Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 168)

INILAMPUNG
Jumat, 17 Juni 2022


Oleh, Dalem Tehang


JADI, kamu biasa mendadak makan bareng tahanan kayak gini, karena meyakini dzikir yang sama-sama diridhoi Allah, gitu ya Mika,” kataku, beberapa saat kemudian.


“Iya, kalau saya meyakininya gitu, om. Jadi, gerakan lahiriyah ini memang dikendalikan oleh batin. Dan itu pasti membawa kebaikan,” jawabnya, sambil terus mengunyah sate kambing yang memang renyah.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Diam-diam, aku kagum pada pria yang masih berusia 30-an tahun namun telah memiliki kedalaman pemahaman batin yang cukup kuat, berkat kedekatannya dengan Yang Maha Esa.


Dan semakin tersadari, bila proses penguatan pembelajaran dalam kehidupan, bisa dimana saja dan oleh siapa saja. Tanpa mengenal usia maupun status.  


“Saya perhatiin, om ini bawaannya tenang dan kalem-kalem aja,” kata Mika, setelah kami menyelesaikan makan sate lontong.


“Ya mau apa juga disini, Mika. Buat om, ini tempat untuk banyak-banyak muhasabah. Introspeksi diri. Juga perbaiki kedekatan sama Tuhan,” sahutku, ringan.


“Cocok itu, om. Lebih baik disini banyak-banyak perbaiki hubungan sama Tuhan aja. Hindari pertemanan yang nggak bagus. Saya yakin, meski disini memang tempatnya orang-orang bermasalah, tapi om bisa memilah. Kalau ngelihat gaya om, saya jadi teringat kata-kata bijak yang pernah disampaikan Confucius,” ujar Mika.


“Apa kata dia?” ucapku, menyela dengan cepat.


“Confucius bilang: benih bertumbuh dalam keheningan, tapi pohon roboh dengan suara yang hebat. Kehancuran bersuara nyaring, tapi pertumbuhan tidak heboh. Inilah kekuatan dari kesunyian. Bertumbuhlah dalam keheningan. Nah, moga-moga aja, om nanti tumbuh besar setelah melalui proses keheningan dari riuh-rendahnya dunia luar,” tutur Mika, panjang lebar.


“Aamiin. Terimakasih motivasinya ya, Mika. Kamu masih muda tapi dalem pengetahuanmu. Om seneng ketemu dan kenal kamu. Jadi banyak dapat pelajaran kehidupan,” kataku dengan tulus.


“Sama-sama, om. Saya juga seneng bisa kenal sama om. Soal pengetahuan, pasti om lebih banyak tahu. Cuma mungkin, om selalu dalam keraguan untuk ungkapinnya. Padahal, berbagi ilmu itu berpahala,” sahutnya, sambil kembali melepas senyuman.


“Nggak gitu juga, Mika. Om masih harus banyak belajar. Hanya karena om lebih tua dari kamu, bukan berarti om lebih banyak tahu soal ilmu kehidupan. Kedewasaan dan kemampuan pengetahuan seseorang itu kan, bukan diukur dari rentengan umur,” kataku lagi.


Mendadak Basri masuk ke kamar. Ia tampak terkejut dan menghentikan langkahnya, begitu melihat seorang petugas sipir sedang berbincang denganku pada dinihari itu.


“Nanti dulu tidurnya ya. Biasanya juga begadang sampai habis subuh. Saya lagi ada obrolan keluarga sama om Mario,” kata Mika sambil menatap Basri.


Spontan, Basri membalikkan badannya. Kembali keluar kamar. Sementara aku tengok, Rudy sudah tidur di ruang depan. Meringkuk kedinginan. 


Aku dan Almika kembali terlibat perbincangan. Ringan namun penuh masukan. Penguatan batin untuk menjalani kehidupan di rutan. 


Hingga suara adzan Subuh berkumandang. Merayapi semua kamar tahanan. Barulah Mika berpamitan, untuk solat berjamaah di masjid. 


“Terimakasih atas semuanya ya, Mika. Allah yang membalas semuanya,” kataku, sambil menyalaminya dengan hangat.


“Santai aja, om. Kalau ada perlu apa-apa, sampein aja. Kalau saya lagi lepas piket, langsung telepon. Jangan sungkan-sungkan,” ucapnya, seraya menuliskan nomor telepon selulernya di kertas yang ada di rak tempatku.    


Sepeninggal Almika, aku langsung mengambil wudhu. Dan solat. Dilanjutkan dengan membaca Alqur’an. Saat mendekati waktu apel pagi, baru aku sudahi membaca kitab suci.


Seusai mengikuti apel pagi, mulailah aku merebahkan badan di kasur. Untuk tidur. Aku pesankan kepada Rudy, untuk membangunkanku pada jam 09.00.


“Emang nggak sakit kepala, tidur cuma dua jam aja, om,” ucap Rudy. Cengengesan.


“Lebih baik sakit kepala daripada istri dan anak-anak om nanti nunggu kelamaan waktu jam besukan, Rud,” sahutku dan memulai tidur.


Tepat pukul 09.00, Rudy membangunkanku. Dengan menepuk telapak kakiku. Perlahan. Rupanya, ia memperhatikan betul pergeseran jarum jam yang ada di kamar kami. Dan tidak ingin membuatku kecewa. 


“Pas jam 09.00, om,” ucap dia, begitu melihat aku membuka mata.


“Oke, terimakasih, Rud,” kataku, sambil bangun dari tidur dengan mengucek kedua mata yang terasa masih berat untuk dibawa melek. 


