Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 173)

INILAMPUNG
Rabu, 22 Juni 2022


Oleh, Dalem Tehang




BABE dari mana? Hujan gini malah keluyuran,” sapa Asnawi, kap kamar 8. 


“Tadi asharan di masjid, Nawi. Terus hujan, jadi ikut kajian qur’an dulu di masjid. Pas balik dan mau masuk kamar, Basri lagi ada obrolan serius sama sipir. Akhirnya main ke kamar 25. Terus kesini. Silaturahmi,” jawabku.


“Alhamdulillah, terus bisa jamaahan di masjid ya, be. Kami seneng lihat Babe terus sehat dan enjoy kayak gini,” kata Asnawi dan mendekat ke jeruji tempatku berdiri. Bersalaman.

 

“Alhamdulillah, Nawi. Semua ini berkat bimbingan kawan-kawan. Utamanya kamu sama pak Waras dan pak Anas,” sahutku.


Pak Waras dan Pak Anas yang saat itu tengah berbaring, tiba-tiba bangun dan mendekatiku. Kami bersalaman penuh kehangatan. Bahkan kerinduan. Seakan sudah lama tidak pernah berjumpa.


“Kenapa jadi kayak reunian gini ya?” Asnawi menukas, sambil tertawa ngakak.


“Babe ini emang ngangenin, kap. Makanya begitu ketemu, rasanya pengen meluk,” kata pak Waras, juga sambil tertawa.


“Ngomong-ngomong, ngajinya sudah juz berapa, be?” tanya pak Anas.


“Juz 1 aja belum selesai, pak. Kan kata pak Anas, sekalian baca artinya. Jadi ya pelan-pelan aja, sambil mahami maknanya,” jawabku, terus terang.


“Alhamdulillah. Baca qur’an itu memang nggak perlu buru-buru, be. Yang penting, pahami bener apa makna dari yang kita baca. Pesan apa yang tersimpan di dalam ayat-ayatnya. Itu lebih mulya ketimbang buru-buru khatam, tapi nggak paham nilai-nilai yang ada di dalamnya,” kata pak Anas, panjang lebar.


“Siap, pak. Inshaallah aku bisa ikuti arahan pak Anas. Ternyata memang luar biasa rasanya kalau ngaji sambil mahami artinya ya, pak,” sahutku dengan memandang pak Anas.


Pria hafal qur’an yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang sol sepatu itu, hanya tersenyum. Dan kemudian menundukkan wajahnya. 


Aku tahu, ia tengah beristighfar. Sahutan atas sanjunganku barusan. Ia amat takut hatinya menjadi riya, dan di dalam pikirannya muncul pernik kesombongan. Sosok pria yang tawadhu.


Ketika suara adzan Maghrib menggema, aku pun berpamitan. Ku lihat Rudy berdiri di dekat pintu kamarku. Kamar 20. Aku memberi isyarat, jika aku akan solat ke masjid. Ia hanya menganggukkan kepalanya.


Kembali aku ke masjid. Mengikuti jamaahan solat Maghrib. Setelahnya, aku kembali ke kamar. Basri dengan dua orang sipir, masih terlibat pembicaraan. Kali ini aku tidak lagi peduli. Tetap masuk kamar. Langsung membersihkan badan. Mandi dan berganti pakaian. 


Selepasnya, merapihkan kasur, dan mengambil buku catatan. Mulailah aku asyik dengan kegiatan rutin dalam mengekspresikan lelakon di rutan. Sementara, terdengar suara hujan kembali menguat, mengenai atap asbes kamar. 


Saat Rudy masuk kamar, aku minta dibuatkan minuman sereal. Satu bungkus roti kiriman dari istriku yang ku simpan di dalam laci rak dekat tempat tidur, menjadi teman sereal saat memasuki tenggorokanku. Dan cukup mengenyangkan.


