Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 203)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 22 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang


SELEPAS solat maghrib dan akan meninggalkan masjid, sipir yang juga sahabatku, Fani, menyapaku. Ternyata, ia juga baru selesai mengikuti jamaahan.


“Tumben doanya pendek, bang,” kata Fani, seraya tersenyum.  


“Ini si Rudy ngajak buru-buru balik ke kamar. Takut pas apel malem, kami belum di kamar. Kamu sehat-sehat ya, Fani,” sahutku, seraya menyalaminya dengan hangat.


“Kalau keberadaannya jelas, ya nggak masalah sebenernya, bang. Apalagi di masjid. Tapi, ketimbang jadi pertanyaan, emang bagusnya pas apel, ya ada di kamar. Alhamdulillah aku sehat, bang. Abang juga sehat ya,” tanggap Fani.


Kami keluar masjid dengan bersamaan, sampai kemudian Fani akan berbelok ke arah pos penjagaan luar. Saat itu, ia telah selesai melaksanakan tugas piketnya. Dan akan kembali bertugas pada esok pagi hingga siang hari. 


“Besok abang mau dibawain apa?” tanya Fani, ketika kami akan berpisah jalan.


“Nggak usah, Fani. Inshaallah besok ayukmu sama anak-anak mau besukan. Terimakasih tawarannya,” kataku, dan kembali menyalaminya.


“Oke, bang. Kalau nanti ada perlu-perlu dadakan, telepon ya. Pinjem telepon kawan-kawan sipir aja, bilang kalau mau kontak aku,” ujar Fani, dan terus melangkahkan kaki menuju pos penjagaan luar. Dan kemudian pulang ke rumahnya.


Sesampai di kamar, aku membuka Alqur’an. Meneruskan mengaji. Seorang petugas masuk ke kamar. Mengecek keberadaanku pada saat ia melakukan apel malam.  Seusai menjalankan solat Isya, baru aku turun dari tempatku.


Rudy telah menyiapkan makan malam. Selain makanan dari catering dapur rutan, juga terdapat satu bungkus nasi dari rumah makan di luar kompleks rutan.


“Om, tadi om Basri beliin kita nasi bungkus, lauknya ayam sayur. Nitip sama sipir,” kata Rudy, begitu melihat aku menatap sebungkus nasi di atas piring.


“O gitu, Alhamdulillah. Tapi om makan nasi dari catering aja, Rud. Kamu aja yang makan nasi bungkus itu,” sahutku.


“Sama om Basri sudah disiapin buat kita berdua lo, om. Masak dua-duanya Rudy yang makan,” katanya lagi.


“Ya nggak apa-apalah, Rud. Om cukup kok makan yang dari catering dapur ini,” jawabku, dan memulai makan. 


Dengan lahapnya Rudy memakan dua bungkus nasi dengan lauk ayam sayur yang dibelikan oleh Basri. Dan setelahnya, aku kembali ke tempatku. Duduk di atas kasur sambil membaca cerita pendek dan kumpulan puisi hasil karya Ikhsan. 


Seorang anak muda yang memiliki kreativitas tinggi dan keberanian untuk terus mengembangkan bakat minatnya secara total. Yang aku kenal beberapa hari lalu saat bertandang ke ruang bimgiat. Ruangan bimbingan kegiatan bagi para tahanan di rutan.


Cerita pendek yang ditulis Ikhsan demikian indah. Bukan hanya dalam merangkai kata menjadi kalimat bermakna yang menghujam langsung ke jiwa, namun juga sarat dengan senandung penyesalan serta kerinduan seorang anak kepada ibunya. 


Dengan piawainya, Ikhsan menuangkan suara hatinya: aku takkan menyalahkan siapapun saat luka dalam hatiku tak kunjung membaik, karena itu semua adalah kesalahanku, yang tak mampu mengikhlaskan setiap luka dalam hati. Dalam lengkung suasana demikianlah aku merindu ibuku, yang jauh di seberang sana. Yang hanya bisa ku jangkau lewat doa, tanpa kuasa menyentuh raganya.


Keasyikanku mengikuti alur cerita pendek karya napi muda usia itu, terputus ketika terdengar suara sepatu laras masuk ke kamar. Aku paham betul. Itu suara sepatu sipir. Penjaga tahanan. 


