Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 185)

INILAMPUNG
Senin, 04 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang

 

SAMBIL berjalan menuju kamar, Iyos menyampaikan, betapa indahnya bila di rutan bisa mendapat kesempatan untuk membaca buku atau koran.


“Sayangnya, di rutan nggak ada perpustakaan ya, be. Koran juga nggak ada. Walau di papan besar yang ada di pintu masuk blok tertulis, kalau WBP berhak mendapatkan informasi melalui koran yang disediakan pihak rutan,” kata Iyos.


“Berhenti dulu kamu ngeluhin yang nggak ada, Yos. Syukuri aja yang ada. Membaca kan nggak mesti ada perpustakaan. Di kamar-kamar itu banyak penghuninya yang bawa buku. Pinjem aja sama mereka,” sahut Dika dengan nada ketus.


“Bukan ngeluh ini, Dika. Tapi nyampein pendapat aja,” balas Iyos, dengan cepat.


“Nyampein pendapat boleh-boleh aja, Yos. Cuma jangan dengan nada ngeluhin kekurangan gitu terus dong. Jangan nambahin beban kesusahan di pikiran dan hati kita sama hal-hal yang nggak penting,” kata Dika lagi.


“Nurut aku, perpustakaan dan adanya koran itu penting lo, Dika. Kamu juga jangan anggep sesuatu yang penting sesuai sama pikiranmu. Bisa aja orang lain anggep yang kamu nilai penting itu, sebenernya nggak penting,” ujar Iyos, kembali menimpali.


Aku dan Aris hanya tersenyum mendengar pertentangan pendapat antara Iyos dan Dika. Aku pun tersadarkan, bila perbedaan pandangan adalah anugerah. Bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah.


Anugerah itulah yang membawa hikmah. Meski terkadang, kita terlalu betah ketika berada pada zona nyaman, sehingga lupa jika pengalaman pahit adalah guru terbaik kita. 


Tepat di pintu masuk Blok B, Rudy menungguku. Wajahnya tampak gelisah. Begitu aku memasuki pintu blok, ia langsung mengajakku berjalan cepat menuju kamar.


“Ada apa sih, Rud?” tanyaku, sambil meneruskan langkah.


“Ada sipir yang nyari, om. Katanya dia ada perlu penting,” sahut Rudy, dengan terus berjalan.


Sesampai di pintu kamar, aku melihat seorang sipir berbadan tambun tengah menikmati abon kepunyaanku. Terperangah aku dengan apa yang dilakukan sipir tersebut.  


Dengan santainya, ia mencomot abon dari dalam plastiknya, dan langsung dimasukkan ke mulut. Layaknya memasukkan nasi dengan lauknya.


“Maaf, pak. Abon itu buat lauk makan. Bukan langsung dimakan kayak gitu,” kataku, ketika sudah berdiri di depannya.


“Aku juga tahu. Tapi nggak apa-apa kan, sesekali langsung makan abonnya aja tanpa nasi,” sahutnya, dengan cuek.


Aku tidak mau menimpali dengan perkataan. Melainkan hanya menggeleng-gelengkan kepala. Rudy yang berdiri di pintu, tersenyum kecut. 


OD kamarku ini tahu persis, abon adalah lauk favoritku di saat tidak ada lauk lain yang layak untuk menjadi pendamping nasi. 


“Katanya nyari saya ya, pak?” tanyaku kepada sipir berusia sekitar 40 tahunan itu.


“Iya,  aku lagi ada perlu. Bantu-bantu dulu,” sahutnya, tetap dengan cuek. Dan masih terus mengambil abon langsung dari plastik tempatnya.


“Bantu apa ya, pak?” tanyaku lagi. Tetap menghargai sipir tersebut, meski sangat tidak respek dengan apa yang dilakukannya.


Setelah menaruhkan plastik tempat abon di meja, ia menatapku dengan wajah serius. Dengan terus terang, sipir tersebut menyatakan dirinya membutuhkan dana. Perlu uang. Karena besok anaknya akan berulangtahun.


“Mohon maaf, pak. Tidak salah minta bantu ke saya?” ucapku, dengan suara tercekat.   


“Ya nggak salah dong. Kamu kan tahanan disini, aku petugas yang jaga kamu. Lagian, kamu di kamar terbuka. Pasti punya danalah,” kata sipir itu, terus menatapku.


