Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 207)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 26 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang     


ISTRIKU memelukku penuh keharuan. Ada sesenggukan di batinnya. Getarannya sangat aku rasakan. Aku menyadari betapa beratnya beban kehidupan ia mesti jalani akibat aku terjerat kasus hukum ini. 


“Allah yang ngatur semuanya, dan Allah yang kuatkan kita semua. Tetep yakin ya, bunda,” ujarku, berbisik pelan di telinganya yang menempel di kepalaku.


Ia tidak menjawab. Hanya menganggukkan kepalanya. Pelan. Seakan telah tiada kekuatannya. Bulan kembali memelukku. Kami bertiga hanyut dalam peluk keharuan.


Tiba-tiba seorang tamping regis masuk. Melihat kami masih berpelukan untuk kemudian berpisah, ia hanya berdiri di depan pintu. Sesaat kemudian, ia menundukkan kepalanya. Memahami benar, betapa berat beban batin yang tengah kami rasakan.


“Ayo, bunda dan mbak. Waktu besukan ayah sudah habis,” kata Halilintar, seraya mengambil kantong plastik berisi pakaian kotorku. Untuk dibawa pulang. Dicuci di rumah.   


Aku antar istriku Laksmi, Bulan, dan Halilintar sampai pintu ruang pemeriksaan akhir bagi pembesuk. Puluhan orang tengah mengantri untuk keluar juga. Setelah menemui keluarganya yang menjadi penghuni rutan.


“Ayah, kenapa kita nggak besukannya di ruang khusus besukan, kayak yang lain? Kenapa kita ketemunya di ruang kantor?” tanya Halilintar.


“Kalau di ruang khusus besukan itu, rame bener, le. Nggak bisa lebih pribadi ngobrolnya. Uyel-uyelan bahkan. Kalau manfaatin fasilitas yang ada di kantor, kan kita bisa lebih lega,” sahutku, dengan enteng. 


“Tapi kan tetep ada konsekuensinya kalau kita minta fasilitas gini, ayah. Sayanglah uangnya. Baikan uangnya buat ayah nambah-nambah beli makanan disini. Ayah kan kalau malem sering glotekan, cari-cari cemilan,” kata Halilintar lagi.


“Yo wes, nanti bunda obrolin lagi sama ayah yo, le. Kalau anak-anak senenge besukan di ruang khusus besukan, kumpul rame-rame sama yang lain, yo nggak opo-opo,” kata istriku, menyela.


Aku tersenyum mendengar sahutan istriku. Merespon positif saran anak bungsunya, namun tidak begitu saja memutuskan. 


Setelah istri dan anak-anakku masuk ke ruang pemeriksaan akhir untuk kemudian keluar gerbang rutan, baru aku beranjak pergi. Melapor ke pos penjagaan luar, dilanjutkan ke pos penjagaan dalam. 


“Ayuk sama ponaan-ponaan sehat semua ya, bang,” tiba-tiba sebuah suara yang sangat aku kenali, menyapa dari bagian kiri pos penjagaan dalam. Fani tengah duduk disana, sambil memainkan gadgetnya.


“Alhamdulillah, Fani. Semua sehat. Juga tetep ceria,” sahutku, dan menyalami sipir yang juga teman satu kampus denganku itu.


“Alhamdulillah, yang penting sehat, bang. Tadi sempet aku lihat, waktu ayuk sama ponaan-ponaan mau masuk ke kantor. Mereka ceria memang. Bersyukur aku, bang,” kata Fani lagi, dan memberiku sebuah kursi untuk duduk di sebelahnya.


“Allah yang nguatin mereka, Fani. Kalau secara lahiriyah, pastinya ya terpuruk itulah mereka. Bersyukur bener Allah terus besarin hati ayuk sama ponaan-ponaanmu,” tanggapku.


Saat kami tengah berbincang ringan, tamping regis yang membawa pakaianku untuk sidang dan bawaan makanan lainnya dari istri dan anak-anakku, masuk pos penjagaan dalam. 


“Semua itu punya bang Mario ya?” tanya Fani kepada tamping regis.


“Iya, pak. Semua ini punya pakde Mario,” sahut tamping regis dengan cepat. 


“Ya sudah, langsung aja bawa ke kamarnya. Kasih ke OD, bilang diamanin semuanya, sampai bang Mario masuk kamar,” perintah Fani kepada tamping regis tersebut.


“Siap, pak!” kata tamping itu, dan langsung bergerak keluar pos penjagaan dalam. Melewati tamping yang bertugas melakukan pemeriksaan bawaan pembesuk.


