Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 157)

INILAMPUNG
Senin, 06 Juni 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


O iya, Rud. Apa kewajiban om di kamar ini? Berapa biaya perminggunya,” kataku, di sela-sela kami makan malam.


“Wah, aku nggak tahu soal itu, om. Om Basri dan om Dino nggak ngomong apa-apa soal om. Kalau orang sebelum om, emang bayar perminggunya Rp 200.000,” jawab Rudy.


“Coba kamu tanya ke om Basri atau om Dino soal kewajiban om ya. Sebab tadi waktu om tanya, kata om Basri, kamu yang tahu soal ini,” lanjutku.


“Ya nggaklah, om. Aku kan cuma kerjain apa yang disuruh om Basri sama om Dino aja. Mana berani aku nentuin-nentuin sendiri,” kata Rudy, dengan cepat.


“Ya sudah, nanti pas ada waktu, coba kamu tanya soal kewajiban om ya,” sambungku.


Sewaktu kami masih makan malam, dua orang sipir didampingi seorang tamping melaksanakan tugas apelnya. Ternyata salah satunya adalah Fani.


“Oh, bang Mario sudah pindah kesini ya?” kata dia, begitu melihatku berdiri.


“Iya, Fani. Baru kemarin malem. Alhamdulillah. Terimakasih kiriman makanan dan rokoknya ya. Sampai aku belum sempet ngucapin terimakasih waktu itu, karena lagi tidur,” kataku sambil menyalami Fani.


“Syukur kalau gitu. Santai ajalah, bang. Yang penting, abang tetep jaga kesehatan ya. Jangan banyak pikiran,” ujar Fani, dan meminta izin untuk melanjutkan apel tahanan ke kamar-kamar lain.


“Om kenal sama pak Fani ya?” tiba-tiba Rudy mengajukan pertanyaan.


“Kenal. Dulu kami sama-sama waktu kuliah,” sahutku. Pendek.


“Pak Fani itu ditakuti disini, om. Orangnya nggak banyak omong. Tapi juga nggak kenal kompromi. Kalau tahanan berbuat salah, pasti disanksi sama dia. Nggak peduli dia kenal baik sama orang itu,” ucap Rudy, mengurai pembawaan Fani.


Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tidak menyangka, jika Fani yang selalu berpenampilan familiar dan penuh senyum persahabatan, ternyata memiliki integritas yang begitu kuat dalam menjalankan tugasnya. Dan itu semua menggugah batinku untuk belajar darinya. 


Semakin kaya aku dengan pengalaman dan pemahaman akan sesama. Yang memang tidak bisa hanya dinilai dari tampilan lahiriyah semata. Seiring dengan itu, aku pun menyadari, betapa banyak yang sama sekali belum aku pahami dalam kehidupan ini. 


“Kok jadi ngelamun, om. Ngelamunin apa,” kata Rudy, mengejutkanku. Yang tengah terbawa alur pikiran.


“Nggak ngelamun sebenernya, Rud. Cuma lagi mikir aja, nggak nyangka kalau Fani ternyata orangnya teges seperti kata kamu tadi. Dia kan bawaannya slow dan selalu senyum,” ujarku, beberapa saat kemudian.


“Orangnya emang baik, om. Sama semua tahanan juga baik. Nggak beda-bedain. Tapi, begitu ada masalah, dia tegak lurus sama aturan. Nggak mau dia kasih toleransi. Makanya, banyak tahanan yng takut sama pak Fani itu, om,” urai Rudy.


“Bukan takut kali, Rud. Tapi segen,” sahutku, pendek.


Tiba-tiba Fani muncul di depan pintu, sambil tersenyum. Ia memberi isyarat, mengajakku berbincang di depan kamar. Kami pun duduk di kursi taman.


“Emang sudah tugas apelnya, Fan?” tanyaku.


“Sudah selesai, bang. Aku kan dapet tugas di blok tempat abang, malem ini. Jadi ya, seputeran sini aja,” sahutnya, sambil mengeluarkan rokok dari jaket yang menutup baju dinasnya.


