Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 182)

INILAMPUNG
Jumat, 01 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang


ABANG main nggak nanti di persidangan?” tanya Gerry.


“Maksudnya?” kataku, balik bertanya.


“Ya, ada pendekatan sama jaksa atau hakim gitu maksudnya, bang. Intinya, biar nggak dituntut maksimal dan vonis tinggi,” jelas Gerry.


“Sampai saat ini, nggak kepikir buat main kayak gitu, Gerry. Tetep ikut alurnya aja. Walau emang, beberapa kali salah satu jaksanya ngontak istri. Ngajak ketemu. Tapi sampai sekarang, belum ada pertemuan,” sahutku.


“Mainkan kalau ada peluang, bang. Dunia sekarang ini, urusan hukum sudah jadi industri. Semua ada harganya. Nggak enak lama-lama di penjara gini,” kata Gerry lagi. Kali ini dengan wajah serius.


“Yah, kita lihat perkembangan aja dulu. Yang pasti, lawyerku nggak mau main diluar koridor hukum, Gerry. Cuma, namanya hidup, kan mesti luwes juga,” sahutku, seraya tersenyum.


Setelah sekitar 30 menit berbincang ringan di pos penjagaan dalam, aku kembali ke kamar. Langsung solat Dhuhur. Rudy menyiapkan makan siang. Ada sate padang pemberian sipir Almika, dan catering dapur.


“O iya. Mulai hari ini sudah ada catering ya. Kamu ambil separuh nasi dan lauknya dari tempat catering ini, Rud. Separuhnya lagi kirim ke Ino di kamar 19,” ujarku kepada Rudy.


Rudy bergerak cepat. Mengambil sebagian nasi dan lauk dari tupperwear catering dapur. Setelah ia masukkan ke dalam piring, separuh makanan lainnya diserahkan kepada Ino. Di kamar sebelah.


Siang itu, aku makan sate padang. Rudy menikmati masakan dapur rutan. Saat kami sedang makan, sipir Mirwan masuk kamar. Ia membawa bungkusan dari kantin.


“Ada gorengan, om. Lumayan buat nambah-nambah lauk makan,” kata sipir Mirwan, sambil menaruhkan bungkusan tersebut di atas meja ruang depan. Tempat aku dan Rudy menikmati makan siang.


“Alhamdulillah. Terimakasih ya, Mirwan. Emang kamu lagi tugas jaga ya,” kataku, seraya membuka bungkusan yang dibawa sipir Mirwan, berisi tahu dan tempe goreng serta bakwan.


“Iya, om. Tugas siang sampai habis maghrib. Besok dari pagi sampai siang, dilanjut habis isya sampai pagi. Biasalah, aplusan tugas jaga,” jelas Mirwan. 


“Kamu mau ngopi?” tanyaku, yang masih terus menikmati sate padang pemberian sipir Almika.


“Nah, boleh juga kalau kopi, om. Sekalian mau numpang leyeh-leyeh dulu di kamar ya, om. Semalem begadang, jadi agak terasa ngantuk,” ucap sipir Mirwan.


Dengan isyarat tangan, aku persilahkan ia masuk ke dalam. Ke lantai atas tempat aku, Basri, dan Dino tidur. 


Begitu selesai makan, Rudy langsung membuat kopi manis untuk sipir Mirwan. Namun, ia kembali ke ruang depan. Dengan membawa cangkir berisi kopi hangat. 


“Pak Mirwan sudah tidur, om. Kayaknya emang ngantuk berat bener dia tadi,” kata Rudy.


“O gitu. Ya sudah, biar dia istirahat. Taruh aja kopinya di meja sini. Kasih tutup, biar tetep panas,” sahutku, tepat menyelesaikan makan siang.


Sambil menikmati satu batang rokok, aku menuju kamar 19. Ku lihat Ino sedang makan. Langsung dari tempat makan yang disediakan dapur rutan.


“Gimana rasanya, Ino?” tanyaku.


“Alhamdulillah, lumayan enak, om. Terimakasih ya, om. Sekarang sudah pasti aku bisa makan sehari dua kali,” sahut Ino sambil tersenyum bahagia.


Aku bersyukur di dalam hati. Betapa sederhananya kebahagiaan itu memercik di sanubari Ino. Membuat pria berbadan tambun yang berprofesi sebagai pengusaha pasir dan material alam ini, tampak kembali ceria. Kelihatan optimismenya mulai memancar.   


“O iya, bang. Tadi dicari Heru dari kamar 18. Katanya mau ngobrol sama abang,” tiba-tiba pak Sibli berkata dari dalam kamarnya, sambil bangun dari tempatnya berleha-leha.


