Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 200)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 19 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang


RUDY begitu asyik membaca buku mengenai tata cara solat, sehingga ketika aku bergeser dari tempat duduk sebelumnya, sama sekali tidak menarik perhatiannya. 


Aku sangat bersyukur, OD kamar 20 itu telah memperoleh hidayah. Sebuah kemukjizatan menuju kebaikan lahir batin, yang sepenuhnya berada di dalam kendali Sang Pemilik Kehidupan.


Karena saat itu malam jum’at, aku tidak langsung merebahkan badan untuk tidur. Melainkan berwudhu dan membuka Alqur’an. Melanjutkan bacaanku sebelumnya. Setelah membaca surah yasin. Kegiatan mengaji baru aku selesaikan saat dinihari, seiring datangnya kantuk yang mulai mengganggu konsentrasi.


Lelapku dalam tidur tidak berlangsung lama. Seiring masuknya Basri dan Dino ke kamar untuk beristirahat. Kedua narapidana yang dipercaya sebagai penanggungjawab Blok B tersebut, memang dikenal sangat jarang tidur.


Kekuatan fisik mereka luar biasa. Seakan mengistirahatkan badan dengan tidur, bukan lagi bagian dari kebutuhan tubuhnya. Situasi dan kondisi rutan, perlahan tapi pasti, telah banyak mengubah kebiasaan seseorang. 


Setelah merasa nyawa telah berkumpul kembali, perlahan aku bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Berwudhu. Untuk melaksanakan solat malam. Menyambungkan jiwa seorang makhluk kepada Khaliqnya.


Sebelum memulai prosesi penyambungan jiwa dan penyerahan diri secara total kepada Ilahi Robbi, sempat aku melihat Rudy. Anak muda tersebut masih membaca buku yang ada di tangannya.


Bahkan ia membacanya sambil berdiri. Tepat di balik pintu kamar. Sebuah kiat untuk menepis kantuk. Kembali aku mengucap syukur di dalam hati, atas hidayah yang didapat Rudy. Juga kagum dengan kekuatan tekadnya. Sebuah keseimbangan yang aku yakini akan mengubah jati dirinya.


Keasyikanku merangkai puja-puji kepada Pemilik Alam pada kesunyian suasana rutan, mencapai titiknya saat adzan Subuh berkumandang. Dan saat itu, Rudy mendekat. Dengan kondisi telah berwudhu dan memakai kain sarung serta berkopiah. 


“Om, kita subuhan di masjid yok,” ajaknya, pelan namun penuh ketegasan. Aku hanya menganggukkan kepala.


Dan sesaat kemudian, kami telah berada di masjid. Belasan tahanan dan beberapa sipir ikut solat berjamaah. Yang diimami penanggungjawab majelis taklim. Yang juga berstatus seorang napi.


Setelah beragam doa yang biasa dilantunkan selesai, aku pun bergerak untuk keluar masjid. Saat itulah mataku melihat Rudy. Duduk di sudut kanan bagian belakang masjid. Menundukkan wajahnya dengan kedua tangan menengadah. 


Perlahan, aku duduk di dekatnya, tanpa mengganggu keasyikannya melakukan ritual keagamaan. Aku perhatikan, butir demi butir air dari matanya berjatuhan. Mengenai kain sarungnya. Pahamlah aku, betapa anak muda tersebut tengah memohonkan pengampunan diri kepada Sang Maha Pengampun.


Cukup lama aku berdiam diri, duduk di samping bagian agak belakang dari posisi Rudy, hingga anak muda itu menyelesaikan kegiatan batinnya. 


Begitu melihatku berada di dekatnya, Rudy spontan menggeser sedikit badannya. Dan memelukku dengan kencang. Badannya bergetar. Bergemuruh khalwat batinnya yang terdalam.


“Terimakasih banyak, om. Rudy nggak tahu harus bilang apa sama om. Berkat arahan om, Rudy dapetin pengalaman yang luar biasa indahnya ini,” kata dia dengan suara penuh haru, seraya terus menatapku.


“Teruslah bersyukur dan berterimakasihlah kepada Allah, Rud. Dia yang memberimu hidayah berkat kemantepan tekadmu,” jawabku, sambil menepuk bahunya.


“Jujur ya, om. Inilah pertama kali dalam hidup Rudy laksanain solat. Maksudnya, solat yang sesuai dengan tata caranya. Bukan yang asal jungkat-jungkit aja,” ucap Rudy, masih dengan suara terbata.


“Alhamdulillah. Terus aja bersyukur atas hidayah ini ya, Rud. Inshaallah, kamu bakal punya kemantepan iman,” sahutku, dan mengajaknya meninggalkan masjid untuk kembali ke kamar.


Saat memasuki blok tempat kami menjalani penahanan, beberapa tamping kebersihan yang telah memulai aktivitasnya, tampak memandangi Rudy dengan sorot mata keheranan.


“Nggak salah ini, Rudy. Kamu beneran habis dari masjid? Kayaknya hari ini bakalan hujan seharian deh, gara-gara kamu solat,” celetuk salah satu tamping kebersihan kepada Rudy.


Anak muda berstatus napi kasus penggelapan mobil bosnya yang berjalan di sampingku itu, hanya tersenyum. Sama sekali tidak mengeluarkan sahutan apapun atas celetukan yang diarahkan kepadanya.


Seusai menaruhkan kain sarung dan kopiah di lemarinya, Rudy membuatkan aku kopi pahit. Ia sendiri menyeduh teh manis kesukaannya.


