Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 205)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 24 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang


KALAU mau merubah diri, mulailah dengan ilmu tahu diri,” tutur ustadz yang menjadi penghuni rutan karena tersangkut kasus kekerasan dalam rumah tangga itu.


“Maksudnya bagaimana, pak ustadz?” tanyaku dengan serius.


“Itu ilmu membedah diri sendiri dengan sejujur-jujurnya. Dengan ilmu tahu diri, kita menyadari sebenernya kita ini siapa, ilmu kita seperti apa, kemaksiatan kita sebanyak apa, ngaji kita baru sampai mana, dan kita pernah belajar dari mana? Intinya, temukan dulu diri kita yang sebener-benernya, bukan bersandiwara,” urai pria berusia sekitar 45 tahunan tersebut.


Ia juga menguraikan tentang hakekat karma. Dimana karma bekerja dengan jujur dan tepat untuk semuanya. Mengembalikan kebaikan untuk kebaikan, kejahatan untuk kejahatan. Juga karma bekerja tanpa perlu seorang hakim, pengacara maupun pengadilan.


“Kalau sampeyan mau merubah diri selama di rutan ini, biasakan menjadi penasihat bagi diri sendiri, dengan begitu sampeyan akan selalu berada dalam kebaikan. Dan harus terus semangat untuk introspeksi diri,” lanjut sang ustadz.


Setelah banyak mendapatkan siraman batin yang mengejukkan, aku menyalaminya. Berpisah untuk menuju ke kamar masing-masing. Kembali pikiranku melayang ke angkasa; mengapa justru di dalam penahanan seperti ini, tatanan kehidupan yang diatur Sang Pengatur itu terus menghiasi waktu yang ada.  


“Om, kok nggak bangunin Rudy sih? Kan pengen subuhan ke masjid juga,” tiba-tiba Rudy menegurku saat aku masuk pintu Blok B, kawasan tempat penahananku.


“O iya, maaf Rud. Om lihat kamu tadi lagi nyenyak bener, jadi nggak tega banguninnya,” kataku, mencari alasan pembenaran.


“Besok-besok, kalau om ke masjid dan Rudy masih tidur, bangunin ya. Ngomong-ngomong, emang om habis apa ya, kok jalan dari masjid ini tadi kayak ngelamun berat gitu,” lanjut Rudy.


“Oke, besok-besok om pasti bangunin kamu buat solat ke masjid. Tadi om ngobrol sama pak ustadz yang ngurus majelis taklim, Rud. Banyak bener petuah beliau dan ngena di hati. Maka sambil jalan tadi ngerenung, bukan ngelamun,” kataku, dan tersenyum.


“Beda ya om ngerenung sama ngelamun itu?” tanya Rudy.


“Ya bedalah, Rud. Kalau ngerenung itu kayak ngebedah diri sendiri setelah dapet nasihat atau saran. Kalau ngelamun, mikirin sesuatu yang ngawang-ngawang aja,” sahutku.


“O iya, om. Semalem Rudy nyalin kalimat yang bagus dari buku yang Rudy baca. Yah, sekadar buat pelajaran aja. Kalimatnya berbunyi; hati yang paling baik adalah hati yang kokoh, jernih, dan lembut. Hati yang seperti ini akan melihat kebenaran dengan kejernihan, menerimanya dengan kelembutan, dan menjaganya dengan kekokohan,” tutur Rudy, seraya membaca tulisan di kertas yang ia keluarkan dari kantong celana pendeknya.


Aku tersenyum. Ada kebanggaan melihat semangat anak muda ini untuk terus menambah pengetahuannya. Semakin tergerak hatiku untuk terus membimbingnya menuju ke arah kebaikan. Sekaligus membuktikan, jika di dalam rutan pun banyak orang yang serius “nyantri”, yang perubahannya akan diwujudkan setelah keluar nanti. 


Saat memasuki bagian dalam Blok B, aku melihat Dino dan Basri telah duduk di taman depan kamar. Dua cangkir berisi kopi ada di meja taman. Tanpa menyapa mereka, aku langsung masuk ke kamar. Setelah melipat kain sarung dan menaruhkan kupluk, aku jatuhkan badan ke kasur. Tidur. 


“Om, bangun. Ada tante sama anak-anak om di kantor,” kata Rudy, menepuk-nepuk telapak kakiku.


