Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 208)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 27 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang


MENJELANG dilakukannya apel siang, aku berpamitan kepada Fani, yang tetap berada di tempat tugasnya; pos penjagaan dalam. 


Dengan langkah cepat, aku menyelusuri selasar untuk kemudian masuk ke pintu Blok B. Saat itu, suasana di luar kawasan sel, telah sepi. Semua penghuni rutan sudah berada di kamarnya masing-masing.


Sesampai di kamar, aku langsung wudhu. Solat Dhuhur. Selepasnya, menyusun pakaian yang sebelumnya dibawakan oleh istriku. Juga berbagai makanan, yang ditempatkan dengan rapih oleh Rudy di lemari. Siang itu, aku hanya menemani Rudy makan, karena masih kenyang setelah sebelumnya makan bersama istri dan anak-anakku yang melakukan besukan.


Bagian nasi cateringku, aku berikan semua kepada Rudy, untuk dia makan siang. Ditambah beberapa lauk lain hasil masakan istriku. Saat Rudy mengantarkan bagian nasi catering kepada Ino di kamar 19, aku menitipkan beberapa potong rendang buatan istriku untuk Ino dan pak Sibli.  


“Om Ino dan pak Sibli sampein terimakasih buat om. Mereka doain, istri dan anak-anak om terus sehat dan lancar rejekinya,” ujar Rudy, selepas mengantar makanan dan lauk ke kamar 19.


“Aamiin, aamiin ya robbal alamin. Inshaallah, kita terus diberi rejeki yang banyak dan berkah oleh Allah ya, Rud,” sahutku. 


Baru saja aku merebahkan badan di lantai tempatku, Rudy masuk ke kamar. Memberitahu ada tamping regis di depan. Sambil bertanya dalam hati; kenapa tamping regis datang lagi, aku pun bangkit dari rebahan dan keluar kamar.


“Pakde, dipanggil kabag umum. Katanya, ada tamu penting dari kanwil yang mau ketemu,” kata tamping itu, begitu aku berdiri di depannya.


“Siapa tamunya?” tanyaku, pendek.


“Nggak tahu, siapa tamunya. Cuma diperintah manggilin pakde karena ada tamu dari kanwil,” sahut tamping regis tersebut. 


Bergegas aku memakai kaos bertuliskan WBP, memakai celana panjang jeans, bertopi. Dan tidak lupa, menciprati sebagian badan dengan minyak wangi. Dengan memegang satu bungkus rokok dan koreknya, aku mengikuti langkah tamping yang menjemputku.


Sesampai di pos penjagaan dalam, Fani yang menyambutku langsung memintaku untuk melanjutkan langkah kaki ke bagian depan. Di pos penjagaan depan pun, sipir yang bertugas tanpa banyak tanya langsung memintaku masuk ke ruang khusus bagian luar. 


Pintu gerbang ruangan luar dibuka oleh sipir. Komandan pengamanan pada bagian luard rutan, yang biasa disebut P-2-O, juga menyambutku dengan hangat dan penuh senyuman.


“Silahkan pak Mario. Langsung saja ke atas. Sudah ditunggu di ruang kerja pak kabag,” kata komandan pengamanan, dengan menggerakkan kedua tangannya. Memintaku menaiki tangga yang ada di sudut ruangan.


Tamping regis yang tetap menemaniku menunjuk sebuah ruangan. Aku pun mengetuk pintunya.


“Assalamualaikum,” kataku, begitu pintu terbuka.


“Waalaikum salam. Silahkan masuk pak Mario,” sahut seorang pria seusiaku berpakaian dinas rutan yang lengkap dengan tanda pangkatnya.


Saat masuk ke ruangan berukuran sekitar 4 x 5 meter itu, aku melihat ada adik istriku, Laksa. Ia langsung berdiri, menyalami dan memelukku.


“Sehat terus ya, kak,” kata Laksa, dengan suara setengah tercekat.


“Alhamdulillah, berkat doamu yang tiada putus, dek. Kakak selalu sehat,” kataku, dan menepuk-nepuk bahunya. Penuh kebanggaan.


Dua orang pria berpakaian dinas kanwil kemenkumham menyalamiku. Hangat. Pun pria pertama yang menjawab salamku. Ternyata, ia kabag umum rutan. 


Laksa menjelaskan, kedua temannya yang bertugas di kanwil tersebut sengaja ingin datang ke rutan untuk bertemu denganku. 


“Mereka tadi sempet kesel sama aku, kak. Karena nggak cerita-cerita kalau kakak lagi di dalem,” kata Laksa dengan tersenyum.


“Bener, kami tadi sempet marah sama Laksa, bang. Kami kan kawan deket, masak abangnya masuk sini nggak cerita-cerita. Rutan ini kan bagian dari tugas kami. Yang ada disini, ya kawan-kawan kami semua. Maka kami langsung ngajak Laksa kesini, dan ketemu abang,” urai salah satu kawan Laksa, dengan wajah serius.


Dalam perbincangan yang penuh suasana kekeluargaan, ditemani kopi dan kue-kue itu, mereka lebih banyak ingin mendengar ceritaku mengenai kehidupan di rutan selama ini.


