Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 176)

INILAMPUNG
Sabtu, 25 Juni 2022


Oleh, Dalem Tehang


GERRY mengajakku duduk di teras depan pos penjagaan dalam. Berbaur dengan beberapa sipir yang sedang bertugas. Ketika datang seorang tamping, Gerry memintanya membeli beberapa bungkus rokok dan panganan kecil di kantin.


Perbincangan penuh persahabatan pun semakin asyik. Nyaris tidak terasa jika aku dan Gerry adalah tahanan, dan yang kami ajak berbincang merupakan sipir yang bertugas menjaga kami. Saling menempatkan diri adalah kunci indahnya sebuah kebersamaan, meski berbeda status.


Tanpa terasa, matahari semakin naik dan panasnya membuat badan menjadi gerah. Aku pun berpamitan untuk kembali ke kamar. Setelah merapihkan tempat tidur dan mandi, aku keluar kamar.


Bertandang ke beberapa kamar yang ada di sekitar selku. Menyapa penghuninya. Berbincang ringan. Meski posisiku di luar kamar, sedang para penghuni yang aku datangi, tetap di dalam kamar masing-masing.


Aku melihat, seorang tamping regis berjalan cepat. Menuju kamar 34. Tidak lama kemudian, pak Edy keluar dari kamarnya. Sambil merapihkan kerah kaos bertuliskan WBP yang dipakainya, pria setengah baya yang terlilit skandal mafia tanah itu, berjalan tergopoh-gopoh.


“Ada pengacara istriku, be. Nanti kita ngobrol ya,” kata pak Edy, saat melewati tempatku sedang berbincang dengan penghuni kamar 31.


“Bismillah aja, pak Edy,” sahutku, pendek.


Seorang penghuni kamar 31 mendekat ke jeruji besi saat mengetahui yang aku sapa tadi pak Edy.


“Kasihan saya sama pak Edy itu. Belum sempet saya keluar dari sini, dia sudah masuk lagi,” ucap pria berusia sekitar 45 tahunan. Ada nada keprihatinan di dalam ucapannya. 


“Ya, dia aja yang terus-terusan bikin ulah. Merasa kalau dulu orangtuanya tuan tanah, jadi nggak segan-segan ngerebut tanah yang sudah dibeli orang sebagai punya dia. Padahal, orang sudah punya sertipikat, dia cuma modal surat tanah. Itu juga dibuat tahun 1950-an dulu,” seorang penghuni kamar 31 yang lain, menyela.


Mendengar perdialogan tersebut, aku merasa jengah. Betapapun salahnya pak Edy, ia adalah sahabatku. Daripada mendengar ghibah berkepanjangan, aku pun bergeser dari depan jeruji besi kamar 31.


Aku lihat, di depan kamar 25, masih ada tahanan yang sedang bermain tenis meja alias pingpong. Tertarik juga untuk mencoba permainan olahraga tersebut.


Begitu aku mendekat, seorang tahanan yang tengah bermain, mendadak memberikan bednya kepadaku.


“Silahkan main, pakde. Kebetulan bener ini, aku emang sudah capek,” kata pria berusia 30 tahunan tersebut.


Tidak mau berlama-lama, aku terima bed tersebut. Dan mulailah aku bermain tenis meja. Saat merasakan keringat mulai mengucur, aku meminta permainan dihentikan. Dan meninggalkan tempat permainan untuk mencari persinggahan selanjutnya.


Sasaran silaturahmiku selanjutnya adalah kamar 12. Tempat Aris dan Dika dikurung. Dari balik jeruji besi, aku panggil mereka berdua yang tengah duduk dengan lamunan masing-masing di bidangnya.


“Wuih, tumben Babe main kesini ya, Dika,” kata Aris, yang langsung bangun dari tempatnya dan berjalan ke arahku serta menyalami dari dalam kamarnya.


