Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 175)

INILAMPUNG
Jumat, 24 Juni 2022


Oleh, Dalem Tehang


ABANG ada apa?” tanya dia, begitu aku sudah duduk tenang di depannya. Sambil menghisap sebatang rokok.


Dengan ringkas, aku ceritakan apa yang semalam terjadi. Perilaku sipir muda usia yang cukup arogan.


“Tapi nggak sampai ada kekerasan kan, bang?” tanya Fani, dengan wajah serius.


“Nggak adalah, Fani. Begitu aku minta dia keluar dan tunggu di depan kamar, dia malahan ngeloyor jalan ke pos. Itulah yang akhirnya membuatku datang juga ke pos,” jawabku, dengan suara tegas.


“Kok dia buat laporan kalau abang sempat mukul dia?” tanya Fani lagi. Tetap dengan nada serius.


“Nggak ada itu, Fani. Nggak gila juga aku ini. Masak tahanan mukul sipir. Tapi, kalau dia ngakunya begitu, ya silahkan aja. Visum aja nanti. Kalau nggak mau, aku gebuk aja sekalian. Kepalang tanggung,” kataku dengan nada tinggi. 


Saat itu aku menyadari, cerita di dunia penjara memang bisa dibolak-balik sekehendak sang penguasanya. Namun, rasa takut sudah terlanjur hilang pada jiwa dan pikiranku. Apapun yang akan terjadi, aku siap menghadapi. Dengan satu keyakinan, tidak ada sesuatu apapun yang terjadi jika bukan kehendak Pengeran Gusti Allah.


“Kayaknya nanti abang mau dipanggil KPR. Karena laporannya abang mukuli sipir,” kata Fani. Kali ini ada nada khawatir dalam bicaranya.


“Siap. Kapan pun dipanggil, siap menghadap. Tapi aku pastiin ke kamu ya, Fani. Nggak ada pemukulan itu. Mau sampai mana juga atau mau diapain juga, nggak bakal aku ngakui sesuatu yang nggak aku perbuat. Risiko apapun siap aku tanggung,” sahutku dengan wajah serius.


“Oke, aku percaya sama abang. Nanti aku bicara dengan KPR soal ini. Abang yang sabar dan terus belajar kendaliin diri ya. Jangan mudah terpancing. Banyak pola provokasi yang bisa dimainkan sama siapa aja disini,” tutur Fani dan kemudian beranjak pergi.


“Terimakasih atas semuanya, Fani. Terimakasih juga untuk nasi ayam bakar kecap dan rokoknya semalem. Alhamdulillah. Inshaallah rejekimu terus mengalir dan barokah,” ucapku dan menyalami Fani, yang segera meninggalkan tempat kami duduk.


Sepeninggal Fani, aku kembali duduk. Menundukkan wajah. Menatap tanah. Seakan tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Berkali-kali aku hela nafas panjang. Mencari ketenangan. 


Tiba-tiba Rudy mendekat, sambil membawa cangkir. Ia taruh di meja semen tepat di depanku.


“Ngopi dulu, om. Kalau mau sarapan, bilang aja. Nanti Rudy beliin,” kata Rudy seraya memandangku.


“Beli nasi kuning aja, Rud. Sekalian buatmu sarapan,” sahutku, sambil merogoh kantong training yang aku pakai untuk mengambil uangnya.


Setelah uang ditangan, Rudy berjalan keluar blok. Menemui tamping yang masih menyusun jajaannya di depan pintu blok. Sesaat kemudian, ia taruh nasi kuning di atas piring berikut satu botol air mineral. 


Aku dan Rudy sarapan sambil menikmati kicauan burung parkit dan suara air mancur dari kolam ikan yang berjarak 2 meter dari tempatku duduk.


Baru saja selesai sarapan, Gerry datang menemuiku yang masih duduk di depan kamar. Ia menanyakan persoalan tadi malam.


“Alangkah cepetnya nyebar kabar itu, Gerry. Siapa yang cerita sama kamu,” kataku.


“Disini, tembok aja bisa cerita, bang. Apalagi yang memang ada kejadiannya dan diperhatiin orang,” sahutnya.


Dengan ringkas, aku sampaikan peristiwa yang terjadi sehingga menyulut amarahku kepada seorang sipir.


“Tapi bener abang nggak mukul sipir itu?” tanya Gerry, sambil menatapku dengan serius.


“Ya benerlah, Gerry. Aku masih bisa kendaliin diri kok. Nggak mungkin langsung main tangan. Cuma emang geregetan sih,” kataku, seraya tersenyum.


“Syukur kalau gitu, bang. Sebab kalau sampai terjadi pemukulan, bukan cuma abang dimasukin starfsel selama dua minggu tanpa menerima besukan, tapi juga nggak bisa ajuin permohonan remisi ke depannya. Pokoknya, jadi susah aja kalau sampai berkelahi, apalagi mukul sipir,” ucap Gerry, panjang lebar.


Aku terdiam. Tidak menyangka bila dampaknya sampai demikian besar jika tidak mampu mengendalikan diri dengan baik. Pantas saja, beberapa kali Fani mengingatkan aku untuk terus bisa mengendalikan diri. 


Memang, seringkali kita menyederhanakan sebuah perkataan berupa pesan. Sangatlah jarang kita menelisik hingga ke dalam akan nilai yang tersimpan dibalik pesan tersebut.