“Alhamdulillah, kawan-kawan sipir disini baik-baik sama saya. Nggak ada yang aneh-aneh. Terimakasih atas kunjungan dan dukungannya. Saya seneng karena bisa terus nambah temen selama di dalem ini,” kataku, apa adanya.


“Syukur kalau begitu, bang. Kami tadinya khawatir, kalau abang ngalami hal-hal yang nggak ngenakin. Namanya di penjara, bang. Ada aja selipnya,” tanggap pegawai kanwil kemenkumham tersebut.


“Prinsipnya, di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Saya mah gitu aja,” ucapku lagi, sambil memeluk adikku Laksa.


Kabag umum ternyata banyak mengetahui kegiatan keseharian dan pembawaanku selama ini. Ia menyampaikan banyak hal kepada sejawatnya yang siang itu datang menemuiku bersama Laksa.


Suara adzan Ashar terdengar dari masjid di dalam kompleks rutan. Adikku Laksa dan dua temannya serta kabag umum mengajakku solat berjamaah. Berjalan bersama, kami menuju rumah Allah.


Beberapa pegawai rutan dan sipir yang berpapasan dengan kami, langsung melakukan salam hormat saat melihat dua pegawai kanwil yang bersamaku.


Seusai melaksanakan solat Ashar, kami kembali ke ruang kerja kabag umum. Di meja telah tersedia lima nasi kotak. Juga beberapa panganan kecil tambahan lainnya.


“Kita makan dulu. Ini namanya makan siang sudah lewat, makan malem belum sampai waktunya. Tapi tetep boleh aja kita makannya. Dan yang pasti, makanan ini halalan toyyiban,” ujar kabag umum rutan, seraya mempersilahkan kami makan nasi kotak yang telah tersedia di atas meja.


Sambil menikmati makan nasi berlauk ayam bakar, kami terus terlibat perbincangan. Pegawai kanwil kemenkumham meminta agar aku tetap menjaga kejujuran dalam menjalani persidangan nanti. 


“Jangan karena pengen divonis ringan, abang ikuti alur sandiwara yang dilakukan pelapor. Misalnya begitu. Kalau memang yang dilaporkan itu benar, ya akui saja. Atau kalau ada sebagian yang benar dan sebagian salah, ya akui yang benar saja. Jangan yang salah juga diakui,” kata dia dengan wajah serius.


Aku mendengarkan sarannya dengan serius juga. Karena memang di dalam batinku sedang terjadi pertempuran. Antara mengakui sesuatu yang tidak sesuai dengan yang aku alami, dengan harapan persidangan berjalan cepat, dengan menyampaikan apa yang sesungguhnya terjadi.


“Maaf ya, bang. Biasanya, memasuki masa persidangan, mental terdakwa itu bener-bener down. Hingga yang kepikiran cuma gimana cepet selesai dan dapet vonis. Banyak yang akhirnya mengabaikan sisi kemakhlukan kita,” lanjut dia.


“Maksudnya gimana ya?” tanyaku, menyela.


“Jadi gini, bang. Buat orang-orang yang ngedepanin nama baik di dunia, dia rela bersumpah demi Tuhan untuk sebuah kebohongan. Dengan harapan, vonisnya ringan dan sidangnya cepet. Dia lupa kalau kita bersumpah atas nama Tuhan tapi berbohong, jangankan masuk surga, nyium baunya surga aja nggak bakalan. Maka aku sampein tadi, banyak yang akhirnya abaiin sisi kemakhlukan. Aku nggak ingin abang sampai kehilangan sisi kehidupan langgeng di akherat nantinya,” tuturnya, panjang lebar.


Aku dan semua yang ada di ruangan kabag umum, mendengarkan penuturan pegawai kanwil kemenkumham itu dengan penuh kesungguhan. Sebagai orang yang memahami dunia hukum, ia tetap menyelaraskan kehidupan duniawi dan akherati.


“Kalau abang nyari simpel aja, misalnya rela berbohong demi cepet dapet vonis dan biar ringan, abang bakalan dua kali kalah. Tetep di penjara dan berbohong sama Tuhan. Tapi kalau abang sampein apa adanya, abang cuma cukup jalani penjara dan Tuhan bakal terus jagain abang dengan tangan-tangan-Nya,” sambung dia.  


“Prinsipnya, pak Mario siapin mental untuk tetep bicara apa adanya. Jangan down, apalagi demi nyelametin sesuatu, sampai berbohong di persidangan. Inget, majelis hakim itu wakil Tuhan di dunia. Siapapun mereka, haruslah kita meyakini mereka adalah makhluk pilihan Tuhan,” kabag umum rutan menambahkan.


Pegawai kanwil kemenkumham yang bersama adikku Laksa berpesan kepadaku: jangan mencari sebuah kesalahan demi mendapatkan kebenaran, namun belajarlah dari sebuah kesalahan, agar kita menemukan kebenaran.


Ketika matahari semakin meredup untuk mencapai puncak istirahatnya, kami pun berpisah. Sesaat sebelum keluar pintu utama rutan, sambil memeluk dengan erat, adikku Laksa berbisik ke telingaku: “Kakak yakin aja, kebenaran mungkin bisa kalah, tapi ia tak akan mungkin bisa salah. Biarlah kebenaran mencari jalannya sendiri.” (bersambung)

LIPSUS