“Om mau sarapan apa? Beli apa makan yang ada aja,” kata dia, saat menaruhkan secangkir kopi pahit di meja kecil yang ada di ruang depan kamar, tempatku berada saat itu. 


“Emang apa makanan yang ada, Rud?” tanyaku.


“Nasi yang beli kemarin sore masih ada sebungkus kok, om. Kalau om mau sarapan itu, Rudy buatin mie goreng. Kan masih ada kerupuk juga punya om,” jelasnya.


“Ya sudah, buat mie goreng aja, Rud. Buat dua ya, kita sarapan bareng,” kataku, dan memulai menyeruput kopi pahit yang ada di meja.


Saat apel pagi menjelang. Dua orang sipir masuk ke Blok B, diikuti seorang tamping. Salah satu sipir yang bertugas pagi itu adalah Almika. Begitu langkahnya sampai di pintu kamarku, ia masuk ke kamar.


Menyalamiku yang masih duduk di ruang depan sambil menikmati sarapan mie goreng dilengkapi nasi dan kerupuk.


“Sehat terus ya, om. Nah, seneng Mika ngelihat om kalau pagi-pagi sudah sarapan begini. Menjaga kondisi badan tetep fit itu yang utama disini,” ujar Almika, dengan senyum khasnya. Ramah dan santun.


Dan sesaat kemudian, sipir berusia 35 tahunan ini menggerakkan tangannya, masuk ke kantong celana dinasnya. Tidak lama kemudian, ia mengeluarkan tiga bungkus rokok dan memberikannya kepadaku. 


“Alhamdulillah. Kamu ini ada aja yang dikasih ke om kalau lagi dinas, Mika. Terimakasih banyak ya. Inshaallah rejekimu terus mengalir dan penuh berkah,” kataku, menyahuti pemberiannya.


Almika hanya tersenyum, dan kemudian meninggalkan kamarku untuk kembali melanjutkan tugasnya. Mengabsen seluruh tahanan yang berada di Blok B.


Seusai mengikuti apel pagi, aku keluar kamar. Duduk di taman depan sambil melanjutkan menikmati kopi pahit dan memberi makan ikan yang ada di kolam kecil serta burung parkit yang terus aktif berkicauan di dalam sangkarnya.


“Om, senin depan sudah mulai sidang ya,” sebuah suara mengejutkanku. Ternyata Almika telah berdiri di sebelah tempatku duduk di kursi taman.


“Iya, agendanya gitu, Mika. Kok kamu tahu,” sahutku, sambil memintanya duduk di kursi yang ada di depanku.


“Mika lihat datanya di kantor rutan, om. Syukurlah kalau sudah mulai sidang. Biar cepet dapet kepastian hukum, jadi kalaupun nantinya divonis berapa lama, om sudah bisa menata hati untuk tetep sabar dan ikhlas menjalaninya,” jelas Almika.


“Yah, moga-moga aja sidangnya nggak bertele-tele ya, Mika. Biar cepet putus juga,” ujarku, menimpali.


“Ikuti dan nikmati aja prosesnya, om. Nggak ada sesuatu pun di dunia ini yang nggak ada akhirnya. Mau itu bahagia atau derita, pasti tetep ketemu ujungnya. Yang penting, om tetep sabar dan ikhlas,” lanjut Almika dengan kalem.


“Inshaallah om tetep bisa sabar dan ikhlas ya, Mika. Memang berat jalani kehidupan seperti ini. Tapi, ya inilah faktanya. Nggak mungkin bisa juga om melepaskan diri dari kenyataan yang ada,” tanggapku, mencoba tetap menunjukkan ketenangan.


“Mika yakin, om kuat kok ngadepin apapun kenyataan ini. Yang penting, om tetep bisa sabar dan ikhlas. Kalau kata Buya Hamka, jangan takut jatuh, karena yang tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh. Juga jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagal hanya orang yang tidak pernah melangkah,” Mika melanjutkan perkataannya, tetap dengan nada kalem. 


Mendengar perkataan sipir low profile itu, aku hanya bisa tersenyum. Perlahan, jiwaku merasa nyaman. Sebongkah perhatian Almika yang dilakukannya selama ini, telah membuatku terus mampu menata kepercayaan diri. Sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam menjalani hari-hari di penjara. 


“Om akan terus berjuang untuk selalu bersyukur dan bersabar jalani semua ini, Mika,” ucapku, beberapa saat kemudian.


“Sudah bener itu, om. Karena bersyukur dan bersabar adalah rem untuk memperlambat ketinggian hati, kecepatan lupa diri, dan kelebihan ambisi. Lewat syukur dan sabar itulah kontrol diri dan kepercayaan diri kita akan terus terjaga,” jawabnya, dengan tersenyum.


Tiba-tiba Almika melihat ke atas. Ke arah langit. Dan seekor burung elang mendadak melintas, di antara bangunan rutan, sambil mengeluarkan suara khasnya.


“Nah, ada burung elang lewat, om. Kalau nurut Mika, om harus bisa kayak burung itu. Yang namanya elang, selalu terbang sendirian, tanpa perlu kawan. Beda betul sama bebek, yang selalu berjalan dengan berbondong-bondong,” kata Almika lagi, sambil mengalihkan pandangannya dengan menatapku. Tajam. Memotivasi. Tanpa menggurui. (bersambung)

LIPSUS