Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 154)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 03 Juni 2022


Oleh, Dalem Tehang


AKU terbangun dengan mendadak, ketika kakiku dipukul dengan cukup kuat. Ternyata Dino yang melakukannya. Membangunkan dengan cara tidak wajar, karena akan dilaksanakan apel pagi. 


Caranya membangunkan aku tidur, memang kasar. Bukan menepuk seperti yang biasa dilakukan kawan-kawan di kamar 8 penaling maupun saat di polres, tetapi dengan memukul.


Sambil beberapa kali menguap, aku berdiri didekat jeruji besi. Rudy yang baru terbangun dari tidur, juga tampak masih terkantuk-kantuk. Kami mengikuti apel pagi, yang dilakukan dua orang sipir, didampingi seorang tamping. Yang mencatat jumlah setiap penghuni kamar pada buku absen.


Setelah apel pagi, aku lihat Dino memberi makan ikan-ikan hias di kolam yang berjarak sekitar 2 meter dari kamar kami. Aku berniat mendatanginya untuk menegur cara dia membangunkanku tadi. Namun, akhirnya aku urungkan. 


Pikiranku bergerak cepat. Mencari saat yang tepat. Karena ketepatan waktu dalam bertindak, lebih besar maknanya dibanding melakukan sesuatu yang besar, tetapi tidak tepat waktunya.  


Setelah mandi pagi, aku keluar kamar. Duduk di taman kecil. Menikmati sarapan dengan membeli nasi uduk yang dijajakan tamping. Dan kopi pahit buatanku sendiri.


 “Om sudah buat kopi ya? Mestinya ngomong aja, nanti aku buatin,” kata Rudy, begitu melihat aku sarapan dan telah siap secangkir kopi di meja taman terbuat dari semen yang ada di depanku.


“Santai aja, Rudy. Om biasa kok nyiapin apa-apa sendiri,” sahutku, sambil melepas seulas senyum.


Terdengar suara beberapa tahanan dari kamar 19 memanggil tamping. Minta dibelikan mie instan di kantin. Aku menitip untuk dibelikan air mineral tiga botol ukuran sedang.


Aku lihat, seorang pria berusia sekitar 40 tahunan, menatapku dari balik jeruji besi di kamar 19 dengan pandangan sejuk dan bersahabat. Ku anggukkan kepalaku pada dia. Ia pun menyahuti dengan anggukan kepala dan tersenyum. Saling menyapa tanpa kata. 


Seiring berjalannya waktu, pintu-pintu kamar yang lain pun dibuka. Setelah menaruh cangkir kopi dan air mineral di kamar, aku menuju ke kamar 34. Untuk bertemu dengan pak Edy.


“Kap masih tidur, Ayah. Baru abis subuhan tadi dia tidur,” kata OD kamar 34 yang memanggilku dengan sebutan Ayah.


Aku lihat, pak Edy memang masih lelap dalam tidurnya. Di kasur ukuran sedang, dengan posisi paling sudut di dalam kamar tersebut. 


“Ya sudah, nggak apa-apa. Nanti ayah kesini lagi,” kataku kemudian, seraya menepuk bahu OD yang masih muda belia itu.


“Ayah mau kopi nggak? Kalau mau, aku buatin,” ujar OD itu. Aku Cuma menggelengkan kepala dan kemudian meninggalkan kamar 34.


Saat aku sampai di depan kamarku, pria yang ada di kamar 19 dengan tatapan sejuk tadi, telah duduk di taman kecil. Tepat di depan kamarku.


Begitu melihat aku mengambil tempat di kursi dari semen yang ada di depannya, pria itu berdiri. Mengulurkan kedua tangannya.


“Aku Ino, om. Om baru masuk kamar 20 ya,” ucapnya, dengan suara datar. Sedatar pembawaannya.


“O iya, aku Mario. Baru tadi malem masuk kamar 20. Sebelumnya di kamar 8,” sahutku, dengan santai.


“Syukurlah om masuk kamar 20. Kamar bebas itu om. Kalau aku sudah sembilan bulan disini. Tinggal ngejalani hukuman enam bulan lagi, bebas,” jelas Ino dengan enteng.


“O gitu, sudah lama juga ya kamu disini. Emang kena kasus apa kamu, Ino?” tanyaku.


“Kasus pasir, om. Aku selama ini usaha jual beli pasir. Baru sekali ini kena apes. Gara-gara pengiriman pasir ke tempatku nggak dilengkapi izin. Padahal, sudah belasan tahun aku usaha ini, nggak pernah ada masalah. Cuma ya namanya kehidupan, ada aja sialnya,” tutur Ino, tetap dengan enteng.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mencoba memahami cerita kehidupan yang dialami Ino. Pria berbadan gemuk itu tampak sangat tenang. Bahkan kalem. Hanya sesekali saja ia bicara. 


“Kamu sudah ngopi belum, Ino?” tanyaku, beberapa saat kemudian. Ia menggelengkan kepalanya, seraya tersenyum kecut.


“Aku buatin kopi ya,” ujarku dengan serius. Ia menganggukkan kepala.


Setelah menyiapkan kopi dan gula di dalam gelas, aku menuju kamar 8. Meminta air panas di bekas kamarku itu. Tidak berselang lama, aku pun sudah duduk kembali bersama Ino. 


