Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 198)

INILAMPUNG
Minggu, 17 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang 


SEUSAI makan dilanjutkan dengan apel siang, aku keluar kamar. Menonton siaran televisi sambil rebahan di gazebo depan kamar 25. 


Ada tiga tahanan lain yang tengah rehat disana. Kesemuanya satu kamar dengan sang bupati, di sel paling ujung tersebut.


Suara televisi yang menayangkan film India, disetel tidak terlalu kencang. Ditambah semilir angin yang cukup deras, membuat suasana gazebo yang posisinya berada di sela-sela tanaman, terasa demikian sejuk. Mataku liyer-liyer. Dan akhirnya tertidur.


“Om, sudah adzan Ashar itu,” sebuah suara disertai tepukan ke kaki, membuatku terbangun dari tidur. 


“Astaghfirullah. Enak bener tidur di gazebo ini,” kataku seraya bangkit dari tidur.


Saat itu, mataku melihat sang bupati Bos Kamar 25 tengah berdiri di pintu dan memandangiku.


“Maaf, Bos. Ketiduran. Nyaman bener gazebo Bos ini,” ucapku, seraya tersenyum malu.


Sang bupati tidak menjawab. Ia hanya melepaskan seulas senyum, dan kemudian bergerak. Berjalan menuju masjid untuk mengikuti jamaahan.


Setelah kembali ke kamar dan mengambil kain sarung serta kupluk, aku juga bergegas menuju masjid. Saat akan keluar masjid seusai solat, aku melihat pak Hadi tengah duduk tepekur di sudut. Begitu konsentrasi ia bermunajat kepada Yang Maha Kuasa.


Tiba-tiba hatiku tergerak untuk menunggu pak Hadi di pelataran masjid. Seakan ada isyarat, bila pria paruh baya yang selalu berpenampilan low profile itu, tengah dilanda kegamangan pada batinnya.


Beberapa saat kemudian, pak Hadi keluar masjid sambil menundukkan wajahnya. Mulutnya terus berkomat-kamit. Menguntai doa yang tiada terputus.


“Assalamualaikum,” sapaku, dan mendekat ke arah pak Hadi yang berjalan dengan pelan, meninggalkan masjid.


“Waalaikum salam. Oh, pak Mario. Sehat ya, pak,” sahutnya, tetap dengan suara ceria.


Wajah pak Hadi yang sebelumnya murung, berubah menjadi ceria juga. Ada gurat ketenangan disana. Begitu piawainya ia mengendalikan perasaannya.


“Alhamdulillah, berkat doa pak Hadi, saya sehat-sehat saja. Pak Hadi juga sehat kan,” balasku, dan menyalaminya.


“Alhamdulillah. Seperti yang pak Mario lihat, saya juga sehat,” ujarnya, dengan tetap tersenyum.


Aku mengajak pak Hadi duduk di selasar. Sambil menonton WBP bermain sepakbola dan bola volly. Suara riuh puluhan orang yang mengisi waktu senjanya dengan berolahraga, membuat suasana kompleks rutan dihiasi keceriaan.  


“Sepertinya tadi berdoanya begitu serius, pak?” tanyaku kepada pak Hadi, sambil tetap menonton pertandingan sepakbola.


“Namanya berdoa ya mesti serius dong, pak. Kita meminta kepada sesama manusia aja harus serius, masak kepada yang menciptakan manusia, kalah serius,” sahut pak Hadi, dengan nada enteng.


Aku tersenyum. Memahami bila pak Hadi memang bukan tipe orang yang suka menceritakan permasalahan yang tengah dihadapinya. Ia adalah sosok yang begitu halus dalam mengemas ekspresinya, sehingga sangat sulit untuk menilainya bila sedang memiliki persoalan.


“Saya senang melihat kawan-kawan yang begitu ceria menikmati waktunya di luar sel seperti ini. Dan kita tidak perlu iri dengan nikmat keceriaan yang dimiliki kawan-kawan itu. Karena kita tidak pernah tahu, apa yang telah Tuhan ambil dari mereka sebelumnya,” kata pak Hadi beberapa saat kemudian, sambil matanya terus menatap puluhan WBP yang sedang bermain sepakbola dan volly.


“Maksudnya, hanya diri sendirilah yang bisa membuat bahagia itu ya, pak,” tanggapku. Sekenanya.


“Iya, pada akhirnya ya hanya diri sendiri itulah yang bisa buat kita bahagia, berduka atau kecewa, pak. Dan tidak semua yang kita rasakan, perlu diketahui orang. Apalagi di dalam penjara begini. Ada saja sikap iri dengki itu,” tutur pak Hadi.


“Misalnya seperti apa, pak?” tanyaku, tertarik dengan perkataannya.


