Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 158)

INILAMPUNG
Selasa, 07 Juni 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang  


SETELAH berolahraga pagi dengan memutari lapangan sebanyak 15 kali, badanku terasa semakin segar. Aku tambah dengan mengangkat barbel yang ada di Blok C. Keringat pun membasahi kaosku. Benar-benar terasa fresh fisikku. 


Saat matahari semakin meninggi dan aktivitas rutan mulai terlihat ramai, aku kembali ke kamar. Mandi. Dan setelahnya bertandang ke kamar 8 penaling. Meminta tamping kunci membukakan gembok pintu kamar tersebut. 


“Alhamdulillah, Babe masih mau main kesini,” sambut pak Waras, begitu aku masuk kamar dan duduk di lantai atas. Bergabung dengan beberapa tahanan yang sedang berbincang.


“Ya pasti tetep pengen main kesinilah, pak. Banyak ilmu yang aku dapet dari kamar ini,” sahutku, sambil tersenyum.


Mendengar suaraku, Asnawi yang sebelumnya masih bermalas-malasan bangun dari kasurnya, langsung duduk.


“Babe nambah segeran gitu masuk kamar terbuka. Alhamdulillah. Buatin kopi pahit dulu buat Babe,” kata Asnawi, seraya melihat ke arah OD yang tengah menyapu kamar.


“Gimana di kamar for man, Be? Lebih enjoy ya?” tanya Asnawi, dan mendekat ke tempat kami tengah berbincang.


“Kalau ukurannya kebebasan, iya lebih enjoy, Nawi. Kapan aja aku bisa keluar-masuk kamar. Bisa nongkrong di taman depan kamar atau bahkan ke pos penjagaan. Ngobrol sama para sipir. Tapi nggak ada kebersamaan. Adanya ya hidup masing-masing,” kataku, apa adanya.


“O gitu, kirain Babe dapet kawan sekamar yang makin nyatu. Jadi sohib beneran. Yah, sabar-sabar aja, Be,” tanggap Asnawi. 


“Maaf ini, Be. Aku pesen aja, hati-hati dengan orang yang baru dikenal. Karena gula dan garam kelihatannya sama, tapi beda rasanya,” tiba-tiba pak Anas menyela.


Aku tatap pria low profile tersebut dengan pandangan tajam. Aku tahu, ia menyimpan suatu pesan khusus dibalik perkataannya.


“Maksudnya apa itu, pak Anas. Babe kayaknya nggak paham,” ujar Asnawi.


Pak Anas tidak menjawab. Pria yang tersangkut kasus togel itu hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang mengandung berjuta makna. 


Dan aku tidak berani menterjemahkannya. Karena dengan hidup di rutan ini, aku semakin menyadari, jika putih tidak selalu bersih, dan hitam bukan berarti kotor.


“Aku seneng di kamar ini. Rasa persahabatannya begitu kuat,” kataku, kemudian.


“Bener itu, Be. Aku juga bangga bisa jadi bagian dari penghuni kamar ini. Makanya, beberapa kali ditawari pindah, aku selalu menolak,” pak Waras menyampaikan pendapatnya.


“Kita semua sudah rasain. Sahabat dalam kesulitan adalah segala-galanya. Karena itu, jangan sepelein persahabatan. Kehebatannya lebih besar daripada panasnya permusuhan,” ujar pak Anas, juga diiringi dengan senyuman yang menyimpan berjuta makna.


Saat kami masih berbincang, tiba-tiba Dika dan Aris berdiri di depan jeruji. Keduanya langsung menunjuk ke arahku.


“Kenapa?” tanyaku, pendek.


“Kami tadi ke kamar 20, Babe nggak ada. Perkiraan kami tepat, Babe pasti lagi kongkow disini,” kata Dika.


Asnawi meminta Aris dan Dika masuk ke kamar. Duduk bersama kami yang sedang bercengkrama.


“Pusing aku, bang. Pak Aris semaleman nangis terus. Sampai aku nggak bisa tidur. Sedih terus dia mikirin istrinya,” ujar Dika, sambil melihat ke arah Aris yang duduk di sampingku.


“Dika, kalau ada orang yang lagi sedih, jangan ngelarangnya nangis ya. Sebab, dia nangis itu bukan berarti nggak berdaya. Tapi justru dengan nangis itulah cara dia mempercepat sembuhnya duka,” sahutku, dan merangkul pundak Aris.


Aris pun memelukku. Pria yang sukses sebagai pengusaha dan politisi ini, memang tengah memerlukan dukungan. Karena kondisi istrinya yang masih kritis setelah kecelakaan lalulintas beberapa hari lalu.


“Jadi gini, sesedih-sedihnya hidup kita sekarang ini, atau semarah-marahnya kita sama takdir ini, percayalah masih banyak orang yang tidak seberuntung kita di luar sana,” tutur pak Waras, beberapa saat kemudian.


“Jadi kita harus tetep bersyukur dan ngerasa bahagia aja ya, pak,” ucap Aris, menimpali.


“Iya, emang harus gitu. Kalau kata orangtuaku: ora ono urip tanpo sandungan, ora ono masalah tanpo pungkasan. Sing penting, tenangno pikiranmu, ayemno atimu, lan yakin Gusti Allah mboten sare,” sahut pak Waras dengan memakai bahasa Jawa.


Di saat kami masing-masing tengah menelaah perkataan pak Waras, tiba-tiba pak Anas berdiri. Ditangannya terdapat kain sarung dan kopiahnya.


