penuh rasa takut.


“Coba besok anter om ngelihat straffcell itu ya, Rud. Pengen tahu juga kayak mana sih bentuknya,” kataku. Tidak bisa menutupi rasa penasaran.


“Waduh, baikan nggak usah deh, om. Amit-amit bener om. Kata orang, siapa yang pernah ngelihat straffcell, pasti nanti bakal masuk situ juga,” sahut Rudy dengan cepat.


“Nggak gitu juga kali, Rud. Kalau kita nggak nganeh-nganeh, ya nggak bakallah masuk kesitu. Jangan kamu ditakutin sama omongan orang yang nggak jelas gitulah,” kataku, menimpali.


“Beneran ini kok, om. Sudah banyak yang ngalaminya. Aku sering denger cerita soal itu. Juga cerita kalau rutan ini serem. Banyak makhluk gaibnya,” lanjut anak muda berpostur kurus itu, dengan wajah serius.


“Maksudnya banyak makhluk gaib kayak mana? Banyak hantunya, gitu ya?” tanyaku lagi. Asyik menggali pengetahuan Rudy.


“Bukan cuma hantu, om. Tapi makhluk gaib yang tugasnya ngeruntuhin kekuatan magis para tahanan. Makanya, rutan ini kerasa adem ayem aja. Karena begajul-begajulnya sudah rontok ilmu kesaktiannya begitu nginjekin kaki masuk rutan,” lanjutnya. 


“Emang yang kamu tahu, gimana ceritanya?” tanyaku lanjut.


“Cerita para ipis yang sejak rutan ini berdiri sudah masuk sini, sebelum digunain tahanan, didatengin orang-orang sakti untuk masang perontok ilmu buat siapa aja yang masuk sini. Dipasang di banyak tempat di kompleks rutan, om. Jadi, sehebat apapun yang masuk sini, pasti langsung kayak ayam sayur. Nurut semua. Nggak ada yang sok-sok-an. Kalau pun ada, jarang. Dan nggak lama, ada aja kejadian yang dia alami,” jelas Rudy, yang telah enam bulan menjadi penghuni rutan.


“Maksudnya, kalau ada yang sok-sok-an akhirnya sakit atau bunuh diri, gitu ya, Rud?” kembali aku bertanya.


“Kebanyakan sakit, om. Dan nggak lama, ninggal. Kalau yang bunuh diri, aku belum pernah denger ceritanya,” sahut dia lagi.


“Om kan baru disini, Rud. Saran kamu biar om baik-baik aja kayak mana,” kataku, seraya menatapnya dengan serius.


“Yang penting jangan sok-sok-an, om. Biasa-biasa aja. Bergaul sama tahanan lain dengan baik, hormat sama sipir. Jangan ngebantah perintah mereka, apa juga yang diomongin,” jawab Rudy.


Tiba-tiba terdengar suara Basri memanggil Rudy. Bergerak cepat anak muda itu, menuju taman di depan kamar. Tidak lama kemudian, ia masuk kamar. Dan setelah mengambil sesuatu di lemari pakaian, ia keluar. Selepasnya, kembali duduk didekatku.


“Biasa. Om Basri kehabisan rokok, jadi aku ngambil di lemari dia dulu,” ucap Rudy, menjelaskan apa yang baru ia lakukan.


“Memangnya tiap malem mereka ngobrol sambil begadang gini ya, Rud?” tanyaku.


“Nggak tiap malem juga sih, om. Cuma ya sering. Om Basri sama om Dino itu emang jarang tidur. Aku juga nggak tahu, kuat bener fisik mereka. Paling tidur cuma dua sampai tiga jam aja,” urai Rudy.  


Obrolan kami baru terhenti saat suara adzan Subuh mengalun merdu dari masjid. Rudy berpamitan untuk tidur. Ia menggelar kasur tipis miliknya pada bagian depan dari kamar kami. 


Kamar 20 memang terbagi dua. Satu di bagian dalam dengan dibuatkan lantai atas untuk tidur, dipisahkan dengan kamar mandi.


Terdapat ruang kecil memanjang, digunakan untuk menempatkan magiccom, teko listrik serta dispenser, dilengkapi dengan pintu besi. 


Dan bagian depan dengan ukuran 1,5 x 6 meter ditaruh dua kursi kecil berikut mejanya, serta hamparan lantai yang digunakan Rudy sebagai tempat tidurnya, berlapis kasur lipat tipis. 


Pada bagian depan inilah, pintu masuk utama kamar 20, dengan pintu besi berteralis baja ulir nan kokoh.  


Sepeninggal Rudy, aku langsung mengambil wudhu. Dan melanjutkan dengan solat Subuh serta kembali membaca Alqur’an. 


Baru saja aku melipat kain sarung untuk kemudian merebahkan badan, suara para tamping kebersihan mulai terdengar, seiring dibukanya gembok kamar mereka.


Karena rasa kantuk yang demikian kuat, akhirnya aku pun memilih untuk tidur, dibandingkan keluar kamar dan berolahraga di lapangan. (bersambung)

LIPSUS