Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 202)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 21 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang 

    

MAKAN siang di kantin memang beda. Bukan soal citarasa masakannya. Melainkan suasananya. Ratusan WBP berkumpul di dalam satu tempat untuk tujuan yang sama; mengisi perut sesuai selera masing-masing. 


Nasi cadong yang dikirim ke kamar sehari dua kali, memang sangat jauh dari kelayakan sebagai makanan manusia pada umumnya. Bukan hanya mengenai berasnya yang berkelas terjelek dengan berisikan banyak kerikil, bahkan tidak jarang telah berbau, tetapi juga lauknya yang amat sangat tidak memadai. Bahkan acapkali, sekadar rasa garam yang asin pun tidak dinikmati oleh lidah. Saking anyepnya.


Itu sebabnya, kantin yang memang dikelola oleh petugas rutan, menjadi pilihan utama WBP dalam mencari makanan. Meski dengan harga rata-rata tiga kali lipat dari nominal yang harus dibayar bila membeli di luar penjara.


Setelah menghabiskan makan siang, aku, Aris, Asnawi, dan Dika kembali menuju kamar masing-masing. Berjalan dengan cepat. Karena jadwal apel siang sudah datang. Dan benar saja. Begitu kami masuk pintu depan Blok B, dua orang sipir didampingi seorang tamping telah siap melaksanakan tugasnya. Mendata seluruh penghuni blok tersebut.


Aku pesankan kepada Rudy untuk membangunkan saat adzan Ashar berkumandang. Siang nan terik itu, aku isi waktu dengan tidur. Dua sampai tiga kali aku sempat terbangun, ketika mendengar suara sepatu laras sipir masuk ke kamarku. Namun, aku tetap menutupkan mata, sehingga yang datang dan melihatku, mendapati posisiku tengah tidur.


Rudy membangunkanku tepat saat suara adzan berkumandang dari masjid. Ia telah memegang kain sarung di tangannya dan menaruh kopiah di kepalanya. Sebenarnya, aku masih agak enggan untuk bangun. Namun melihat Rudy yang tengah bersemangat tinggi dalam beribadah, keengganan itu pun terkalahkan. Kami berdua berjalan bersama menuju masjid untuk solat Ashar.


“Om, habis solat ini olahraga aja. Main volly atau pingpong,” kata Rudy, setelah kami keluar dari masjid dan berjalan menuju kamar.


“Lagi nggak mood, Rud. Om pengen leyeh-leyeh aja dulu. Paling juga nulis,” sahutku, enteng.


Seusai mandi sore, aku terpaku pada buku catatan harian. Aku tumpahkan segala pengalaman di atas buku tersebut. Acapkali, terasa dadaku menyesak saat menuliskan hal-hal yang menyakitkan. Dan aku teringat pesan seorang sahabat: luaskan hatimu, sehingga apabila ada masalah besar yang masuk ke dalamnya, akan seperti butiran debu yang mudah dihapus. 


“Om, minta tolak angin dong. Kayaknya Rudy masuk angin ini,” tiba-tiba Rudy muncul di hadapanku dengan perkataannya.


Tanpa menjawab, ku ambil kotak berisi minuman tolak angin yang ada di rak tempatku. Setelah mengambil satu bungkus, Rudy tersenyum. 


“Om percaya nggak, ada orang yang bilang, kalau penyakit itu seperti tamu. Ada saatnya dia datang dan ada saatnya dia pergi. Dan yang namanya tamu datang, pasti ada tujuan dan bawa barokahnya masing-masing,” kata Rudy, kemudian.


“Om percaya, Rud. Apapun yang kita alami, pasti bawa hikmah atau barokah,” sahutku, pendek.


“Om, Rudy mau tanya. Gimana jalannya untuk mencapai Allah,” ujar Rudy, beberapa saat kemudian.


Aku terdiam. Belum sampai pengetahuanku untuk menjawab pertanyaannya. 


“Coba kamu ke kamar 8 ya, Rud. Sampaikan pertanyaanmu tadi ke pak Anas. Setelah itu kamu ceritain ke om,” kataku.


“Kenapa Rudy harus tanya ke pak Anas ya, om?” tanya dia.


“Nggak usah banyak tanya. Ikuti aja arahan om tadi. Om tunggu disini apa hasilnya,” sahutku.


Rudy bergerak. Keluar kamar dan berjalan menuju kamar 8. Tempat pak Anas berada. Tidak lama kemudian, ia telah kembali. Ditangannya terdapat sebuah kertas.


“Apa kata pak Anas, Rud” tanyaku, saat ia masuk kembali ke kamar dan mendekat ke tempatku merebahkan badan sambil menulis buku harian.


“Rudy bacain aja ya, om. Kata pak Anas, Syeh Abdul Qadir Al Jaelany pernah menyampaikan, kamu tidak akan mencapai Allah dengan tahajud di malam hari atau puasa di siang hari. Tapi, kamu akan mencapai-Nya dengan kedermawanan, rendah hati, dan qalbu yang jernih,” kata Rudy, seraya membaca kalimat yang tertulis pada kertas yang ada ditangannya.


Mendengar itu, aku beristighfar di dalam hati. Betapa pentingnya menjaga hati, pikiran, dan perilaku dalam hidup keseharian bila ingin mencapai Tuhan Penguasa Alam.


“Gimana kalau bawaan kita masih sering sombong bahkan belum bisa ninggalin maksiat ya, om,” ucap Rudy, sambil memandangiku dengan tatapan serius.


“Ya pelan-pelan, yang nggak sesuai dengan jalur mencapai Allah itu, ditinggalinlah Rud. Dan kita nggak perlu kecil hati. Karena setiap maksiat, disitu ada taubat. Setiap kesedihan, ada kesenangan. Pada setiap tekanan hidup, ada ketenangan, dan di setiap kesusahan, ada kebahagiaan. Segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya, jadi tetaplah percaya atas apapun ketentuan Allah. Sabar aja,” ujarku, panjang lebar.


“Setelah belajar cara solat yang bener, rasanya Rudy benci bener sama hidup Rudy selama ini, om. Kan repot juga kalau kita benci sama diri sendiri,” kata Rudy, beberapa saat kemudian.


“Belajarlah buat kendaliin diri sendiri, Rud. Karena kalau kamu ingin membenci, semua yang ada di dunia ini bisa buatmu benci atau marah. Sebaliknya, kalau kamu mau bersyukur, apapun yang ada sekarang ini, akan buatmu terus bersyukur. Jadi intinya, bukan dunia ini yang ngatur hidupmu, tapi kamu sendiri yang harus bisa kendaliinnya,” jawabku, enteng.


Sesaat Rudy diam. Tampak ia tengah mencoba memahami apa yang baru aku sampaikan. Dan setelahnya, ia mengajakku bersiap-siap untuk ke masjid. Maghriban. 


Sesungguhnya, saat itu ada rasa enggan di hatiku untuk ke masjid. Aku ingin solat di kamar saja. Namun, karena menghargai Rudy yang tengah menikmati keasyikannya menunaikan ibadah, keengganan itu aku tepikan. Meski aku menyadari, dengan cara itu aku telah terjebak dalam lelakon kehidupan untuk mengenyangkan keinginan orang lain, dan mengenyampingkan hasrat yang ada di dalam diri sendiri. (bersambung)

LIPSUS