“O iya, bang. Kalau abang belum ada rencana, ayo kita main ke tempat bimker,” kata Gerry, setelah kami berdiam beberapa saat.


“Siapa itu bimker?” tanyaku, spontan.


“Maksudnya bimbingan kerja, bang. Ada yang menyebut juga bimgiat alias bimbingan kegiatan. Tempatnya di samping gereja,” ujar Gerry, mengurai.


“Emang disana ada apa ya, Gerry?” tanyaku lagi, penasaran.


“Banyak, bang. Bagi tahanan yang punya keahlian khusus, disediain tempat dan sarana buat ekspresiin bakat minatnya. Mulai dari yang suka membuat patung dari kayu maupun semen, sampai ke urusan mesin. Nantilah abang lihat sendiri. Pasti kagum abang sama karya-karya yang ada disana,” tutur Gerry.


Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Sama sekali belum mengetahui bila di rutan ini terdapat tempat khusus untuk tahanan dan napi melakukan kegiatan spesifiknya.


Dan benar apa yang dikatakan Gerry. Saat kami memasuki sebuah ruangan yang cukup luas sebagai lokasi bimker, banyak hasil karya tangan para tahanan yang terpajang. Mayoritas berupa seni karya pahat. Mulai dari perahu, patung-patung pewayangan, dan banyak lagi lainnya.


Beberapa tahanan yang tampak memang menjadikan tempat tersebut sebagai wahananya mengekspresikan keahlian, sudah berdatangan. Wajah mereka berbinar saat memandangi hasil karyanya. 


“Berapa lama buat patung arjuna ini?” tanyaku kepada seorang pria berkacamata tebal yang tengah berdiri memandangi patung nan artistik tersebut.


“Hampir tiga bulan. Ini aja saya belum puas. Nanti mau buat yang lebih besar lagi. Biar gagahnya makin kelihatan,” jawab pria itu, dengan tetap memandangi hasil karya pahatannya.


“Dapetin kayu-kayunya darimana?” tanyaku lagi.


“Pesen sama kawan. Sering juga petugas yang siapin, karena dia pengen dibuatin karya pahat. Kalau kawan saya yang ahli ngelukis, sampai nolak pesenan, saking banyaknya,” kata pria yang mengaku sudah dua tahun mendekam di rutan.


Aku dan Gerry berkeliling ruangan bimker atau bimgiat. Ada belasan lukisan hasil karya tahanan yang terpajang di sepanjang tembok ruangan. Tersusun rapih dan menarik. Mayoritas lukisan abstrak dengan pesan kerinduan akan kebebasan.


Seorang anak muda masuk ruangan bimker. Dan langsung duduk di kursi kecil yang ada di depan sebuah kanvas besar. Tampaknya ia merupakan pencipta semua lukisan yang ada di tempat tersebut.


Matanya menyorot tajam ke arah kanvas yang ada di depannya. Peralatan melukisnya bertaburan di bawahnya. Khas seniman; awut-awutan namun menghasilkan karya mengagumkan. Menanggalkan kerapihan, menonjolkan keindahan atas torehan tangan.


Gerry meminta pelukis muda usia itu membuatkan lukisan istrinya. Yang tengah berdiri tegak di puncak sebuah gunung nan menjulang. 


“Buat hadiah ulang tahun istri, bang. Dua bulan lagi sih. Tapi sejak sekarang aku pesennya. Takut nggak selesai pada waktunya,” kata Gerry mengenai lukisan yang dipesannya.


Setelah bersepakat dengan tahanan muda usia itu, Gerry menyerahkan sejumlah uang sebagai tanda jadi. 


“Bikin yang terbaik ya. Dibawahnya tulis namaku. Jadi kayak aku yang ngelukisnya,” ujar Gerry kepada sang pelukis. Anak muda itu hanya mengangguk dan tersenyum.


Saat akan meninggalkan ruangan bimker, aku hitung setidaknya ada delapan tahanan yang tampaknya memang menjadi pengisi tempat tersebut setiap harinya. Mereka sudah demikian terbiasa melakukan kegiatan di tempatnya masing-masing.


“Bagus juga ya, Gerry. Rutan ini tetep nyediain tempat orang-orang berkeahlian khusus kayak gini,” kataku saat kami berjalan menuju pos dalam, tepat di samping ruangan bimker.


“Banyak hasil karya tahanan yang sudah terjual selama ini, bang. Mereka bisa tetep hidup disini layaknya diluar. Kawan-kawan petugas itu rutin beli hasil olah tangan mereka. Tapi sebenernya, bukan cuma yang ada di bimker ini aja yang buat karya-karya antik gitu,” ucap Gerry.


“Maksudnya, Gerry?” tanyaku. Polos.


“Selama ini, banyak kawan-kawan yang buat berbagai hasil karya seni di kamar masing-masing. Bentuknya ya macem-macem. Buatnya bisa pakai bekas bungkus rokok, bekas koran bahkan ada yang pakai paralon. Kalau bahan yang diperluin nggak ada di dalem, bisa nitip sama petugas untuk dibeliin diluar,” lanjut Gerry.


Aku kembali hanya bisa menganggukkan kepala. Ternyata masih banyak kegiatan positif lain yang aku baru ketahui di rutan ini. Yang hal itu menjadikan warga binaan pemasyarakatan tetap menemukan penyaluran bakat minatnya. (bersambung)

LIPSUS