Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 177)

INILAMPUNG
Minggu, 26 Juni 2022


Oleh, Dalem Tehang

 

SESAMPAI di ruang KPR, sudah ada sipir muda yang sebelumnya sempat bermasalah denganku. Ia duduk di kursi sofa yang berada di bagian depan tempat pimpinannya, sambil menundukkan wajah. 


Saat itulah aku baru ketahui namanya. Bima. Sebelumnya, aku sama sekali tidak mengetahui namanya. Karena ia memakai jaket yang menutup baju dinasnya.


“Jadi begini, pak Mario. Saya mendapat laporan anggota saya. Saudara Bima. Dia mengatakan, tadi malam sempat terjadi kesalahpahaman, dan pak Mario melakukan pemukulan terhadap dirinya. Mengenai wajah bagian kiri dan dada kirinya. Saya ingin konfirmasi mengenai hal ini, sebelum saya mengambil keputusan,” kata KPR, setelah aku duduk di sofa bagian ujung.


Setelah itu, aku diberi kesempatan untuk menjelaskan duduk permasalahannya. Dengan terinci, aku sampaikan apa yang sesungguhnya terjadi. Dan aku siapkan Rudy sebagai saksi dalam persoalan ini. 


“Yang pasti, saya tidak melakukan kekerasan sama sekali, Dan. Saya tahu status saya adalah tahanan. Tidak mungkin saya melakukan hal-hal bodoh semacam itu. Walau memang, saya tersinggung berat dengan cara sipir ini yang sama sekali tidak menghargai saya selaku sesama manusia,” uraiku lanjut.


“Pak Mario benar-benar tidak melakukan pemukulan?” tanya KPR dengan menatap tajam kepadaku.


“Tidak, pak. Saya siap menanggung risiko apapun bila saya dusta. Agar fair persoalan ini, sebaiknya dilakukan visum terhadap saudara Bima. Apapun hasilnya nanti, itulah faktanya,” kataku, dengan tegas.


Aku melirik Bima. Tampak sipir muda itu kelihatan gelisah. Aku juga meminta KPR untuk mendatangkan Rudy sebagai saksi.


Tidak berselang lama, Rudy masuk ke ruangan KPR. OD kamar 20 tersebut menjelaskan secara detail peristiwa yang terjadi. Sama persis dengan apa yang aku sampaikan sebelumnya. 


Setelah menyampaikan kesaksiannya, Rudy diperintahkan KPR untuk kembali ke Blok B, diantarkan tamping regis.


Ketika kembali ditanya KPR mengenai adanya pemukulan, sipir Bima bersikukuh bahwa hal tersebut memang terjadi dan akulah pelakunya.


Melihat kekukuhan pengakuan Bima dan pernyataanku, akhirnya KPR menyetujui untuk dilakukan visum.


“Supaya terang benderang persoalannya, saya setuju dengan pak Mario untuk dilakukan visum. Bagaimana?” kata KPR.


“Itu yang fair, pak. Dan mohon maaf serta mohon izin, bila diperkenankan, saya siap membiayai visum tersebut. Karena saya inginkan fakta yang benar secara ilmiah, sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi,” tegasku, seraya menatap Bima yang masih menundukkan wajahnya.


“Kamu siap dilakukan visum, Bima? Ingat ya. Ini bukan main-main. Kamu sudah melakukan satu pelanggaran, yaitu meminta secara paksa kepada tahanan. Dan kalau hasil visum ternyata tidak terdapat bukti fisik telah terjadi pemukulan, berarti dua pelangaran SOP telah kamu lakukan. Kamu pasti paham sanksinya,” kata KPR sambil menatap wajah Bima.


Bima hanya menundukkan wajahnya. Badannya tampak bergetaran. KPR memandang ke arahku. Ada kernyitan pada dahinya. Aku menangkap sinyal dari gestur tubuhnya, bila KPR meragukan kebenaran atas pengakuan anak buahnya.


“Mohon maaf, Dan. Sebaiknya segera saja dilakukan visum. Sehingga terdapat fakta kebenaran dari persoalan ini,” ujarku, setengah mendesak KPR untuk segera bertindak.


Aku pernah diberitahu seorang sahabat, memanfaatkan situasi pada saat keraguan sedang mengendap di jiwa dan pikiran seseorang, adalah salah satu langkah untuk mencapai kemenangan. Dan saat inilah, aku mainkan situasi tersebut. 


“Kalau Bima takut menjalani visum, berarti dia membuat laporan bohong, Dan. Sesuai SOP petugas keamanan rutan, sanksinya adalah penonaktifan selama satu bulan dan diusulkan untuk dipindahtugaskan,” ujarku lanjut. Kali ini dengan penekanan untuk mem-pressure mental Bima, sipir muda usia tersebut.