Rasa kantuk mendadak mengencang. Tanpa berusaha melawan, aku pun menikmati dorongan untuk tidur. Sampai kemudian, telapak kakiku terasa ada yang menepuk-nepuk. Perlahan. Ternyata Rudy.


“Kenapa, Rud?” tanyaku, sambil membuka kedua mata dengan perlahan.


“Ada kiriman, om. Dari pak Fani,” kata Rudy dan menyerahkan satu kantong plastik. 


Setelah ku buka, ternyata berisi nasi bungkus dengan lauk ayam bakar kecap, satu bungkus kopi dan gula, serta dua bungkus rokok. Alhamdulillah.


“Pak Fani-nya mana, Rud?” tanyaku lagi kepada Rudy.


“Sudah pergi lagi, om. Tadi dia masuk, tapi ngelihat om lagi tidur, cuma nitip ini aja untuk dikasih ke om,” sahut Rudy.


Melihat nasi berlauk ayam bakar kecap, perutku mendadak berbunyi. Musik keroncong bertalu-talu. Lembut namun mengusik.  


“Kamu sudah makan?” tanyaku kepada Rudy yang berdiri di dekatku yang masih duduk di atas kasur. OD kamar 20 itu hanya menggeleng.


“Kamu buat mie aja. Ambil satu dari punya om. Ayo, makan bareng,” kataku kemudian.


Aku tahu, Rudy belum makan karena memang tidak ada yang bisa ia makan. Dan aku memiliki stok makanan di dalam lemari makanan. Hidup ini, nyatanya, memang mesti berbagi. Menerima dan memberi. Terima dan kasih.


Bergegas Rudy bergerak. Dan tidak lama kemudian, ia duduk di sampingku, dengan membawa piring berisi mie goreng. Kami pun makan malam bersama.


“Pak Fani itu baik bener sama om ya,” kata Rudy, di sela-sela kami makan.


“Alhamdulillah, Rud. Allah mengirim orang-orang baik kalau kita mau merubah diri menjadi orang baik. Walau kita belum baik,” jawabku. 


Tampak Rudy menganggukkan kepalanya. Seakan memahami apa yang aku sampaikan.   


“Sebenernya, Rudy ini malu sama om. Sering bener om kasih Rudy makanan. Padahal, Rudy nggak berbuat apa-apa sama om,” kata Rudy.


“Santai aja, Rud. Semua rejeki itu sudah diatur oleh Allah. Apa yang kamu makan ini, sebenernya ya memang rejekimu, cuma dititipin lewat om. Gitu juga nasi bungkus ini, Allah nitipin lewat pak Fani. Jadi, bersyukur aja. Allah pasti ganti rejeki orang-orang yang ngebantu kita dengan kebaikan dan keberkahan,” sahutku, masih sambil menikmati ayam bakar kecap kiriman Fani, sipir rutan yang pernah sama-sama kuliah denganku.


“Jadi, kita tetep harus pede kalau Allah pasti kasih rejeki ya, om,” ucap Rudy.


“Ya memang harus yakin kalau Allah pasti beri rejeki. Tapi kamu harus inget, percaya diri memang penting, sadar diri yang lebih penting lagi,” kataku.


“Maksudnya kayak mana, om?” tanya Rudy.


“Ya kita harus percaya diri kalau Allah selalu beri kita rejeki memang, Rud. Tapi yang lebih penting, kita harus sadar diri. Sudahkah kita ikuti apa perintah dan larangan-Nya? Tanya aja sama diri sendiri. Dan jangan bandingin diri kita sama orang lain. Ngenilai orang lain, boleh aja. Jangan ngehakimi,” jelasku. 


Kembali Rudy menganggukkan kepalanya. Tampak ia terus mencoba memahami apa yang aku sampaikan. Meski hatiku bicara, bahwa anak muda ini masih sangat ringkih jiwanya dalam menerima kenyataan harus menjalani kehidupan di dalam tahanan. (bersambung)

LIPSUS