Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 209)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 28 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang


BANG Mario, nanti saya anter ke dalem ya. Biar nggak banyak tanya sipir yang lagi tugas,” ujar kabag umum, setelah kami melepas Laksa dengan dua temannya yang merupakan pegawai kanwil kemenkumham, meninggalkan kompleks rutan.


“Siap, pak!” jawabku, cepat.


Beberapa saat kemudian, aku kembali masuk ke kawasan penahanan. Ditemani kabag umum, aku tidak perlu lagi melapor ke pos penjagaan, baik di depan maupun di dalam. 


Setelah mampir dan berbincang ringan di kamarku, kabag umum rutan itu pun berpamitan.


“Kalau ada apa-apa, langsung temui saya ya, bang. Bilang aja mau ketemu kabag umum. Saya di kantor mulai jam 08.00 sampai 17.00. Kalau pun sedang keluar, tidak lama,” ucap dia, dan menyalamiku dengan hangat.


Aku hanya menganggukkan kepala dan menyambut salamannya juga dengan penuh kehangatan. Hatiku begitu haru, hari demi hari, semakin bertambah aku mendapatkan kawan di dalam kompleks rutan ini. Yang dipertemukan Tuhan dengan kebaikan. 


“Om emang kenal sama kabag umum itu ya?” tanya Rudy, begitu aku kembali masuk kemar setelah melepas kabag umum keluar kamar.


“Ya tadi kenalnya, Rud. Dikenalin kawan adik yang tadi dateng. Alhamdulillah, nambah temen disini,” kataku, dengan enteng.


“Rudy perhatiin, ada aja yang berkawan sama om ini setiap harinya. Dari para ipis yang dikenal suka gebukin sesama tahanan, anggota majelis taklim, sampai ke sipir-sipir, pada baik semua sama om. Apa ya bacaannya, bisa semua orang kayak tunduk gitu sama om,” kata Rudy, beberapa saat kemudian.


Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Rudy. Kehidupan di dalam rutan yang selalu diidentikkan dengan keilmuan dan kesaktian, sering kali justru menjauhkan seseorang kepada Yang Maha Perkasa. 


“Kok diem sih, om. Rudy kan pengen tahu, apa bacaan om kok banyak orang yang baik banget sama om. Yang mau berbuat jahat sama om, juga nggak jadi,” lanjut Rudy, penasaran.


“Pakai ilmu kudu aja, Rud!” sahutku, pendek.


“Maksudnya ilmu kudu itu gimana, om?” tanya dia, dengan cepat.


“Ya, kudu baik sama sesama. Kudu berprilaku dan berkata baik, dan utamanya, kudu berniat baik. Inshaallah, semua yang ada di sekeliling kita ya baik sama kita,” kataku, beberapa saat kemudian.


“Ah, om mah main-main lo. Rudy pengen tahu bacaannya, om. Biar semua penghuni rutan tunduk segen sama Rudy,” ucap Rudy, masih penasaran.


“Kalau bacaannya, Bismillah aja. Terus berprilaku dan berkata baik, dan selalu berniat baik. Yakin aja, Allah akan kasih kita kebaikan juga. Orang-orang yang punya niat nggak baik, nanti disingkirin sama Allah dari kehidupan kita,” uraiku lanjut.


“Sederhana gitu aja ya, om?” ujarnya, menyela.


“Ya iyalah, Rud. Hidup ini dibuat sederhana dan simpel aja. Allah itu maha tahu, yang nggak kita omongin aja Dia tahu. Ngapain ngeriwehin hati dan pikiran,” sahutku.


“Kirain Rudy, bacaannya buat nundukin orang itu panjang, om. Karena kata kawan-kawan disini, ada orang sakti di Blok A yang mau kasih doa tapi panjang bener dan sekali baca harus hafal,” kata Rudy, lagi.


“Apapun ilmu itu baik, Rud. Masing-masing punya caranya. Nggak ada ruginya belajar amalan dari kawan yang di Blok A itu. Kalau kamu tanya om, ya cuma baca Bismillah aja. Terus berprilaku baik, berkata baik dan utamanya ya niat baik. Itulah ilmu kudu,” tanggapku, sambil tersenyum.


