Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 183)

INILAMPUNG
Sabtu, 02 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang


BESOK aku coba pelajari dulu gaya mainnya ya, Heru. Kalau cocok dan bisa aku ikuti polanya, nggak ada salahnya dicoba,” ucapku, beberapa saat kemudian.


Heru tersenyum puas. Dan mengacungkan jempolnya. Ia meyakini, akan bertambah pasukannya dalam praktik tipu muslihat dengan memanfaatkan kecanggihan dunia elektronik tersebut.


Tiba-tiba, Pak Edy keluar kamarnya, membawa gelas besar berisi teh hangat, dan langsung duduk bersama kami.  


“Kayaknya lagi ada bisnis ya,” kata dia, sambil melihat wajahku dan Heru.


“Nggak juga, kap. Cuma ngobrol-ngobrol aja sama bang Mario. Heru sudah lama tahu abang ini, baru sekarang setelah disini ketemunya,” kata Heru.


“Syukur kalau kita bisa nambah temen disini, Heru. Cuma, jangan kamu racun Babe sama kerjaan kamu dengan kawan-kawan di kamar 18 selama ini,” tanggap pak Edy. 


“Kok Babe manggil bang Mario?” tanya Heru sambil mengernyitkan dahinya. Sekaligus mengalihkan arah pembicaraan pak Edy.


“Panjang ceritanya, Ru. Kami ini sudah ketemu di polres. Sekamar. Dan disitulah dia dipanggil Babe, gara-gara seorang polisi penjaga tahanan manggilnya dengan sebutan itu,” pak Edy menegaskan.


Heru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sesaat kemudian dia tersenyum.


“Keren juga ya, bang. Panggilannya Babe,” kata Heru, kemudian. Masih dengan tersenyum. Aku ikut tersenyum, tanpa menjawab perkataannya.


“Kalau obrolan kamu sama Babe sudah selesai, aku mau ngobrol juga sama Babe. Tapi, ini rahasia kami berdua. Kalau nggak keberatan, kamu geser dulu,” ujar pak Edy, memandang Heru. 


Tanpa berkata apapun, Heru bangun dari tempatnya. Meninggalkan gazebo, berjalan ke arah pintu masuk blok. 


“Jadi apa ceritanya?” tanyaku kepada pak Edy, setelah Heru tidak tampak lagi dari pandangan kami.


“Kemarin itu pengacara istriku yang dateng, be. Seperti kata Babe, ngapain manjang-manjangin cerita, kalau bini emang sudah kebelet pengen cerai. Aku tandatangani pernyataan kesediaan bercerai. Bismillah ajalah. Mau kayak mana hidup ini, biar Tuhan yang ngaturnya,” pak Edy mengurai.


“Syukur kalau akhirnya pak Edy sudah ikhlas ngelepas istri. Sebagai suami dan kepala rumah tangga, memang istri dan anak-anak itulah ujian kita. Tinggal gimana kita ngadepinnya aja. Sekarang, pak Edy nggak usah mikir yang berat-berat lagi ya. Jalani yang ada dengan tetep bersyukur,” kataku.


“Pastinya, aku sudah plong sekarang, be. Aku ikuti aja arus air kehidupan ini mau sampai mana dan kayak mana. Yang penting, nggak ngurangi kedekatanku sama Tuhan,” sahut pak Edy.   


“Alhamdulillah. Yakin aja, banyak hikmah dibalik semua ini, pak. Tentu kalau kita tetep sabar dan ikhlas jalaninya,” ujarku.


“Ada cerita menarik ini, be. Malem sebelum paginya pengacara istriku dateng, aku baca buku di kamar. Di buku itu ada kisah, seorang murid minta kepada gurunya untuk diberitahu tentang hakekat indahnya kehidupan,” kata pak Edy, beberapa saat kemudian.


“Terus gimana, pak Edy?” kataku, menyela.


“Sang guru menyuruh muridnya berjalan di taman bunga. Pesennya, petik satu bunga yang paling indah, tapi nggak boleh mundur lagi jalannya. Harus terus berjalan ke depan. Berjalanlah si murid memasuki taman bunga. Sampai akhirnya dia sampai di penghujung taman itu, tanpa membawa satu pun bunga yang dipetiknya,” lanjut pak Edy.


“Terus kayak mana?” tanyaku, penasaran.


