Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 181)

INILAMPUNG
Kamis, 30 Juni 2022


Oleh, Dalem Tehang


BAGUS bener caramu mengingatkan om untuk bisa kuat disini, Mika. Seneng om sama gayamu,” kataku, beberapa saat kemudian.


Almika hanya tersenyum. Sipir muda berpembawaan kalem itu, menurut beberapa sipir lainnya, memang sosok yang selalu memberi muatan pada setiap langkah atau perkataannya. 


Bahkan, ia hanya akan berbicara bila yang disampaikannya mempunyai makna. Meski ketika dalam suasana bercanda, ia tidak pernah kehilangan gaya humornya.


“Yang om rasain paling berat selama disini apa?” tanya Mika, dengan wajah serius.


“Belajar sabar, Mika. Itu yang paling berat om rasain. Tahu sendiri kan, dengan ratusan orang dalam satu blok, banyak aja yang berlaku aneh-aneh. Bahkan ada aja yang sengaja memprovokasi. Nah, om sering hampir hilang sabar kalau ngelihat yang macem-macem itu,” uraiku, terus terang.


“Wajar kalau itu, om. Emang disinilah tempatnya dipaksa buat bisa sabar. Pelan-pelan, om bisa kok jadi orang yang sabar, bahkan ikhlas. Yang penting, om yakini kalau dengan sabar itu, banyak hal bisa didapet nantinya,” tanggap Mika, dengan nada santai. Tidak ada kesan menggurui sama sekali.


“Maksudnya wajar itu gimana, Mika?” tanyaku.


“Ya, semua orang yang masuk sini, mayoritas yang dirasain paling berat itu buat bisa sabar. Jadi, yang om rasain selama ini manusiawi aja. Bukan sesuatu yang abnormal. Tapi om harus yakin, dengan sabar itulah akan mengubah hidup om ke depan,” jelas Mika. Dengan nada suara yang kalem. Bahkan nyaris tanpa penekanan sama sekali. Mengalir begitu saja. 


“Maksudnya, lewat sabar itulah kehidupan ke depan bisa lebih baik, gitu?” kataku, menyela.


“Iya, gitu om. Kalau om hampir kehilangan kesabaran, inget aja kalau sabar itu bisa mengubah impian jadi kenyataan. Mengubah kegagalan jadi kesuksesan, kesedihan jadi kebahagiaan, penantian jadi pertemuan. Dan masih banyak lagi lainnya. Intinya, om harus tancapkan di hati dan pikiran, kalau dengan sabar itulah kehidupan lebih baik yang om inginin bisa terwujud,” lanjut Mika, panjang lebar.


Aku kagumi pengetahuan Almika yang begitu luas. Yang ia sampaikan dengan penuh kesantunan. Karakternya pun sangat baik. 


Menjalankan tugas sebagai sipir tanpa merendahkan tahanan. Sipir muda usia itu memahami benar, jika ia menjaga sesamanya. Sama-sama manusia. Sama-sama makhluk Tuhan. Terlepas dari persoalan salah dan dosa yang dijaganya.    


Saat aku akan berbicara lagi, tiba-tiba datang seorang tamping regis. Langsung berdiri di depan pintu kamarku. Setelah memberi hormat kepada Mika, ia menyampaikan, bila aku kedatangan tamu. Istri, adik, dan lawyerku.


“Ayo, om. Sekalian sama aku ke depannya,” ujar Mika.


Setelah berganti kaos yang bertuliskan WBP, dan memakai celana pendek, aku pun keluar kamar. Memberitahu pak Edy dan pak Sibli yang masih bercengkrama di taman depan kamar, bila aku ada besukan.


Ditemani Almika dan tamping regis, aku berjalan menuju kantor rutan dengan membawa kantong plastik berisi pakaian kotor, untuk dibawa pulang oleh istriku dan dicuci di rumah. 


Setiba di kantor rutan, kami langsung naik ke lantai 2. Menuju ke ruang konsultasi hukum. Mika yang menemaniku, membuka pintu ruangan. 


Istriku Laksmi spontan berlari, begitu aku masuk ruangan. Kami berpelukan hangat. Lama aku cium istriku. Penuh kerinduan. 


Adikku, Laksa, bersama dua orang lawyerku berdiri, menunggu. Sampai aku melepas pelukan hangat kepada istriku.


Laksa langsung menyalami dan memelukku dengan ketulusan hatinya. Terdengar detakan kuat di jantungnya. Pertanda ia tengah mencoba menahan gemuruh keperihan yang mengencang pada batinnya. 


Dan kemudian giliran kedua lawyerku; Makmun dan Enrico. Setelah aku menyalami dan memeluk mereka, baru Almika mendekat. Aku pun langsung memperkenalkan ia kepada istri, adik, juga lawyerku.