“Sudah Rudy buatin kopi untuk om. Barusan aja. Jadi masih panas,” lanjut Rudy, seraya menyerahkan cangkir berisi kopi pahit kesukaanku.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, Rud. Ternyata kamu ini sebenernya tanggap ya. Cuma selama ini belum kamu maksimalin aja karakter positif itu,” kataku, menatap Rudy.


Anak muda itu hanya tersenyum. Dan kemudian beranjak pergi. Keluar kamar. Setelah beberapa kali meneguk kopi pahit, aku bergegas ke kamar mandi. Membersihkan badan.


Saat aku menjemur handuk di tempat jemuran dari besi yang memanjang di tepi taman, Rudy mendekat.


“Om mau sarapan apa? Mau beli, apa Rudy buatin?” tanya dia.


“Tolong buatin mie rebus aja, Rud,” sahutku. 


“Nggak beli nasi uduk, apa nasi kuning, om,” tanya Rudy lagi.


“Nggak usah. Kamu kan bilang mau buatin kalau aku nggak beli sarapan. Lagian, nanti aku besukan, istriku pasti bawa makanan berat. Sayanglah uangnya kalau buat beli nasi uduk, nanti juga ketemu nasi kok,” kataku panjang lebar.


Rudy langsung masuk kamar. Membuka tempat penyimpanan makanan, dan mengambil satu bungkus mie instan punyaku. 


Beberapa saat kemudian, aku sarapan mie rebus sambil duduk di depan taman. Pikiranku sudah membayangkan betapa bahagianya hatiku akan bertemu istri dan anak-anakku. Terutama Bulan. Karena anak gadisku itu belum pernah menengok sejak aku menjadi penghuni rutan.     


“Kok makannya sambil melamun, bang,” sebuah suara membuyarkan lamunanku.


“Oh, rupanya bos ya. Maaf. Lagi kebayang nanti istri sama anak-anak mau dateng. Rasa senengnya sejak sekarang sudah aku rasain,” sahutku, sambil memandang pria yang masih berstatus bupati itu.


“Alhamdulillah. Memang, setelah kita di penjara gini, baru terasa betapa seneng dan bahagianya hati kalau ketemu istri dan anak-anak ya, bang. Rasanya nyesel, kenapa dulu-dulu kita sibuk bener sama kegiatan di luar rumah, sehingga kurang banyak waktu untuk mereka,” kata dia seraya melepas senyum kecutnya.


“Dulu kita banyak di luar rumah, kan juga berjuang buat bahagiain mereka, bos. Mana tahu kalau akhirnya kita malah dipisahin kayak gini,” ucapku, menimpali.


“Yah, namanya perjalanan hidup ya, bang. Nggak bisa juga kita nyeselin yang sudah terjadi. Sepahit atau separah apapun kondisi saat ini, tetep harus disyukuri itulah. Kita nggak tahu hikmah dari semua ini,” katanya lagi.


“O iya, kabarnya sudah mau sidang ya, bos?” tanyaku, sambil terus menikmati mie rebus buatan Rudy.


“Rencananya, mulai minggu depan sudah sidang. Nanti, pengacaraku juga mau dateng. Kami perlu koordinasi sebelumnya,” jawabnya.


“Apa perasaan bos ngadepin masa persidangan ini?” tanyaku lagi.


“Apa ya. Biasa-biasa aja sih sebenernya, bang. Nggak ada sesuatu yang buatku ngerasa terganggu. Baik pikiran maupun perasaan,” kata sang bupati, dengan suara datar.


“Nggak ada rasa khawatir atau gimana gitu ya, bos,” lanjutku, dengan terus memandang wajah simpatiknya.


“Nggak ada. Aku enjoy-enjoy aja kok. Aku sudah pelajari tahapan-tahapan persidangannya. Apalagi, pengacaraku juga care saat kami diskusi. Jadi ya, nyaman aja aku ngadepin masa sidang nanti,” jelasnya, tetap dengan melepas senyuman.


Sesaat aku terdiam. Baru beberapa saat kemudian, mengangguk-anggukkan kepala. Aku kagumi ketenangannya menghadapi masa persidangan. Saat-saat yang akan secara resmi mengubah jalan kehidupan seseorang yang terlilit sebuah perkara pelanggaran hukum.


“Kalau bang Mario sendiri, kapan mulai sidangnya?” tanya dia kepadaku.


“Sampai saat ini, aku belum tahu. Pengacaraku belum koordinasi lagi. Lagian, seperti kata bos tadi, aku juga sudah pelajari tahap demi tahap proses persidangan. Ya sudah, jalani aja. Apapun nanti yang diputusin majelis hakim, ya terima aja,” ujarku.


“Kok kesannya bang Mario menyerah gitu sih,” kata sang bupati, menyela.


“Bukan menyerahlah, bos. Kalau kata seorang sahabatku, kepasrahan pada suatu keadaan itu, bukan berarti kita menyerah. Tapi, sebuah kesadaran yang tinggi akan hakekat penerimaan atas takdir,” kataku.


“Iya juga ya, bang. Mau dibolak-balik kayak mana juga, atau mau main apa aja, kalau sudah garisan takdir, nggak mungkin kita bisa ngehindarinnya. Cocok itu. Aku setuju. Dan setelah di dalem sinilah, aku yakin bener akan kekuatan takdir itu. Maka, bener yang diomongin nenek moyang kita dulu, jangan sekali-kali melawan takdir,” tanggap sang bupati. Kali ini, nada bicaranya penuh penekanan. (bersambung)

LIPSUS