“Habis naruh bawaan di kamar bang Mario, kamu kesini lagi ya,” kata Fani kepada tamping regis yang telah keluar pos.


Sekitar 10 menit kemudian, tamping itu kembali ke pos penjagaan dalam. Melapor kepada Fani, bila semua bawaan istriku telah aman di kamarku.


“Terimakasih, ini buat kamu,” kata Fani, sambil memberikan uang Rp 10 ribu untuk tamping regis.


Tamping itu tampak ragu-ragu menerima pemberian Fani. Ia memandangiku. Seakan meminta persetujuan.


“Ini uang bang Mario, aku cuma nyampeinnya ke kamu,” kata Fani lagi. Yang mengetahui keraguan tamping tersebut. 


Sambil menundukkan badannya, tamping regis yang membawakan barangku ke kamar, akhirnya mau menerima pemberian Fani.


“Terimakasih banyak, pak,” ucap tamping itu, dan berjalan meninggalkan pos penjagaan dalam untuk melanjutkan tugasnya di bagian registrasi kantor rutan.


“Terimakasih ya, Fani. Maaf aku selalu ngerepotin kamu,” kataku kemudian, sambil menepuk-nepuk tangannya.


“Santai aja, bang. Hitung-hitung yang beginian ini diniatin sedekah aja, bang. Inshaallah berkah rejeki kita,” tanggap Fani. Seulas senyum ketulusan tersungging di bibirnya. 


Pikiranku langsung terpancing dengan perkataan Fani. Apa yang ia lakukan diniatkan sebagai sedekah. Sederhana. Namun sarat makna. Dan dipastikan, langsung tercatat oleh malaikat yang ada di sampingnya, sebagai sebuah ibadah. 


“Kamu ini luar biasa ternyata ya, Fani. Ngasih tamping pun kamu niatin sedekah. Kebaikan dunia kamu dapetin, pahala juga kecatet,” kataku, dengan serius.


“Kata ustadz kan hidup ini harus berimbang, bang. Lahir dan batin. Ya, kenapa kita nggak lakoninya kayak gitu. Toh, nggak sulit ini,” sahutnya, dengan tenang.


“Nah, itu yang ku bilang kamu itu luar biasa, Fani,” kataku, menyela.


“Sebenernya biasa-biasa aja kok, bang. Bahkan jauh dari yang abang sebut sebagai sesuatu yang luar biasa itu. Kan kita diajari hablum minan nash dan hablum minallah. Kalau ditelaah lebih dalem, ya emang mestinya hubungan baik dengan sesama itu, langsung disambungin dengan hubungan yang baik sama Allah juga. Nggak bisa dipilah-pilah,” jelas Fani, panjang lebar.


Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Begitu dalam pemahaman Fani akan menjaga hubungan baik tersebut. Yang harus seirama antara dengan sesama dengan Yang Maha Kuasa. Sementara yang selama ini aku pahami, setelah menjaga hubungan baik dengan sesama, barulah diikuti menjaga hubungan baik dengan Tuhan Yang Esa.


“Coba abang sering-sering ikut pengajian setelah habis solat jamaahan di masjid. Orang-orang yang di majelis taklim itu, banyak yang ilmu agamanya mumpuni. Aku banyak belajar dari mereka. Nggak pernah belajar secara khusus,” tutur Fani, beberapa saat kemudian.


“O gitu, Fani. Aku memang pernah juga ikut pengajian setelah solat. Tapi nggak rutin emang,” kataku, terus terang.


“Coba abang agak rutinin. Habis solat dan berdoa, jangan buru-buru keluar masjid. Gabung aja sama anggota majelis taklim. Pasti banyak ilmu yang abang dapetin. Kami para sipir disini, dapet pengetahuan keagamaan itu, ya dengan banyak-banyak dengerin pengajian di masjid, bang,” lanjut Fani, dengan serius.


“Inshaallah, aku ikuti polamu ini, Fani. Terimakasih banyak sudah kasih aku celah buat terus ningkatin pengetahuan agama,” ujarku. 


“Sama-sama, bang. Yang penting, terus perkuat tekad untuk belajar dan doa. Inget ya, bang. Berdoa itu bukan hanya agar permintaan kita dipenuhi, tapi karena banyak yang perlu kita syukuri,” Fani menambahkan.


Terhenyak aku dengan perkataan terakhirnya. Berdoa itu lebih mengarah kepada perlunya kita mensyukuri, bukan semata-mata mengharapkan permintaan dipenuhi. (bersambung)

LIPSUS