Aku minta Rudy membuatkan kami kopi sasetan. Mengambil dari kiriman istriku, yang sudah aku taruh di lemari tempat makanan.


“Gimana ceritanya abang bisa masuk kamar 20 ini?” tanya Fani, dengan menyelidik.


Tanpa tedeng aling-aling, ku uraikan perjalanan panjang hingga akhirnya aku mendiami kamar for man tersebut. Tampak beberapa kali Fani mengangguk-anggukkan kepalanya. 


Sesaat ia bangun. Mendekat ke pintu kamarku. Meneliti data penghuni kamar. Yang terpasang di papan kecil, dengan masing-masing nama berikut pasal perkara dan hukuman penghuni, terbuat dari kertas karton tebal.


“Emang ada apa ya, Fani?” tanyaku, melihat ia tampak melakukan pengecekan dengan serius.


“Nggak apa-apa sih, bang. Disyukuri aja abang masuk kamar ini. Selain kamar penanggungjawab blok, kamar ini sebenernya buat tahanan yang sudah inkracht kasusnya. Yang sudah berstatus narapidana,” ucapnya, dengan santai.


“O gitu. Jadi salah dong aku masuk kamar ini ya, Fani,” kataku, dengan cepat.


“Kalau bicara aturan, ya salah, bang. Cuma kan, yang ngatur abang petinggi disini. Siapa juga yang berani masalahin. Kecuali emang orang yang mau cari-cari masalah. Pesenku, abang hati-hati aja,” lanjut Fani.


“Maksudnya gimana, Fani?” tanyaku dengan serius.


“Memang kamar ini kamar terbuka. Abang bebas kapan aja mau keluar. Cuma pasti ada aja yang nggak suka abang masuk ke kamar terbuka begini. Mungkin juga penghuni lama, bisa aja mereka buat masalah sama yang baru masuk sini,” tutur Fani, dengan suara perlahan.


Aku ceritakan kepada Fani pembawaan Basri dan Dino sejak aku masuk kamar 20, masalah membangunkanku tidur dengan kasar, dan apa yang dilakukan komandan pengamanan rutan terhadap Dino, hingga saat aku duduk di waktu keduanya sedang berbincang yang mendadak menghentikan pembicaraan. 


Mendengar ceritaku, Fani hanya tersenyum. Sesekali ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tidak mampu memahami, apa yang tengah ada di dalam pikiran dan hatinya. Karena untukku, kehidupan di rumah tahanan ini adalah dunia yang baru. 


“Abang nggak perlu khawatir. Apalagi takut. Yang penting, hindari aja bikin masalah. Bisa aja yang nggak suka sama abang, akan buat jebakan agar abang dinilai bersalah oleh petugas. Seingatku, sudah lebih dari empat orang yang masuk kamar ini, nggak ada yang betah. Paling lama bertahan sebulan aja,” kata Fani, kemudian.


Setelah Rudy menaruhkan dua cangkir kopi di meja tempat kami berbincang, Fani menyampaikan, bila penjara adalah dunia yang penuh jebakan, tipu muslihat, juga kekerasan. Meski banyak juga kebaikan yang ada di dalamnya. 


“Jadi, abang cermat-cermat aja. Kalau kata orang tua dulu, selalu tidurlah dengan satu mata terbuka, dan jangan anggap remeh sekitar, karena bisa jadi kawan sekamar itulah yang akan menikam saat kita tidur,” kata Fani, kali ini dengan nada sungguh-sungguh.    


“Terimakasih banyak masukannya, Fani. Aku pasti akan selalu waspada,” sahutku.


Tiba-tiba Fani memberi isyarat agar aku menengok ke belakang. Ke arah ruangan tepat di depan pintu masuk blok. Tempat para tahanan sering menonton televisi. Dengan perlahan, ku tengokkan wajahku. Tampak Basri dan Dino tengah memperhatikan aku dan Fani.