“Mohon maaf, pak. Saya belum bisa bantu buat anak bapak ulangtahun. Bukan tidak mau, tapi memang saya tidak punya dana,” jawabku, dengan tegas.


“O gitu. Ya sudah kalau nggak mau bantu. Inget ya, jangan pelit-pelit disini. Nanti ada aja yang ngerjain kamu,” ujar sipir itu.


Sambil menatapku dengan tajam, ia langsung beranjak pergi, keluar kamar seraya menendang kursi tempatnya duduk, dengan pelan.


Melihat gayanya, sesaat sempat emosiku tersulut. Namun, Rudy yang tetap berdiri di pintu, memberi isyarat untuk aku menahan diri. 


Setelah sipir bertubuh tambun tidak tampak lagi, baru bergerak. Merapihkan plastik tempat abon yang tadi dibuka paksa oleh sipir itu. Sambil terus beristighfar di dalam hati. Aku masukkan kembali sisa lauk makan kiriman istriku tersebut, ke dalam lemari makanan. 


“Sabar ya, om. Emang ada aja yang aneh-aneh disini,” kata Rudy, setelah melihatku duduk di kursi ruang depan, seraya mendinginkan kembali perasaan yang sempat mendidih.


“Terimakasih tadi sudah ingetin om buat nahan diri ya, Rud. Emang kalau nggak sabar-sabar, bisa berantem setiap hari kali om di dalem ini,” tuturku, terus terang.


Rudy hanya tersenyum. Tampaknya ia mulai memahami karakterku. Yang berpembawaan diam, namun sangat mudah meletup.


Terdengar suara ramai dari depan kamar 25. Ternyata sedang ada taruhan bermain tenis meja. Melibatkan beberapa tahanan. Aku pun mendekat. Menikmati permainan olahraga yang difasilitasi seorang bupati tersebut. 


Dua orang tahanan sedang bertanding dengan sengitnya. Perolehan angka susul-menyusul. Cukup piawai keduanya memainkan olahraga tenis meja. Sementara, beberapa lainnya terlibat taruhan. 


Dan begitu pertandingan usai, sang pemenang mendapatkan bagian dari petaruh yang memenangi pertaruhannya. Suasana sore itu penuh sukacita dan gelak tawa bahagia di depan kamar 25. 


Hingga kemudian terdengar suara mengaji dari masjid. Pertanda sebentar lagi adzan Maghrib. Satu demi satu, tahanan yang sebelumnya berkumpul di depan kamar 25, kembali masuk ke selnya masing-masing. Begitu juga aku.


Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar kamar untuk menuju ke masjid. Ikut berjamaahan. Seusainya, aku berjalan cepat untuk kembali ke kawasan blok penahanan. 


Saat akan memasuki kamar, terdengar suara mengaji dari kamar 19. Suaranya cukup kencang. 


Aku melihat dari jeruji besi, seluruh penghuni kamar tengah membaca surah yasin bersama-sama. Duduk melingkar di ruangan bagian dalam. 


“Bapak salah satu penghuni sel itu ada yang ninggal, om. Makanya pada baca yasin. Ikut doain almarhum,” kata Rudy, yang telah berdiri di sampingku.


“O gitu. Terus kawan kita yang lagi disini, bisa ngelihat bapaknya yang ninggal nggak,” sahutku, seraya bergerak dari kamar 19 untuk masuk ke kamarku. Kamar 20. 


“Katanya nggak dapet izin buat ngelayat, om. Kasihan ya,” kata Rudy.


“Subhanallah. Kenapa nggak dapet izin buat ngelihat bapaknya yang ninggal ya, Rud?” tanyaku, penuh keterkejutan.


Rudy hanya mengangkat bahunya. Mengisyaratkan, ia tidak tahu pasti penyebabnya. Spontan, aku merenungi kehidupan di dalam rutan ini. Memang banyak hal yang sering kali mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. 


Namun, aku pun menyadari, saat ini tengah berada dan hidup di area yang dikenal sebagai “dunia dalam dunia”. Yang aturan kemanusiaan di dunia sesungguhnya, acapkali berbanding terbalik dalam praktiknya. (bersambung)

LIPSUS