“Oh ya, oke aku ke tempat Heru kalau gitu. Terimakasih infonya, pak Sibli,” sahutku, dan bergeser ke kamar sebelahnya. Kamar 18.


Ketika aku memandang ke dalam kamar 18 dari luar jeruji besi, tampak penghuninya sedang berbincang ringan. Kongkow penuh canda tawa. Termasuk Heru. 


Melihat aku di depan kamarnya, Heru bangkit dari tempatnya. Dan mendekat. Menyalamiku dengan genggaman erat.


“Tadi cari aku ya, Ru?” tanyaku, begitu Heru berdiri di depanku. Terhalang jeruji besi.


“Iya, bang. Pengen ngobrol-ngobrol aja sih. Ketimbang bete di kamar,” katanya.


Tanpa berlama-lama, aku panggil tamping kunci. Tahanan pendamping pemegang kunci seluruh kamar di Blok B itu pun, bergegas membuka gembok kamar 18. Mengeluarkan Heru, sesuai permintaanku.


Saat melihat gazebo di depan kamar 34 kosong, aku ajak Heru kesana. Baru kami duduk, terdengar suara pak Edy dari kamarnya, meminta OD-nya membuatkan kopi untuk aku dan Heru.


“Terimakasih, pak Edy. Izin ngobrol disini,” kataku.


OD kamar 34 menanyakan kepada kami apakah menyukai kopi manis atau pahit.


“Aku kopi pahit aja, kalau Heru sukanya yang manis-manis,” ucapku.


Setelah beberapa tegukan menikmati kopi yang disuguhkan OD kamar 34, Heru menyampaikan tentang kegiatannya selama menjadi penghuni rutan. 


Yaitu memainkan tipu muslihat dengan mengaku sebagai anggota Polri atau TNI, dengan sasaran para perempuan. 


“O gitu. Jadi selama ini kamu bisa foya-foya di dalem sini, karena jalani praktik penipuan lewat kecanggihan dunia elektronik itu ya, Heru,” kataku. 


Pria berbadan kekar dengan wajah manis namun sangar tersebut, hanya tersenyum. Dengan gamblang, ia menguraikan pola permainan yang ia lakukan sejak delapan bulan menjadi WBP di rutan.


“Dan sekarang, hampir semua penghuni kamar 18 mainin pola itu, bang. Maksud Heru, kalau abang mau, nanti kita gabung. Hasilnya lumayan, bang. Bukan cuma bisa buat kita hidup berkecukupan disini, tapi juga bisa ngirim ke rumah,” Heru mengurai.


“Aku nggak paham permainan itu, Heru. Aku ini termasuk generasi gaptek,” ucapku, terus terang.


“Gampang itu, bang. Nanti Heru ajari abang. Waktu Heru ditahan di polda, banyak kawan-kawan polisi yang bertugas di bagian cyber yang belajar sama Heru. Sekarang, mereka sudah canggih-canggih kemampuannya,” sahut Heru, memotivasi.


“Emang hasilnya rata-rata berapa perbulannya ya?” tanyaku, mulai tertarik.


“Nggak menentu sih, bang. Tapi nggak mati dari belasan juta. Bahkan pernah dalam sebulan, Heru dapet uang hampir Rp 150 juta,” jawabnya.


“Oh ya? Sampai ratusan juta gitu, Ru,” kataku, terkejut.


“Iya, bang. Semua tinggal tergantung berapa banyak orang yang bisa kita yakinin aja. Kalau Heru, mainnya spesial ke orang-orang kita yang kerja di luar negeri. Semacam TKW gitulah. Kalau kawan-kawan yang lain, kebanyakan asal dapet sasaran aja. Walau nggak ada yang cari korbannya orang daerah kita sini,” Heru mengurai.


“Kenapa nggak cari sasaran orang daerah sendiri ya, Ru?” tanyaku, penasaran.


“Segila-gilanya kami yang main tipu muslihat lewat dunia maya gini, tetep pegang etika jugalah, bang. Kalau sasarannya orang kampung sendiri istilahnya, kan bisa aja kena keluarga temen. Atau bahkan keluarga kita sendiri. Kalau calon korbannya orang luar, kita kan nggak kenal. Jadi lebih tenang juga maininnya,” jelas Heru.


Dengan kepiawaiannya mengolah kata, Heru terus menebar begitu prospektifnya permainan tipu menipu dengan sasaran kaum hawa tersebut. Dengan trik sederhana; mengaku sebagai aparat keamanan di negeri ini. (bersambung)

LIPSUS