“Kangen sama kamu dan Dika aja makanya aku kesini. Kalian sehat-sehat ajakan,” sahutku, sambil tersenyum.


“Alhamdulillah, kami sehat-sehat aja kok, be. Malah kami tadi agak pangling sama Babe. Kok jadi lebih mencorong gitu wajahnya, dan badannya langsingan,” lanjut Aris, juga sambil melepas senyumnya.


“Kalian sudah pada mandi apa belum sih? Kok baunya nggak enak gini,” kataku, mengalihkan pembicaraan.


“Kalau aku sudah mandi, bang. Aris yang belum,” kata Dika dengan cepat.


Tanpa berkata apa-apa, Aris membalikkan badannya. Dan setengah berlari melewati beberapa tahanan lain yang sedang duduk, untuk menuju kamar mandi. 


Selepas mandi dan berganti pakaian, Aris kembali mendekat ke jeruji besi. Tempat aku dan Dika berbincang. 


“Pakai parfum dulu, Ris. Biar tetep wangi,” kataku sambil memandang Aris.


“Ngapain sih, be. Disini mah nggak perlu wangi. Yang penting tetep jaga kebersihan badan,” sahut Aris.


“Jangan kamu rubah kebiasaan diluar setelah hidup di dalam rutan dong. Kamu kan biasanya perlente, wangi parfummu lembut semerbaknya. Kok sekarang jadi kayak nggak bergengsi lagi ngurus badan sendiri,” ujarku, dengan tetap memandang Aris.


“Ya sudah kalau mau Babe kayak gitu,” kata Aris, menukas. 


Dan bergerak ke tempat pakaiannya. Menyemprotkan parfum ke badan dan kaos yang dipakainya.


“Nah, kalau sudah wangi gini, baru aku minta tamping bukain pintu. Kita bertiga ke kantin. Kalian kan pasti belum sarapan,” ujarku, yang segera memanggil tamping kunci Blok B.


Sesampai di kantin, Aris memilih sarapan nasi uduk, sedang Dika menikmati bubur ayam. Kami terus berbincang ringan dan riang. Tiba-tiba pak Hadi ikut bergabung di tempat kami. Sambil membawa piring berisi lontong sayur.


“Seger bener kayaknya pak Mario hari ini. Habis mimpi apa semalem? Kalau setelah ada keributan dengan sipir malah bisa fresh gini, boleh juga sering-sering terjadi salah paham,” ujar pak Hadi. Ada seulas senyum penuh makna di bibirnya.


“Emang abang habis ada masalah sama sipir ya?” tanya Dika, menatapku. Aku hanya tersenyum.


“Beneran habis ribut sama sipir, be? Kok kami nggak denger ya,” Aris menimpali.


“Bukan ribut. Seperti kata pak Hadi tadi, sekadar salah paham aja. Ya biasalah, namanya juga sesama manusia, dimana aja pasti pernah ada kesalahpahaman. Nggak usah kita masalahin,” kataku, menjelaskan.


“Tapi infonya, pak Mario bakal disidang sama KPR lo,” pak Hadi menukas.


“Ya kalau pun disidang, aku harus patuh. Bisa apa juga kita disini selain taat dan patuh,” jawabku, ringan.


Saat kami masih bercengkrama, seorang tamping regis mendatangi tempat kami.


“Om Mario, dipanggil KPR sekarang,” kata tamping itu dengan suara tegas.


“Siap, aku tinggal dulu ya kawan-kawan,” sahutku sambil berdiri. Selembar uang pecahan Rp 100.000 aku berikan kepada Dika untuk membayar sarapan.


Tanpa menunggu jawaban dari kawan-kawan, aku mengikuti langkah tamping. Menuju kantor rutan. Proses pelaporan di pos penjagaan dalam dan luar, berjalan mulus. Selain aku sudah memakai kaos bertuliskan WBP, juga karena yang memanggilku adalah KPR. Kepala Pengamanan Rutan. (bersambung)


LIPSUS