“Kalau pun saat ini kita sedang sedih atau galau, ya jangan ditunjukkan kepada orang lain. Begitu juga kalau lagi bahagia. Biasa-biasa saja. Karena di sekeliling kita teramat banyak kawan yang menderita, terutama penderitaan batinnya. Penyakit itulah kalau tidak bisa dikelola dengan baik, akhirnya melahirkan perilaku iri dengki,” lanjut pak Hadi. 


“Maaf ini, pak Hadi. Sebenernya, arah bicara pak Hadi ini kemana?” tanyaku lagi. Terus terang tidak paham arah pembicaraannya.


“Sebenernya, saya lagi menasihati diri saya sendiri, pak. Saya lebih merasa nyaman ketika menasihati diri sendiri. Maaf kalau pak Mario jadi heran atau bingung dengan yang saya katakan. Tapi ya itulah yang terjadi,” jelas pak Hadi. Ada senyum kecut di bibirnya.


Aku terdiam. Baru sekali ini aku bertemu dengan orang yang lebih menyukai menasihati diri sendiri dibandingkan mendengarkan nasihat orang lain. Yang hal tersebut diungkapkan dengan terus terang.


“Kenapa pak Hadi lebih suka menasihati diri sendiri dibanding misalnya, meminta nasihat ke orang lain yang lebih bijak,” kataku, kemudian.


“Kalau kita menasihati diri sendiri, pasti lebih fair, pak. Karena kita merasakan dan menjalani langsung sesuatu itu. Sepedas apapun nasihat itu, mau tidak mau pasti kita terima dengan apa adanya. Beda kalau kita dinasihati atau minta nasihat ke orang lain. Kita sering, menjadi tidak suka dengan orang tersebut, atau nasihatnya tidak tepat dengan yang kita inginkan,” urai pak Hadi.


Alam pikiranku tidak masuk dengan penjelasan pak Hadi. Meski menasihati atau berdialog dengan diri sendiri memang diperlukan, namun nasihat orang lain pun sangat bermakna.


“Memang tidak mudah memahami pikiran saya itu, pak Mario. Apalagi selama ini ada semacam keyakinan pada kita, kalau orang yang menasihati kita untuk tidak berbuat dosa misalnya, bukan berarti dia merasa paling baik, tapi karena dia tidak ingin kita terjerumus ke dalam dosa yang pernah dilakukannya. Nah, buat saya, itu tidak penting. Yang saya harus lakukan adalah memperbaiki diri sendiri melalui nasihat dari diri sendiri,” tambah pak Hadi, beberapa saat kemudian.


“Kalau memang pak Hadi meyakini itu yang terbaik buat diri pak Hadi, ya terus saja lakukan. Toh, tidak mengganggu orang lain,” sahutku, mencoba menyeiramakan pendapat dengan alur pikirnya.


“Nah, ini persoalannya, pak. Kawan-kawan di kamar saya tidak mau memahami apa yang saya lakukan, sehingga saya dianggap super ego, avonturir, dan sebagainya. Sikap mereka itu membuat saya tidak nyaman. Jadi beberapa hari belakangan, saya lebih banyak diam atau tidur kalau di kamar. Daripada berdebat soal pilihan mendapatkan nasihat,” kata pak Hadi.


“Kenapa juga soal begituan didebatin sih, pak,” kataku, menyela.


“Karena mayoritas penghuni kamar saya itu nggak ada kegiatan positif, pak. Cuma diem, tidur, atau main kartu untuk mengobati kejenuhan. Nggak mau baca-baca buku atau bergaul dengan sesama. Jadi susah hati saya dibuatnya,” pak Hadi mulai membuka diri.


Aku mulai memahami, bila sesungguhnya pak Hadi sedang didera batinnya oleh situasi di kamarnya. Yang berisikan 15 orang. Yang tentunya masing-masing memiliki karakter dan kebiasaan yang berbeda. Yang tidak dengan sertamerta akan bisa sepemahaman hanya karena berada di dalam satu kamar sel.


“Yang penting kan tidak sampai terjadi benturan fisik, pak. Kalau soal perbedaan pendapat, ya lumrah saja. Wong kita bersaudara kandung saja sering berbeda pendapat,” tanggapku.


“Justru itu, pak. Kalau sekalian terjadi benturan fisik, kan selesai. Tapi kalau batin yang membuat kita diposisikan berseberangan, beban deritanya beda, pak. Lebih nyesek rasanya,” tutur pak Hadi.


“Kalau kata kawan saya, manusia itu seperti buku, pak. Ada yang menipu kita dengan covernya, dan ada pula yang mengejutkan kita dengan isinya. Jadi, apapun yang ada di buku itu, lebih elok ditanggapi dengan biasa-biasa saja. Kalau kata orang Jawa; ojo kagetan lan ojo gumunan,” ujarku lagi.


Pak Hadi tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku tidak tahu, apa yang membuatnya memberi isyarat seakan memahami apa yang aku sampaikan. Karena seringkali, kita salah dalam menterjemahkan sebuah isyarat. (bersambung)

LIPSUS