Tampak KPR kembali mengernyitkan dahinya. Aku tahu, ia tengah menelaah perkataanku mengenai SOP soal sanksi sipir yang membuat laporan bohong. 


“Kalau saudara Bima tetap keberatan untuk divisum, saya akan membuat laporan tertulis kepada Kakanwil Kemenkumham mengenai persoalan ini, dengan tembusan ke Dirjen Pemasyarakatan,” kataku buru-buru, agar KPR tidak mendalami mengenai SOP yang aku sampaikan. 


Karena sesungguhnya, mengenai SOP terkait sanksi bagi sipir yang membuat laporan bohong, yang aku sampaikan sebelumnya, sepenuhnya adalah hasil pikiranku sendiri. Sebab, aku memang tidak tahu dengan pasti bagaimana SOP untuk petugas keamanan rutan. 


Melihat situasi menjadi berbalik, yang bisa memberi ancaman juga bagi dirinya, akhirnya KPR kembali menanyakan kepada Bima untuk kesiapannya dilakukan visum.


Mendadak Bima bangkit dari duduknya. Berdiri dengan sikap sempurna dan memberi hormat kepada KPR. Mendapati anak buahnya memberi hormat, KPR pun berdiri dari kursinya. Membalas penghormatan Bima.


“Lapor, Dan. Saya mengaku salah, dan siap menerima hukuman,” kata Bima dengan suara kencang. 


Setelahnya, ia kembali memberi hormat. Namun tetap berdiri di tempatnya. 


“Duduk di tempatmu tadi. Dan sampaikan apa kesalahanmu,” kata KPR, tampak suaranya bergetar. Menahan amarah.


Sambil menarik nafas, Bima menyampaikan bahwa tidak benar aku melakukan pemukulan kepada dirinya sebagaimana yang ia laporkan sebelumnya. 


Ia juga membenarkan apa yang aku sampaikan mengenai peristiwa yang sebenarnya terjadi. Juga pernyataan Rudy sebagai saksi mata atas persoalan di kamar 20. 


“Jadi kamu mengarang mengenai laporan ada pemukulan itu?” tanya KPR. Bima mengangguk.


“Oke. Sekarang kamu keluar. Masuk ke pos penjagaan luar. Tunggu sampai ada perintah selanjutnya,” lanjut KPR. Suaranya masih bergetar. Nyata sekali amarahnya belum terlampiaskan.


Selepas Bima meninggalkan ruang kerjanya, KPR mendekatiku. Duduk di sofa yang sama. Ia menyampaikan permohonan maaf atas peristiwa yang terjadi. Sekaligus mengingatkan aku untuk semakin bisa mengendalikan diri dan menjadi WBP yang bijaksana.


“Sama-sama, Dan. Saya juga mohon maaf, telah merepotkan Komandan. Inshaallah, ke depannya hal semacam ini tidak akan terulang,” tanggapku dengan sungguh-sungguh.


Tidak beberapa lama kemudian, aku pun keluar ruang kerja KPR, dan kembali ke blok. Didampingi tamping regis, aku melangkah santai saat akan melapor kepada petugas di pos penjagaan luar.


“Jadi si Bima yang berulah ya, pak. Kenapa nggak sekalian aja tadi di ruangan KPR digebukin,” kata komandan jaga pos luar, begitu aku masuk ke pos untuk melapor.


Aku tidak menjawab. Hanya tersenyum dan menyalaminya. Aku melihat Bima duduk di kursi plastik yang ada di sudut kiri pos penjagaan luar. Menundukkan wajahnya. Menjalankan perintah KPR. Sampai ada perintah selanjutnya.


Sesaat kemudian, aku dan tamping regis keluar pos penjagaan luar dan berjalan masuk kompleks penahanan. Menyisir tepian lapangan untuk melapor lagi ke pos penjagaan dalam.


Sesampai di pos penjagaan dalam, dua orang sipir yang sebelumnya asyik bermain dengan gadgetnya, spontan menghentikan kegiatannya dan menanyakan persoalanku. Secara ringkas aku sampaikan kesimpulan persoalan yang terjadi.


“Memang sudah saya duga, nggak mungkin pakde main tangan seperti yang diadukan Bima. Ya syukur kalau akhirnya semua selesai dengan baik. Jaga badan baik-baik aja, pakde,” kata seorang sipir berusia 30 tahunan sambil memandangku dengan tatapan tajam.


“Alhamdulillah. Semua sudah terang benderang, dan Bima yang mengakui kalau laporannya bohong. Terimakasih atas sarannya,” sahutku sambil tersenyum. 


Tamping regis mengantarku hingga ke depan kamar 20. Saat itu, ada beberapa orang sedang duduk di kursi taman depan kamar. Termasuk Basri dan Dino. Namun aku terus saja melangkah. Langsung masuk ke dalam kamar. Ingin leyeh-leyeh sebentar. (bersambung)

LIPSUS