Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 204)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 23 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang


AKU hanya diam. Mencoba memahami dan menikmati perdialogan dengan komandan pengamanan rutan yang penuh dengan pesan moral tersebut. 


Seraya menghisap rokok yang ada di tangannya, pria low profile berpostur tinggi atletis ini menyatakan, menjadi penghuni rutan bukanlah akhir dari cerita indah kehidupan seseorang. 


“Karena hidup tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Itu sebabnya, kita yang harus menyesuaikan dan meyakini bila di setiap penyesuaian selalu ada pelajaran yang tidak pernah diajarkan di sekolahan manapun,” sambung komandan pengamanan rutan.


Setelah menghabiskan minuman kopi manis di cangkir, ia mengajakku keluar kamar. Kongkow di pos pengamanan dalam. Ajakan itu aku penuhi. Dan beberapa saat kemudian, kami telah berada di teras pos pengamanan. 


Suasana rutan berpenghuni 1.300-an tahanan itu tampak sepi. Hanya belasan petugas jaga saja yang ada di luar. Puluhan lampu sorot menerangi seluruh kawasan kompleks penahanan dengan luas sekitar 4 Ha tersebut. Terang benderang. 


Seorang sipir tampak asyik memainkan gitarnya, sambil duduk santai di dalam pos penjagaan. Sentuhan jari ke tali gitar mengeluarkan senandung mendayu. Seakan menyeiramakan dengan sepoinya angin malam saat itu. 


Yang menyampaikan pesan; teruslah memiliki harapan, tapi jangan pernah berharap. Nantikan, namun jangan pernah menunggu. Karena yang pasti hanya kematian. Selainnya, sekadar perputaran cerita kehidupan. 


Tepat tengah malam, aku izin kembali ke kamar. Rasa kantuk sudah begitu kencang. Dan sesampai di kamar, langsung merebahkan badan.


Namun, Basri dan Dino yang sebelumnya telah merebahkan badan di kasur masing-masing, mendadak bangun. Duduk sambil memandangku.


“Ada yang mau dibicarain?” tanyaku, formal.


“Gini, pak Mario. Kami berdua terpaksa ngomong terus terang, karena selama pak Mario di kamar ini, kayaknya nggak ada pengertian sama sekali,” Dino membuka pembicaraan.


“Oke, terus maksudnya gimana?” tanyaku, menyela.


“Mestinya sepikiranlah. Kita kan sekamar. Kalau pak Mario makannya lewat catering dapur, kami juga harusnya dipesenin yang sama. Jadi ada kebersamaan di kamar ini,” lanjut Dino.


“Oke, masih ada yang mau disampein lagi?” tanyaku lanjut, dengan nada santai.


Dino memandang Basri, yang duduk di atas kasurnya sambil menyandarkan punggung ke tembok. Pria bertubuh tambun dengan wajah sangar itu hanya menggeleng.


“Cukup, itu aja yang perlu kami sampein sekarang ini,” Dino menambahkan.


“Jadi begini, kalau dibilang aku nggak ada pengertian sama sekali, aku mau tanya dulu. Pernah nggak kalian berdua nyampein ke aku soal apa aja yang diperluin di kamar ini dan ditangani bareng-bareng. Seingetku, nggak pernah. Ada sekali waktu aku tanya, apa kewajiban di kamar, Basri bilang tanya aja ke Rudy. Aku tanya ke Rudy, dia nggak ngerti apa-apa. Jadi, kalau aku dianggep nggak ada pengertian sama sekali, nggak pas juga penilaian itu,” kataku, mengurai.


Basri menatap Dino. Seakan mereka berbicara melalui sorot mata. Namun aku tidak menangkap adanya “pembicaraan mata” antara mereka.


“Nah, sekarang soal aku pesen catering. Itu bayarnya berdua sama Ino dari kamar 19. Makanya, kami berbagi makanan. Kalau aku diminta pesenin catering juga buat kalian, aku bisa meseninnya tapi nggak mungkin aku yang bayarnya,” sambungku. Kali ini dengan penekanan.


Kembali Dino dan Basri bertatapan. Aku memahami, mereka kehilangan arah untuk membuatku menyepakati sesuatu yang mengenakkan untuk mereka, namun menjadi beban kewajiban untukku.


“Jadi maunya pak Mario bagaimana?” tanya Dino, memandangiku dengan serius.


“Mauku, ya kayak biasa aja. Kita hidup masing-masing, hanya kebetulan aja kita sekamar. Jangan saling ganggu prinsipnya. Kan selama ini ya seperti itu kondisi kita. Jadi nggak usah dirubah, nggak ada guna juga buatku,” tanggapku.


Dino dan Basri terdiam. Dan beberapa saat kemudian, keduanya kembali merebahkan badan di kasur masing-masing. Menarik kain sarung yang menjadi selimut untuk menutupi tubuhnya.


Ku urungkan untuk tidur. Aku menyeduh minuman energen. Mengenyangkan perut, sambil menikmati sebatang rokok dengan duduk di kursi ruang depan kamar sel. Mendadak pikiranku kemana-mana dan sulit dikendalikan. Beragam masalah berseliweran. Berbagai kekhawatiran bermunculan. 


Buru-buru ku habiskan minuman dan rokok, dan langsung mengambil wudhu. Aku memilih menentramkan jiwa dan pikiran dengan bersujud kepada Yang Maha Kuasa. 


Lama aku duduk tepekur di atas sajadah yang aku gelar di ruang kecil yang memisahkan kamar mandi dengan tempat tidur kami. Memejamkan mata, terus mencoba menyatukan pikiran dan jiwa. Meraih tali-temali untuk membawaku mendekat kepada Sang Pencipta. 


Suasana rutan yang sunyi, menambah kesyahduanku meraih-raih tali yang menjulur dari langit. Yang terus bergerak diterpa angin, karena masih sulitnya aku menyatukan pikiran dan jiwa dalam kepasrahan total kepada Pemilik Kehidupan.


Hingga aku terkurung dalam kelelahan batin dan raga. Dan tertidur beberapa kali di tengah kesyahduan menyenandungkan puja-puji kepada Ilahi Rabbi. Tiba-tiba aku seakan mendengar sebuah suara; puncak kesempurnaan adalah kesederhanaan, dan puncak kesederhanaan adalah keikhlasan. 


Rangkaian kata yang masuk ke telingaku dengan pelan itu, sontak membuatku kembali bersemangat. Menggeser hawa kelelahan yang mulai memuncak. Aku tidak berharap kesempurnaan, melainkan hadirnya relung-relung keikhlasan. Batinku meyakini, perasaan lelah dan lemah ini tidak lain adalah isyarat indah dari Tuhan, seakan Ia menyatakan; waktunya untuk terus berdoa.   


Perlahan, badanku kembali bisa tegak untuk melanjutkan prosesi persujudan kepada Sang Khaliq. Hingga waktu adzan Subuh datang, baru aku bergeser dari sajadah di kamar. Dan keluar, berjalan menuju masjid.


Seusai mengikuti jamaahan, aku bergabung dengan para tahanan yang menjadi anggota majelis taklim. Mendengarkan pengajian. Mendalami ayat-ayat Tuhan. Menyuburkan keimanan.


Ketika aku akan meninggalkan masjid, ustadz yang memberi pengajian memanggilku. Berkenalan, dan mengajak berbincang. Banyak hal yang ia sampaikan kepadaku. Mengarah pada satu tujuan: perbaikan diri. (bersambung)

LIPSUS