“Ditanyalah si murid sama sang guru, kenapa nggak ada bunga terindah yang dipetiknya. Murid itu bilang, sebenernya sempet ngelihat ada sekuntum bunga yang indah, dan sudah kepengen memetiknya. Tapi dia urungin,” pak Edy melanjutkan ceritanya.


“Kenapa dia nggak jadi metik bunga itu,” ujarku, kembali menyela.


“Si murid membayangkan, di bagian depan sana mungkin ketemu bunga yang lebih indah. Ternyata, sampai di penghujung taman, nggak ketemu lagi bunga seindah yang sempet dilihatnya. Karena pesen sang guru nggak boleh mundur lagi kalau sudah berjalan, akhirnya gagallah si murid dapetin bunga indah itu,” kata pak Edy, bersemangat.


“Terus, apa kata sang guru ya, pak?” tanyaku lagi.


“Kata sang guru kepada si murid: ya itulah hidup, semakin kita mencari kesempurnaan, makin pula kita nggak akan dapetinnya. Karena sejatinya, kesempurnaan hidup yang hakiki itu nggak pernah ada. Yang ada hanyalah keikhlasan hati kita buat nerima kekurangan,” pak Edy menjelaskan panjang lebar.


Aku hanya mampu mengangguk-anggukkan kepala mendengar perkataan pak Edy, yang mengutip pernyataan sang guru. Begitu indah dan halusnya sang guru memberi pelajaran kehidupan kepada si murid. 


“Habis baca buku itu, aku bener-bener ngerenung, be. Sampai susah buat tidur. Dan akhirnya, timbullah keikhlasan itu. Eh, besok paginya pengacara istriku dateng. Ya sudah, aku setujui aja proses perceraiannya, karena aku sudah ikhlas. Nggak perlu lagi bicara ini-itu,” sambung pak Edy.


“Jujur, aku angkat topi kali ini. Luar biasa cara pak Edy mengakhiri masalah. Kalau boleh tahu, keikhlasan yang pak Edy yakini itu seperti apa maknanya?” kataku, mencoba menggali. 


“Begitu rasa ikhlas itu timbul, aku yakini Tuhan pasti bakal ngeganti buatku sesuatu yang lebih baik dan lebih berkah. Itu yang aku rasain dan yakini, be,” jawab pak Edy dengan suara mantap.


“Alhamdulillah. Inshaallah keikhlasan pak Edy bener-bener berbuah barokah ke depannya. Aku kagum dan banyak belajar dari pak Edy. Begitu tangguh punya mental, dan langsung tawadhu saat meyakini sebuah keikhlasan,” kataku, seraya menatap pak Edy dengan rasa bangga.


“Biasa aja dong, be. Kita kan emang sama-sama saling ngisi. Yang unik itu, kok kita belajar agamanya mesti di dalem penjara gini ya. Kemana ajalah kita dulu waktu diluar, kok nggak kepikir sama sekali buat belajar dan dalami agama serta kehidupan yang sesungguhnya,” kata pak Edy, dan menampakkan senyum kecut.


“Nggak usah nengok ke belakang lagi, pak Edy. Seperti kata sang guru di buku yang pak Edy ceritain tadi. Kalau sudah jalan, jangan mundur lagi. Ayo, kita terus jalan ke depan. Fokus aja,” tanggapku, sambil melepas senyum persahabatan.


“Cocok itu, be. Aku inget kata seorang ulama di sebuah buku yang aku pinjem dari kamar 30. Katanya, keikhlasan itu tidak nampak dan tidak perlu ditampak-tampakkan. Tapi Allah pasti akan menampakkan hasil dari keikhlasan tersebut. Jadi, teruslah berjalan ke depan dengan keyakinan,” ujar pak Edy. Bersemangat.


Aku perhatikan betul wajah pak Edy. Pria setengah baya yang terjerumus dalam kasus mafia tanah ini, tampak demikian tenang. Keteduhan hati itu terekspresikan di dalam pikiran. Terbangun keseimbangan kemanusiaan.


Seakan ia dilahirkan kembali sebagai sosok yang rendah hati. Sangat berbeda jauh dengan pembawaannya selama ini. Ternyata benar, hidup adalah misteri dan hanya Tuhan yang mampu membolak-balikkan hati. (bersambung)

LIPSUS