Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 206)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 25 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang


PELUKANKU begitu erat ke tubuh istriku. Menumpahkan rasa rindu. Merengkuh cinta dalam dekap hangatnya.


“Ayah sehat terus ya. Mulai senin nanti masa persidangan lo, jadi harus makin ekstra jaga kondisi badan,” kata istriku, Laksmi, setelah kami duduk berdampingan di aula rutan.


“Inshaallah, ayah sudah siap lahir batin untuk jalani masa sidang. Bunda dan anak-anak doain aja, dan nggak usah khawatir,” balasku, dengan tetap memeluk istriku.


Bulan mengeluarkan beberapa bungkus nasi, dan tupperwaer tempat lauk, juga kerupuk, dari tas kecil yang dipegangnya.


“Kita makan dulu ya, ayah. Bunda sudah bawain nasi dari rumah buat ayah,” ajak Bulan, yang sibuk menyiapkan untuk kami makan bersama.


Nikmat sekali. Makan dengan nasi dari rumah, berlauk gurame bakar yang diambil dari kolam kecil di sudut halaman rumah, serta sambel terasi, ditambah kerupuk. Apalagi bersama istri dan anak-anak. Sesekali, aku menyuapi istriku Laksmi, Bulan, dan Halilintar. Wajah mereka berbinar. Penuh kebahagiaan. 


“Bunda sudah bawain baju, celana, kopiah juga sepatu buat ayah pakai waktu sidang senin nanti. Sudah diterima tamping, nanti dia yang bawa ke kamar ayah. Ada juga beberapa kaos, celana pendek, dan training buat pakaian ganti ayah,” kata istriku, sambil terus menikmati makan bersama.


“Alhamdulillah, terimakasih ya, bunda,” sahutku, tersenyum lega.


“Tapi mbak sama adek nggak bisa lihat sidang ayah. Kan waktunya samaan dengan jam sekolah,” Bulan menyela. Ada nada penyesalan dalam ucapannya.


“Yo wes, nggak apa-apa, nduk. Sing penting, terus saling doa aja yo,” kataku, dengan cepat. 


Selepas makan bersama, anak bungsuku Halilintar menempelkan kepalanya ke bahuku. Tanganku melingkar di badannya. Aku memahami, ia tengah merindukan kehangatan kasih sayangku sebagai seorang ayah. Ia ingin aku menggelorakan kekuatan mental untuknya. 


“Gimana sekolahmu dan kegiatan OSIS-nya, le?” tanyaku kepada Halilintar.


“Sekolah itu yang utama, ayah. Adek pasti maksimalin semuanya. Kegiatan di OSIS sampai sekarang jalan dengan baik sesuai agendanya. Alhamdulillah, kawan-kawan pengurus semangat semua, jadi adek juga seneng,” tutur Halilintar dengan tersenyum.


“Kalau nduk, gimana sekolahnya?” tanyaku kepada Bulan, yang tengah merapihkan tempat bekas kami makan.


“Alhamdulillah, mbak aktif terus selama ini, ayah. Nanti kalau mau ulangan, minta air doa ayah ya,” sahut Bulan dengan nada ceria.


“Alhamdulillah. Tugas nduk dan adek sekarang ini sekolah, jadi ya prioritasin belajarnya. Boleh aja banyak kegiatan lain, tapi jangan ngalahin urusan sekolah. Itu yang penting,” kataku dengan menatap Bulan dan Halilintar.


“Siap. Ayah nggak usah khawatirin mbak sama adek. Kami selalu diingetin bunda apa aja yang prioritas dalam hidup kami saat ini. Kami selalu harepin doa ayah, jangan pernah putus buat kami sama bunda,” ucap Bulan dengan memandangiku dan spontan mendekap badanku. 


Aku memahami benar, ketegaran yang selalu ditunjukkan Bulan selama ini dalam kesehariannya, tetaplah memerlukan penguatnya. Yaitu sosokku. Yang selama ini terpisahkan oleh keadaan. Karenanya, saat bertemu, ia rekatkan jiwa raganya untuk mendapat tambahan penguat bagi ketegarannya.