“Alhamdulillah. Nyenyak bener tidur tadi, Rud. Oke, om segera mandi,” ucapku, dan bergegas ke kamar mandi.


Aku meminta kepada Rudy untuk melepaskan seprai kasur, juga sarung bantal dan guling. Pun selimut. Menyatukanya di dalam kantong plastik tempat baju kotor, untuk aku berikan kepada istri dan dicuci di rumah.


Setelah memakai kaos berkerah dengan tulisan WBP, bercelana pendek dan memakai topi, aku keluar kamar sambil membawa sebuah kantong plastik berisi pakaian kotor. Berjalan terburu-buru, melapor ke pos penjagaan dalam dilanjutkan ke pos penjagaan luar. Baru melangkah masuk ke kantor rutan.


“Tante sama anak-anak om ada di aula. Langsung aja ke atas,” kata seorang tamping regis saat melihatku memasuki ruangan kantor rutan.


Setengah berlari aku menapaki anak tangga demi anak tangga untuk sampai ke aula. Begitu melihatku berjalan akan masuk aula, anak bungsuku, Halilintar, langsung berlari menyambutku. Kami pun berpelukan. Penuh kerinduan dalam gelegak keharuan.


Kedua tangannya memeluk erat badanku. Seakan ingin menyatukan raga kami. Degub jantungnya begitu kencang, hingga aku merasakan getarannya. Perlahan aku elus-elus rambutnya. Ku cium pipi dan keningnya.


Ku dongakkan wajahnya. Menatap matanya. Sinar ketegarannya tertutup oleh kesenduan. Ada tabir yang begitu kuat menutupi ketajaman sorot matanya. Sebuah derita batin yang begitu nyata.


“Ayah sehat ajakan? Adek baik-baik aja kok selama ini. Nggak usah khawatirin adek ya, ayah. Yang penting doa ayah jangan pernah putus buat adek,” kata Halilintar dengan suara bergetar sambil menatap mataku.


Sambil tersenyum, ku rengkuh kepalanya. Aku tempelkan ke dadaku. Agar ia memahami betapa yang ia rasakan sesungguhnya juga sangat aku rasakan pula.


“Ayah percaya, jagoan ayah tetep tegar kok. Jangan pernah kecil hati yo, le. Nikmati aja semua ini dengan terus bersyukur, sabar, dan ikhlas,” kataku, dan membimbingnya untuk kembali duduk di kursinya.


Ku pandangi anak gadisku satu-satunya. Bulan. Seulas senyum indah ia sunggingkan di bibir bagusnya, sebelum ia memelukku. Begitu erat pelukannya. Sama dengan yang dilakukan adeknya, Halilintar.


“Nduk sehat-sehat ajakan?” tanyaku, sambil menatap wajah ayunya. Dan menarik pelan hidung apiknya. 


“Sehat dong, ayah. Kata bunda, kita boleh menderita batin karena ayah lagi dapat ujian, tapi jangan sampai sakit. Karena, kalau kami sakit, malahan buat ayah makin menderita,” ucap Bulan, dan tetap ada senyum indah yang ia persembahkan buatku.


Mendengar ucapan Bulan, aku pun tersenyum. Sekaligus bangga dan haru. Betapa tegarnya istriku, Laksmi, menerima kenyataan pahit ini. Dengan tetap bisa menjaga keseimbangan mental anak-anakku. Terus menaburkan serpihan optimisme dan percaya diri.


Lama aku berpelukan dengan Bulan. Anak gadisku menaruhkan kepalanya di dadaku. Merindukan sebuah perlindungan dari seorang ayah. Yang selalu menjadi “cinta pertama” bagi anak gadisnya.


Istriku yang sejak tadi telah berdiri dari tempat duduknya, terus tersenyum melihat aku dan Bulan masih berpelukan dengan erat. 


Sebagai seorang ibu, ia memahami betul betapa anak gadisnya amat merindukanku, sosok ayah yang sejak beberapa bulan ini terpisahkan oleh keadaan. Sebagai seorang istri, Laksmi juga sangat mengerti, betapa anak gadis bagi seorang ayah adalah buah cinta yang amat berharga.


Aku tahu persis, istriku Laksmi memang sangat memahami, bila menunggu jalan keluar atas suatu situasi dengan bersabar adalah ibadah. Karenanya, ia justru menikmati saat aku dan Bulan begitu lama berpelukan dalam balutan cinta sejati seorang ayah dan anak gadisnya. (bersambung)

LIPSUS