“Masyaallah, om. Terimakasih bener sama pelayanan om yang luar biasa ini. Jujur om, baru kali ini ada yang mau ngeladenin aku kayak gini,” kata dia dengan suara terharu. Tampak matanya memerah, menahan keharuan.


“Santai aja, Ino. Bukan kebetulan kita ditemuin disini. Dinikmati dan syukuri aja semuanya,” sahutku, seraya tersenyum.


“Kalau om kena kasus apa? Sudah ada agenda sidang apa belum?” tanya Ino, kemudian.


“Aku kena kasus 372 dan 378, Ino. Sampai sekarang, belum ada agenda sidangnya. Ya biar ajalah, nanti semua juga berproses. Nggak om pikirin soal itu mah,” jawabku, tetap dengan tersenyum.


“Bener itu, om. Nggak usah jadi beban pikiran urusan sidang atau hukumannya. Jalani aja dengan santai. Lepasin semua kesel dan dendam. Yang penting, jaga kesehatan dan berusaha bisa deket sama Tuhan,” katanya, dengan menatapku.


“Isi kamar 19 kayaknya banyak bener ya?” tanyaku, sambil menengok ke arah kamar tempat Ino selama ini bermukim.


“Ada 18 orang, om. Padet emang. Tapi besok, ada tiga orang yang bebas. Moga-moga aja, nggak dimasukin lagi tahanan baru,” jelas Ino.


Saat kami masih asyik berbincang, komandan pengamanan rutan yang sejak awal membantuku, mendatangi tempat kami. Ia langsung duduk di kursi tepat di sampingku.


“Pak Mario sudah pindah ke kamar 20 ya? Syukur kalau begitu. Bisa lebih nyaman dan bebas keluar masuk kamar. Yang lebih penting lagi, bisa solat jamaahan di masjid sampai Isya,” kata dia, setelah kami bersalaman.


“Iya, Alhamdulillah, pak. Tadi malam pindahnya. Cuma kayaknya, Basri sama Dino kurang bersahabat menerima saya. Bahkan pagi tadi, Dino membangunkan saya tidur dengan cara memukul kaki kenceng-kenceng. Saya khawatir, bakal bentur nanti kalau cara dia kasar begitu,” kataku, panjang lebar.


Spontan, wajah komandan pengamanan rutan itu, memerah. Tampak ada emosi yang tersulut dengan cepatnya. Tanpa bicara apapun, ia masuk ke kamarku. Saat itu, Dino sedang tidur. Tiba-tiba terdengar suara bak-buk-bak-buk dari dalam kamar.


“Maaf, Dan. Nggak tahu kalau ada komandan,” terdengar suara Dino dengan cukup kencang. 


Sesaat kemudian, tampak Dino diseret tangannya untuk keluar kamar. Dan diperintahkan komandan untuk duduk ndeprok di lantai depan pintu kamar.


“Kamu dipercaya jadi penanggungjawab blok, malah tidur. Kerjakan tugas dengan baik, jangan semaunya. Dan saya tidak mau, melihat kamu bertindak kasar sama pak Mario. Dia ini kawan saya. Minta maaf sama dia, karena tadi kamu membangunkan dia tidur dengan cara memukul kakinya keras-keras,” kata komandan pengamanan rutan dengan nada tinggi, sambil matanya menatap tajam ke arah Dino yang duduk ndeprok.


Dengan beringsut pelan, Dino pun mendekat ke tempat aku duduk. Dan tetap pada posisi duduk, ia mengulurkan kedua tangannya. Disertai ucapan permintaan maaf kepadaku. 


Ku tatap matanya dengan tajam. Tanpa mengucapkan satu kata pun. Aku tunjukkan kepada Dino, jika aku bukan tahanan kaleng-kaleng.


“Ya sudah sana. Urus itu kamar-kamar. Banyak yang belum dibersihkan. Cek semua. Saya paling tidak suka melihat orang tidur pagi-pagi,” lanjut komandan dengan terus menatap Dino. 


Dengan perlahan, pria kekar penuh tato itu berjalan. Memeriksa setiap kamar di Blok B. Runtuh kekasarannya akibat hentakan komandan pengamanan rutan.           


“Terimakasih bantuannya, pak,” kataku kepada komandan pengamanan rutan.


“Sama-sama, pak Mario. Sepanjang pak Mario tidak mencari masalah, saya pasti akan bantu. Saya sangat tidak suka dengan kekerasan dan kekasaran. Tapi, kalau dipaksa oleh keadaan, saya bisa lebih kasar dan keras,” tuturnya, menunjukkan karakter pribadi yang sesungguhnya. Lembut namun menyimpan keberingasan yang setiap saat bisa meledak.


Tidak lama kemudian, komandan pengamanan rutan, berjalan. Memeriksa setiap kamar di Blok B. Berbincang sesaat dengan para tahanan di setiap kamar, dan bergerak lagi. Setelah semua kamar ia datangi, ketika akan keluar blok, ia mengajakku. 


“Pak Mario, ayo kita jalan-jalan. Melihat blok-blok lain. Biar tidak suntuk. Anggep-anggep berwisata dan mencari hiburan,” ajaknya dengan serius. (bersambung)

LIPSUS