“Mika banyak bantu ayah disini, bunda. Tadi aja, bawain sarapan sate padang. Juga banyak makanan lainnya. Termasuk energen dan rokok,” kataku,  memperkenalkan Mika.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, Mika. Tolong jagain om ya. Nanti tante minta nomor hp kamu, biar kita bisa sekabaran,” ucap istriku. Menyalami Mika dengan erat.  


“Sama-sama, tante. Om Mario ini kawannya ayah. Jadi sudah seharusnya Mika merhatiin om,” sahut Mika, dengan tersenyum.


Setelah memberikan nomor telepon selulernya kepada istriku, Mika berpamitan. Ia saat itu mendapat tugas berjaga di pos menara rutan bagian belakang. 


Lawyerku, Makmun dan Enrico, menyampaikan bila awal minggu depan, perkaraku akan memasuki masa persidangan. Karenanya, mereka memerlukan beberapa informasi dan data dariku.


Kami pun terlibat diskusi hangat. Sambil aku terus memeluk istriku. Meletupkan rasa rindu nan menggebu. Nasi bungkus yang ada di meja, dibuka oleh istriku. Aku pun kembali makan, dengan sesekali menyuap istriku.


Laksa memberiku dua bungkus rokok, yang ia keluarkan dari tas kecilnya. Aku tahu, bukan hanya sekadar rokok yang ia bawa untukku saat itu. 


Aku sudah melihat, ada dua kantong plastik besar berisi penuh, ditaruh di dekat tempat duduk istriku. Selain berisikan bawaan istri, pasti dari adikku Laksa, yang satu kantong plastik lainnya.


Saat adzan Dhuhur menggema, kami masih terlibat diskusi. Mengingat kesempatan sangat terbatas, kami meneruskan pembicaraan dan aku tidak mengikuti solat berjamaah di masjid seperti biasanya.


“Pakaian untuk ayah sidang, bunda bawain waktu besukan hari Sabtu nanti ya. Kemeja putih, celana dasar hitam, kopiah sama sepatu hitam ya,” kata istriku.


“Terimakasih ya, bunda,” sahutku dan kembali mencium istriku. 


Wajah istriku Laksmi terus berbinar. Penuh optimisme. Seakan ia tidak tengah merasakan deraan batin yang begitu kencang, seiring kasus yang melilitku. Ketegaran dan kemampuan istriku mengelola perasaannya, memang luar biasa.


Bahkan, Makmun lawyerku, juga mengaku kagum dengan ketegaran istriku. 


“Mbak Laksmi ini luar biasa lo. Baru kali ini, saya dapet klien yang suaminya bermasalah tapi istrinya tetap tegar dan survive aja,” ujar Makmun, apa adanya.


“Pilihannya memang hanya itu, mas. Saya kan harus menjaga mental anak-anak. Nggak boleh saya ikut-ikutan terpuruk. Allah yang menegarkan saya,” kata istriku, seraya tersenyum.


Hampir tiga jam kami berada di ruangan konsultasi hukum, baru kemudian berpisah. Aku antarkan istri, Laksa, dan kedua lawyer sampai ke gerbang pintu arah ruangan terakhir menuju pintu utama keluar rutan. 


Ku peluk istriku dengan penuh kehangatan. Kebanggaan dan rasa sayang itu menyatu. Menguatkan batinku, juga batinnya. 


Raga kami memang terpisahkan, namun cinta dan kebanggaan terus merekatkan. Ada sebuah kesadaran; di saat semua tidak seperti biasanya, maka terbiasalah tanpa semuanya.


“Terimakasih banyak selalu dampingi ayukmu ya, dek. Terus jaga kesehatan dan saling doa,” kataku saat memeluk Laksa, sesaat sebelum kami berpisah.


Aku kembali masuk area tahanan diantar oleh tamping regis. Sesampai di pos penjagaan dalam, tampak Gerry sedang berbincang dengan sipir yang tengah bertugas.


“Abang dari besukan ya?” sapa Gerry saat melihat aku masuk ke dalam pos penjagaan.


“Istri sama adek dan lawyer yang dateng tadi, Gerry. Inshaallah, minggu depan aku sudah mulai sidang,” sahutku.


“Oh ya, Alhamdulillah, bang. Biar cepet ada kepastian ya bang,” tanggap Gerry, seraya menarik salah satu kursi untuk aku duduk.


Aku memberi isyarat kepada tamping regis yang mengantarku, jika aku akan di pos penjagaan terlebih dahulu. Dan meminta ia mengantarkan dua kantong plastik berisi makanan dari bawaan istriku dan adikku Laksa, ke kamarku. 


“Segala sesuatu kesepahamannya, kita atur nanti ya,” kataku, sambil memandang wajah tamping regis, yang menyahutinya dengan senyuman. 


Sebuah pengertian di dalam kondisi apapun, tetaplah indah dan membawa ketenangan. (bersambung)

LIPSUS