Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 201)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 20 Juli 2022


KAMU mau kopi, Mika?” tanyaku kemudian.


“Nggak usah, om. Mika sudah bawa minuman dan makanan dari rumah kok. Ada di ransel yang Mika taruh di pos jaga,” jawabnya. 


Kamar 19 dibuka oleh tamping kunci. Pak Sibli dan Ino keluar. Bergabung dengan aku dan Almika. Setelah bersalaman, keduanya terlibat dalam perbincangan ringan dengan kami.


Beberapa menit kemudian, Almika berpamitan. Melanjutkan tugasnya dengan berposisi di menara bagian depan rutan. 


“Kok kamu seneng bener tugas di menara, kenapa, Mika?” tanyaku, saat ia akan beranjak pergi dari taman depan kamarku.


“Lebih fresh aja, om. Bisa langsung memantau seluruh kegiatan di dalam rutan. Tapi yang pasti, ya karena komandan ngasih tugasnya ngisi pos disana,” sahut Almika, seraya tersenyum. 


Sepeninggal Almika, pak Sibli menyatakan ia sangat respek dengan pembawaan sipir muda usia tersebut. Selain sopan, juga memahami benar bila tugasnya menjaga manusia, seperti juga dirinya.


“Sipir yang tetep memanusiakan tahanan kayak dia itu, bakal selamet hidupnya dan sukses kariernya. Aku yakin itu, bang,” sambung pak Sibli, seraya menceritakan ia pernah 5 tahun menjadi penjaga tahanan di kantor polisi tempatnya bertugas.


Rudy berdiri di pintu kamar. Menatapku. Dan saat aku melihat ke arahnya, ia memberi isyarat dengan melihat jam tangan yang ada di tangannya. Aku pun paham maksudnya. Hari semakin siang sementara aku belum mandi, apalagi ini hari Jum’at.


Aku berpamitan kepada pak Sibli dan Ino, untuk mandi. Seusai membersihkan badan, langsung memakai pakaian gamis panjang dan kupluk. Melihatku berpenampilan seperti itu, pak Sibli dan Ino segera memahami bila aku akan segera ke masjid.


“Bareng ke masjidnya ya, om,” kata Ino yang bergerak masuk kembali ke kamarnya. Mengambil peralatan solat.


Terdengar pintu kamar-kamar tahanan telah dibuka oleh tamping pemegang kunci. Ratusan orang berebutan keluar kamar. Banyak yang telah membawa kain sarung dan kopiah. Namun, tak kalah banyak yang tidak membawa peralatan solat, dan langsung berjalan ke arah kantin. Untuk makan serta kongkow disana. Mengisi waktu di luar kamar tahanan.


Rudy keluar kamar. Telah memakai kain sarung dan kopiah. Aku pun bergerak. Bangun dari taman, dan berjalan bersama Rudy serta Ino menuju masjid.


“Aku nyusul, bang. Mau mandi dulu,” kata pak Sibli dan kembali ke kamarnya. Kamar 19.


Ketika melewati selasar, aku melihat Aris, Dika, dan Asnawi serta Iyos yang tengah berbincang. Sambil duduk dan menikmati panganan ringan yang dibeli dari kantin, mereka tampak asyik bercerita. 


“Kalau sudah ngemilnya, ayo ke masjid. Lumayan bisa solat sunah dan ngaji dulu sebelum solat jum’at,” kataku, menyapa mereka.


“Nah, ini Babe. Kabarnya mulai senin nanti Babe sidang ya. Aku juga jadwalnya hari itu. Bisa bareng kita, be,” ujar Aris.


“Iya, agendanya mulai senin nanti aku sidang, Ris. Ya, kan kita emang bareng ke pengadilannya. Nggak mungkin dari sini jalan sendiri-sendiri ke pengadilan,” sahutku, seraya tersenyum.


“Bukan gitu maksudku. Kalau bareng kan, kita bisa saling nguatin waktu sidangnya,” jelas Aris.


“Belum tentu juga, Ris. Bisa saja nanti di pengadilan kamu sama Babe beda ruangan sidangnya. Yang pasti bareng itu, dari sini ke pengadilan dan pulang kesininya. Karena harus satu mobil,” Iyos menyela.