Tampak Rudy masih tercenung. Mengolah perkataanku dengan otaknya. Aku pun bergerak. Mengambil handuk yang masih dijemur di luar kamar, dan mandi. 


Sambil menunggu adzan Maghrib, aku membaca surah yasin. Memohon pengampunan dan perlindungan. Mengkhususkan untuk istri dan anak-anakku. 


Rudy langsung mengajakku ke masjid, begitu suara adzan terdengar. Jamaahan solat Maghrib berlangsung dengan khusu’, apalagi diwarnai dengan rintik hutan yang turun dari langit.  


Seusai solat, imam solat jamaah langsung menyampaikan kultumnya. Ia menyampaikan tiga hal. Menurut dia, bila kita diuji dengan syahwat dan hawa nafsu, maka periksalah solat kita. 


Bila kita merasa tertekan dan hidup dalam kesempitan, periksalah hubungan kita dengan Alqur’an. Dan bila kita merasa kurang tegar dan teguh di atas kebenaran serta selalu diganggu rasa gelisah, maka periksalah bagaimana perhatian kita terhadap nasihat yang kita dengar dari orang yang menyampaikan nasihat.


“Yang terbaik memang terus musahabah. Membuka diri sendiri itu sangat penting. Dan semakin kita ingin berubah, semakin hebat ujian yang kita terima. Bukan karena Allah tidak sayang, tetapi karena Allah ingin kita menjadi lebih hebat setelah diuji,” urai sang imam dengan suara berat.


Ia meminta para jamaah untuk semakin bijaksana di dalam menilai penghuni rutan. Karena pada hakekatnya, tidak ada orang yang benar-benar kuat. Terkadang mereka bersedih dengan cara tersenyum. 


“Begitu juga, bila menemukan orang yang lebih banyak diam, jangan menilai ia adalah orang yang penuh kesombongan. Karena bisa jadi, ia bersikap demikian untuk menghindari dua hal, yaitu menyakiti atau tersakiti,” lanjut sang imam, dan menutup kultumnya.


Sambil berjalan untuk kembali ke kamar, Rudy mengaku sangat bahagia karena bisa solat berjamaah dan mendapatkan pengetahuan akan hakekat kehidupan.


“Rudy rasain sekarang ini hati lebih tenang dan pikiran nggak gampang galau, om. Bersyukur bener ya, ditemuin sama om disini,” ucapnya, beberapa saat kemudian.


“Bersyukur aja kepada Allah, Rud. Dia yang memberi hidayah buatmu. Jangan pernah tinggal rasa syukur, dan teruslah berprasangka baik kepada siapapun dan dalam kondisi apapun,” kataku, menimpali.


Baru saja kami masuk ke kamar, petugas apel malam telah berdiri di depan jeruji. 


“Sehat semua ya,” kata sipir muda usia yang memimpin apel malam itu.


“Alhamdulillah sehat semua, pak,” kata Rudy, dengan wajah sumringah.


“Wah, kamu sudah solat, Rud. Syukur Alhamdulillah,” lanjut sipir itu, begitu melihat Rudy masih memakai kopiahnya.


“Iya, pak. Mulai belajar solat. Alhamdulillah. Dibimbing om Mario,” sahut Rudy, sambil menengok ke arahku. Yang berdiri di sebelahnya, memegang terali besi.


“Bimbing terus Rudy ini, om. Dia ini anak baik. Semoga dia belajar dari kesalahannya dan nggak ngulang lagi,” ucap sipir itu, seraya memandangku.


Aku hanya menganggukkan kepala sambil melepas senyum. Semakin aku menyadari, betapa di tempat yang menjadi pemukiman para pelanggar hukum ini, banyak orang yang mendambakan lahirnya sebuah kebaikan. 


“Kalau kata ayah saya, ada kalanya kita perlu diam di dalam gelap, agar kita tahu siapa yang membawa terang di saat kita tidak bisa untuk melihat,” lanjut sipir itu, dan kemudian beranjak dari depan kamarku, melanjutkan tugasnya ke kamar-kamar lain di Blok B. (bersambung)

LIPSUS