“Ayo, kita solat dhuha di masjid. Lanjut baca qur’an atau wirid. Hablum minan nas sudah kita wujudin, sekarang saatnya hablum minallah,” kata dia sambil mengajak kami.


Aku langsung berdiri. Tergerak hatiku untuk mengikuti perkataan pak Anas. Kebetulan, saat itu aku memang memakai celana panjang jeans dan di kantong sebelah kanan depan, sudah aku masukkan kupluk khas haji pemberian pak Waras. Dengan atasan kaos berkerah, aku merasa cukup layak untuk langsung beribadah.


“Aku sama Dika ambil sarung sama kopiah dulu ya, Be. Nanti kami menyusul,” kata Aris, yang bergegas ke kamarnya. Kamar 12.


Aku, pak Anas dan pak Waras jalan bersamaan menuju masjid. Yang terletak sekitar 150 meter dari Blok B. Selepas mengambil air wudhu, kami asyik dengan ibadah masing-masing.


Keasyikanku mengisi waktu dengan mendekat kepada Allah Sang Pemilik Kehidupan, terusik saat seorang tamping mendekat. Duduk di sampingku yang tengah mengaji.


“Pakde rupanya disini to. Aku cari-cari dari tadi. Sampai muter kesana-sini. Ada istri pakde sama adiknya di kantor,” kata tamping itu, begitu aku menoleh ke arahnya.      


“O gitu. Oke, sebentar ya,” sahutku. Dan sesaat kemudian, aku mengikuti langkah tamping untuk menuju ke kantor rutan.


Saat akan keluar pintu gerbang di samping pos penjagaan luar, tepat di depan kantor rutan, seorang sipir menahanku. Ia tidak memperbolehkan aku keluar, karena tidak memakai kaos bertuliskan WBP. 


Barulah aku tersadar, jika saat itu memang tidak memakai kaos wajib bagi tahanan di rutan yang akan menerima tamu. 


Aku sudah akan kembali dulu ke kamar untuk berganti kaos yang sudah disablon tulisan WBP, saat seorang sipir lain memanggilku.


“Om sudah dari tadi ditunggu sama tante. Nggak apa-apa, sekali ini nggak pakai kaos WBP, apalagi om kan dari masjid. Tapi, besok-besok wajib pakai kaos WBP ya, om,” kata sipir berusia sekitar 35 tahunan berbadan gempal itu, dengan ramah.


Aku pandangi sipir pertama yang sempat menahanku. Dia menganggukkan kepalanya. Pertanda setuju dengan keputusan sejawatnya. Tetap ada kearifan dan toleransi di tengah ketegasan para sipir dalam menjalankan tugasnya.


“Terimakasih pengertian dan atas izinnya. Lain kali inshaallah aku tetep pakai kaos WBP,” sahutku, sambil menundukkan wajah. Memberi hormat.


Kedua sipir itu kemudian membuka pintu gerbang tinggi dari besi ulir dengan cepat, dan mempersilahkan aku untuk segera masuk ke kantor rutan. Setelah melapor kepada petugas keamanan lain yang berada di dalam pos penjagaan luar.


“Alhamdulillah. Ayah sehat ya. Seneng bunda lihat ayah seger gini,” sambut istriku Laksmi, begitu melihatku setengah berlari menuju ke tempatnya, duduk di ruang kecil yang ada di sudut kantor rutan.


Ku peluk istriku dengan segenap rindu dan kebanggaan. Ku cium pipinya. Sambil tetap ku rengkuh badannya. 


Barulah ku peluk adikku Laksa. Juga dengan segenap rasa kangen dan kebahagiaan. Ia yang selalu setia menemani istri dan anak-anakku. Yang selalu mensupport dan mendoakanku secara terang-terangan. Ia yang tanpa segan dan malu selalu mengekspresikan kedekatan kami kepada siapapun dan dalam kondisi apapun.


“Bunda sama Laksa sudah lama ya, nungguin. Tadi ayah lagi di masjid. Habis solat dhuha lanjut baca qur’an. Jadi nggak tahu kalau dicari-cari sama tamping,” kataku.


“Sekitar 30 menitan kami disini. Nggak apa-apa kami nunggu lama juga, ayah. Apalagi, kami kan emang nggak ada rencana sebelumnya kalau mau ngebesuk ayah,” jawab istriku. Dengan nada santai.


“Kasihan kalau bunda sama Laksa lama nunggunya. Namanya di rutan, secara psikologis nggak enak juga,” kataku lagi.


“Nggak kok. Kami nyantai aja. O iya, ayah sudah pindah ke kamar yang baru ya. Katanya di kamar 20 ya. Gimana disana? Bener lebih nyaman,” kata istriku lagi.


“Alhamdulillah, ayah sudah tinggal di kamar yang baru. Lebih enak dan nyaman memang. Lebih bebas untuk keluar kapan aja. Terimakasih ya, bunda,” sahutku, dan kembali menciumnya.


“Alhamdulillah. Kalau ayah ngerasa nyaman, kan bisa terus sehat dan seger pikirannya. Bunda sama anak-anak dan keluarga juga, nggak kepikiran terus susahnya ayah disini,” lanjut istriku dengan wajah berbinar, ceria dan bahagia.


Kedatangan istriku Laksmi dan adikku Laksa, memang membuatku sangat bahagia. Mengelupas kegamanganku.  Apalagi mereka tampak tetap rileks, meski harus berada di lingkungan rutan. Ternyata benar, jika hidup itu sesungguhnya sederhana. Senyum tatkala senang, dan tertawa ketika sedih. (bersambung)

LIPSUS