“Oh gitu ya, Yos. Kirain bisa kita atur dari sini emang bareng semobil sama yang lain. Di jalan kita pindah ke mobil pribadi. Gitu juga baliknya, pas sudah deket rutan, kita naik mobil tahanan lagi,” kata Aris dan menatap Iyos.


“Selama aku sidang sampai putus, nggak ada yang kayak gitu, Ris. Kalau cerita orang, ya emang ada yang ngatur kayak gitu. Tapi jarang kejadian. Lagian, pasti ada biayanya juga dari lobi seperti itu. Ngapain ngabis-ngabisin duit cuma buat yang begituan,” tanggap Iyos, dengan serius.


Aris mengangguk-anggukkan kepalanya. Mencoba memahami penjelasan Iyos, yang memang telah mengikuti proses persidangan bahkan telah vonis perkaranya. 


“Sudahlah, Ris. Ikuti aja yang sudah jadi aturan, nggak usah mikir yang lain-lain. Ayo ke masjid aja. Ini yang di depan mata,” ucapku, kemudian.


Akhirnya, kami pun berjalan bersama menuju masjid. Dan setelah wudhu langsung mengambil tempat sesuai selera masing-masing di dalam masjid.


Khotib solat jum’at di masjid kompleks rutan saat itu, banyak mengulas tentang hakekat kemanusiaan yang seharusnya saling menghargai. Yaitu dengan belajar untuk diam, yaitu tidak ingin tahu urusan orang lain. Diam tidak ingin tahu aib orang lain, juga tidak menceritakan keburukan orang lain. Serta hanya berbicara atau melangkah seperlunya saja.


“Ahli ma’rifat tidak menghina orang maksiat, tidak menghina orang kafir, tidak menyalahkan ajaran orang lain. Juga tidak membenci orang yang membenci, bahkan menyayangi para pembenci. Ketika ahli ilmu menghina orang bodoh, maka hancurlah ilmunya, ketika yang berakal menghina kemalasan orang lain, hancurlah amalnya,” tutur khotib, yang juga berstatus napi tersebut.


Ia melanjutkan, ketika sejuta hal dapat menjatuhkanmu, temukan satu alasan untuk tetap berdiri. Dan sadari, ketika dirimu direndahkan orang lain, sejatinya Allah sedang meninggikan derajatmu.    


“Seorang ulama besar, Al-Fudhail menyatakan: Demi Allah, seandainya engkau benar-benar putus asa dari makhluk hingga engkau tidak berharap sedikitpun dari mereka, niscaya Allah akan memberi semua yang engkau inginkan. Karenanya, jangan pernah takut menjalani kehidupan ini. Berpasrahlah secara total kepada Allah. Dan jangan takut ketika kebenaranmu disalahkan, tapi takutlah ketika kesalahanmu dibenarkan,” kata khotib, panjang lebar.


Mengakhiri khutbahnya, ia mengutip perkataan Ibnu Qudamah al-Maqdisi: terkadang akhlak yang baik itu didapatkan dari berteman dengan orang baik. Karena kebiasaan adalah pencuri yang dapat mencuri kebaikan maupun keburukan. 


Seusai mengikuti solat jum’at, aku diajak Aris ke kantin. Juga Asnawi, Dika, dan Iyos. Ditraktir makan siang. Dengan lauk khusus: telor sambel. Ditambah minuman es teh manis.


“Traktir ini cara Aris berbagi dengan sesama, bang,” kata Dika kepadaku, saat kami makan siang.


“Alhamdulillah. Barokah sedekahmu ya, Ris,” kataku seraya memandang Aris.


Pria perlente yang pernah menjadi anggota Dewan yang Terhormat itu hanya tersenyum. Tampak ia telah mampu menyesuaikan jiwa dan pikirannya dengan situasi rutan. Wajahnya kembali dipenuhi keceriaan dan kelegaan. Seakan ia tetap merasa sebagai pemenang. Melalui peluang yang ditemukannya dalam masalah. (bersambung)

LIPSUS