“Mereka lagi ngebaca siapa abang. Kalau mereka lihat, abang nggak punya banyak kawan sipir, pasti bakal dikerjain. Dimintain ini dan itu terus-terusan. Disuruh beli macem-macem kebutuhan mereka, dan tidak segen menjual-jual nama sipir,” kata Fani.


“O gitu, terus Fani,” ujarku, menyela.


“Sebaliknya, kalau mereka lihat abang bergaul baik dengan banyak sipir, tapi lewat main uang atau rajin kasih sesuatu, mereka akan lebih kenceng ngerjain abang. Jadi emang serba salah situasinya disini, bang. Pinter-pinter aja abang posisiin diri,” jelas Fani, dengan panjang lebar.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Memang tidak mudah meniti buih panas di rutan. Namun di sisi lain, ada tantangan buatku, untuk bisa berjalan di atas buih panas tersebut.


Fani mengingatkan aku, bahwa sesungguhnya yang sering menjadi masalah adalah sesama tahanan. Bukan petugas sipir dengan tahanan. Sesama tahanan itulah yang acapkali memainkan jebakan, tipu muslihat, dan praktik kekerasan. Dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi.


Banyak hal yang kami perbincangkan malam itu. Sampai kemudian, Fani melihatku telah beberapa kali menguap. Pertanda kantuk telah datang. 


“Abang istirahat aja ya. Aku di ruang depan. Nanti kalau mau tidur, aku ke lantai atas. Ada kasur disana. Kalau ada yang macem-macem sama abang, cepet kasih tahu aku,” ujar Fani, dan kemudian berpamitan.


Setelah aku masuk kamar, Rudy mengambil cangkir di meja depan kamar dan langsung membersihkannya di kamar mandi. 


Tanpa bicara lagi, aku langsung merebahkan badan di kasur. Dan bersiap untuk tidur. Sambil membaca doa-doa sebelum tidur, terngiang lagi perkataan Fani beberapa saat yang lalu. Banyak pesan yang ia sampaikan, dan itu harus benar-benar aku jalani, demi kebaikan dan ketenanganku sendiri.


Saat itu, Basri dan Dino belum masuk kamar. Mereka masih menonton televisi di ruang depan pintu masuk blok. Rudy juga keluar kamar. Ikut bergabung di ruangan depan, mencari hiburan dengan menonton televisi.     


Tidak tahu kapan mulainya, aku pun tertidur, dan benar-benar nyenyak, hingga setelah matahari mulai keluar dari sangkarnya, baru terbangun. Itu pun karena mendengar suara riuh-rendah tamping kebersihan menjalankan tugasnya. 


Buru-buru aku ke kamar mandi. Wudhu. Dan solat Subuh di atas kasurku. Saat masih merangkai doa, Rudy mendekat. Duduk di tepian kasur, tanpa bicara apapun. 


“Kenapa Rud?” tanyaku, setelah prosesi doa selesai.


“Rudy mau minta maaf aja. Nggak bangunin om, waktu subuh tadi. Kirain om nggak subuhan lagi karena bangunnya sudah siang,” kata dia dengan wajah merasa bersalah.


“Ya sudah nggak apa-apa. Lain kali, kalau waktunya solat dan om masih tidur, tolong bangunin ya, Rud. Kamu kan dapet pahala juga,” ujarku sambil menepuk bahunya.


Pria muda itu tersenyum. Ada kebanggaan di wajahnya. Entah karena apa. Saat itu baru aku sadari, bila Basri dan Dino tidak ada di tempat tidurnya lagi.


“Om Basri sama om Dino sudah bangun dari tadi, om. Mereka kan tidurnya emang sebentar,” ucap Rudy, seakan memahami apa yang aku pikirkan. 


Setelah mandi, aku minta Rudy membuatkan kopi pahit. Aku beli satu bungkus nasi kuning. 


Sarapan sambil tetap duduk dibidang tempatku. Tidak di ruang bagian depan yang terdapat kursi dan meja kecil untuk menaruh makanan. Ada kekosongan batin yang aku rasakan di kamar baruku ini. (bersambung)

LIPSUS