Melihat anak gadisnya mendekapku erat, sementara tangan kananku memeluk Halilintar yang menaruhkan kepalanya di bahuku, istriku Laksmi tersenyum. Haru dan bahagia menyatu dalam senyumnya.


Selintas aku melihat ia menarik napas panjang. Melepaskan beban di batinnya. Yang ia pendam selama ini, hingga Bulan dan Halilintar bisa menyatukan dirinya denganku. 


Seperti yang dirasakan istriku, aku pun memahami, bila pertemuan kami akan menjadi penguat jiwa bagi Bulan dan Halilintar. Dua anak manusia yang tengah memasuki masa remaja. Masa pencarian jati dirinya.


Saat suara adzan Dhuhur dari masjid mulai terdengar, istriku memberi isyarat kepada Bulan dan Halilintar untuk bersiap menyelesaikan pertemuan kami. 


“Emang nggak bisa lebih lama ya bunda ketemu ayahnya?” tanya Halilintar.


“Ya bisa aja, dek. Tapi aturannya memang sampai jam 12.00. Kita patuhi aturannya aja ya. Kecuali kalau lagi ada hal penting yang harus dibicarain,” kata istriku.


“Makanya ayah pegang hp dong, jadi kapan aja mbak atau adek pengen komunikasi, tetep bisa,” ujar Bulan, menyela.


Aku dan istri berpandangan. Dan sesaat kemudian, kami tersenyum. 


“Iyo, nanti ayah cari cara dulu buat bisa pegang hp yo. Nduk sama adek sing sabar. Yakin aja, ayah pasti ketemu caranya,” kata istriku, menenangkan.


“Bener ya, ayah. Usahain bisa cepet pegang hp. Jadi kapan aja kita bisa komunikasi,” kata Bulan, memandangku dengan serius.


“Inshaallah, nduk. Doain yo. Semua yang kita rencanain diijabah Allah,” sahutku, dan kembali merengkuh tubuh anak gadis semata wayangku itu. 


“Mbak sering kangen sama ayah. Apalagi pas malem-malem, biasanya ayah kan ngecek mbak di kamar. Terus melukin mbak. Sekarang nggak bisa lagi. Mbak kehilangan perhatian dan pelukan ayah itu,” tutur Bulan, ada tetes air matanya jatuh ke lantai.


Pelukanku makin menguat ke badan Bulan. Sesungguhnya, aku pun merasakan lebih dari yang ia rasakan. Nelongso dan sunyinya jiwaku, cukuplah aku yang merasakannya. Dan tanpa terasa, sebutir air mata mengambang di sudut mataku. 


Istriku Laksmi buru-buru mendekat. Mengusap genangan air di mataku dengan jari lentiknya, seraya menyunggingkan senyum di bibirnya. Ia amat memahami, bila hanya dirinya dan Bulan sajalah, wanita yang mampu membuatku menitikkan air mata.


Dalam situasi yang diliputi keharuan itu, aku teringat perkataan seorang sahabat: akan ada masanya dimana manusia merasa dunianya telah berhenti berputar. Waktunya telah berhenti bergerak, dan jantungnya telah berhenti berdetak. Bukan karena Tuhan telah mengambil nyawanya, namun karena ia kehilangan sosok yang ia anggap sebagai dunianya. 


Menyadari perkataan seorang sahabat itu kini mengena kepada anak gadisku Bulan, aku pun semakin menguatkan pelukan. Seakan ingin menyadarkan ia, bila aku tetap ada untuknya. Dunianya itu masih tetap ada, hanya terpisah secara raga.


“Ayah, adek pengen ayah tiup dan usap kepala adek sambil didoain,” tiba-tiba Halilintar berujar dan mengangkat kepalanya dari bahuku.


Aku penuhi keinginan cah ragilku itu. Aku usap dan doakan ia tanpa bersuara. Doa dalam diam –sesungguhnya- adalah teriakan paling keras yang menembus keheningan. Tidak ada yang mendengar, namun kekuatannya menembus sampai langit. (bersambung)

LIPSUS