Dan benar saja. Ternyata, komandan pengamanan yang sejak awal aku masuk rutan banyak membantuku, muncul di depanku.


“Assalamualaikum. Lagi baca apa itu, pak,” ucapnya, dan menyalamiku yang masih duduk di kasurku.


“Waalaikum salam, Dan. Lagi baca cerpen sama puisi buatan anak di bimgiat. Asyik bener ceritanya, sampai nggak tahu kalau Komandan masuk,” sahutku, segera bergerak bangun dari duduk.


Aku dan komandan pengamanan rutan duduk di ruang depan. Di kursi kecil. Rudy segera menyiapkan minuman hangat. Kopi. Juga mengeluarkan makanan ringan punyaku dari lemari tempat menaruh makanan.


“Kabarnya mulai senin sidang ya, pak,” ujar komandan pengamanan.


“Iya, saya dapat kabar dari pengacara memang begitu. Mohon doanya ya, Dan,” kataku.


“Inshaallah, saya terus doain pak Mario. Tetep sabar, tenang, dan ikhlas aja ya, pak. Jalani semua prosesnya dengan hati gembira. Yakini, kalau semua yang terjadi sama kita, memang sepenuhnya kehendak Yang Kuasa,” kata dia lanjut.


“Siap, Dan. Inshaallah, saya terus bisa belajar sabar, tenang, dan ikhlas. Walau memang kadang, hati dan pikiran nggak karu-karuan rasanya,” ujarku, dengan tersenyum tipis.


“Manusiawi aja kalau kita sering galau itu, pak. Hanya, jangan terus dikembangkan perasaan seperti itu. Cepat atasi dengan meyakini semua ini memang sudah catatan dari tangan Tuhan. Nggak ada yang bisa menghapusnya, kecuali ya Tuhan sendiri yang melakukannya,” tambah komandan pengamanan rutan, dengan suaranya yang khas; kalem.


“Terimakasih banyak supportnya selama ini ya, Dan. Jujur, semua ini membuat saya tetep enjoy hidup disini,” kataku, polos.


Komandan pengamanan rutan itu tersenyum. Melihat senyumannya, hatiku pun merasa adem. 


Setelah menghembuskan asap rokok dari mulutnya, ia bercerita, beberapa tahun silam, pernah ada seorang ustadz terkenal menjalani masa penahanannya di rutan ini. Napi tersebut hanya menzikirkan kalimat la tahzan dan la taghdhab selama dua tahun menghuni sel. 


“Suatu saat, saya tanya kepada beliau. Kenapa kok wiridnya hanya dua kata itu saja. Beliau bilang, la tahzan itu merupakan terapi kesedihan, sedang la taghdhab adalah terapi untuk mengatasi suhu panas hati,” urai komandan pengamanan rutan.


“Terus manfaat yang beliau harapkan dari wirid itu apa ya, Dan?” tanyaku, penasaran.


“Kata beliau, dengan membaca la tahzan atau jangan bersedih, agar kita tidak menentang takdir. Sedang la taghdhab atau jangan marah, agar kita tidak menodai kesabaran. Itu salah satu pelajaran berharga yang saya dapat selama bertugas disini. Dan entah kenapa, kok saya ingin menyampaikan cerita ini ke pak Mario. Mungkin beliau menitipkan kepada saya, agar pak Mario juga mewiridkan dua kata tersebut,” tutur komandan pengamanan rutan, panjang lebar.


“Alhamdulillah. Inshaallah, saya ingat dua kata tersebut, Dan. Sekarang dimana beliau,” sahutku, pendek.


“Setelah beliau bebas, saya juga tidak pernah bertemu lagi, pak. Tapi terkadang, seakan beliau mengingatkan dengan dua kata tersebut bila saya sedang merasa sedih atau marah. Aneh memang. Namun ya itu yang saya rasakan dan alami,” jelas dia, dengan wajah serius.


“Bisa jadi, secara batin Komandan dengan beliau memang tersambung,” kataku, kemudian. 


“Mungkin juga ya, pak. Dan saya meyakini, dalam kehidupan ini ada pembicaraan yang tidak menjelaskan apa-apa, tapi ada keheningan yang justru menjelaskan segalanya,” ucap komandan pengamanan rutan dengan menggunakan kalimat yang menyimpan maknanya. (bersambung)

LIPSUS