Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 210)

INILAMPUNG
Jumat, 29 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang      


AKU masih termangu sambil terus memegang teralis besi yang ada di depanku, ketika Rudy menepuk bahuku.


“Kok jadi ngelamun, om. Emang sih, apa yang diomongin sipir tadi menarik juga. Tapi ya nggak perlu sampai buat sampai dalem gitulah, om,” kata Rudy, seraya tersenyum ke arahku.


“Om emang lagi ngelamun kok, Rud. Ngelamun sambil ngerenung,” sahutku, dan bergeser dari teralis besi dengan duduk di kursi yang ada di ruang depan kamar tahanan.


Rudy tertawa ngakak mendengar jawabanku yang polos. Hingga badannya berguncangan. 


“Kok kamu jadi ketawa ngakak gitu, Rud? Emang ada yang lucu ya?” tanyaku.


“Ya gimana nggak ketawalah, om. Gara-gara omongan sipir tadi, om sampai ngelamun dan ngerenung. Sudah sih, nggak usah semua omongan orang dicermati dan dikaji-kaji. Bisa aja, sipir tadi asal ngomong. Apalagi pakai kata ayah saya, bukan omongan dia langsung,” kata Rudy, panjang lebar.


“Omongan kamu ada benernya emang, Rud. Nggak semua omongan orang perlu dicermati dan dikaji. Tapi nggak tahu kenapa, kok omongan sipir tadi nurut om banyak ngandung makna. Makanya bikin om sempet ngelamun sekaligus ngerenung,” jawabku, apa adanya.


“Om, di penjara ini banyak orang pinter berteori. Ngasih wejangan ini dan itu. Tapi, belum tentu mereka bisa praktikin apa yang diomongin. Jadi, ya nggak usah om pikirin juga,” lanjut Rudy.


“Emang betul itu, Rud. Tapi kita kan perlu ambil isi atau makna omongannya. Nggak perlu mersoalin orang itu baik apa nggak. Lagian, semua yang ada di rutan ini kan emang orang jahat. Penjahat semua. Pelanggar hukum. Justru disinilah, kita bisa belajar ambil hikmah kebaikan dari omongan orang-orang jahat. Bukan omongan orang-orang munafik,” tanggapku, panjang lebar juga.


Rudy terdiam. Kelihatan anak muda itu sedang menelaah apa yang aku sampaikan dengan panjang lebar. Tiba-tiba suara adzan Isya menggema. Rudy kembali mengajakku ke masjid untuk solat jamaahan.


Tepat saat kami keluar masjid selepas menunaikan solat jamahaan, seorang sipir berusia sekitar 50 tahunan, menyapa Rudy. Menyalaminya dengan serius dan memandang wajahnya.


“Anak muda, jangan terlalu sedih atas cobaan yang kamu terima ini. Kamu tidak pernah tahu apa yang akan Allah berikan kepadamu sebagai gantinya,” kata sipir tersebut dengan suara kalem namun penuh ketegasan.


“Siap, pak. Inshaallah, saya sudah tidak terlalu bersedih lagi. Karena sudah bisa solat,” jawab Rudy, seraya menundukkan kepalanya dengan hormat. 


Sipir itu tersenyum, dan menepuk bahu Rudy. Aku pun menyalami sipir tersebut, sekaligus berpamitan untuk kembali ke kamar.


Saat aku masuk kamar, langkahku sempat terhenti. Di ruang depan ada pak Edy dan seorang sipir yang sedang terlibat pembicaraan.


“Izin ya, be. Kami ngobrol sebentar,” kata pak Edy begitu melihat aku akan masuk kamar dan mendadak menghentikan langkah.


“Oke, pak. Lanjut aja,” jawabku, dan membalikkan badan. Aku dan Rudy duduk di kursi taman. Kain sarung aku selempangkan di badan.


Menunggu sekitar 10 menit pak Edy dan seorang sipir masih belum keluar kamar, aku pun berdiri dan berjalan. Mengelilingi kamar-kamar yang ada di Blok B.


Langkahku terhenti di kamar 12. Tampak Aris, Dika, Iyos, juga Yan dan beberapa tahanan lainnya, sedang mengaji. Mereka membaca surah yasin. Aku pandangi mereka dari balik jeruji besi. 


Tiba-tiba Yan menengokkan wajahnya. Melihatku berdiri di balik teralis besi kamarnya. Ia tampak akan memberitahu Aris, dengan isyarat aku melarangnya. Aku tidak mau mengganggu kekhusu’an mereka melakukan pengajiannya. Sebuah prosesi penyadaran sekaligus pengakuan akan kenisbian kita selaku makhluk kepada Sang Khaliq.


Aku bergeser dari kamar 12, dan terhenti di kamar 8. Pak Waras dan pak Anas langsung menyambutku dengan bersalaman dari balik jeruji besi saat melihat aku berdiri di depan kamarnya.


“Lagi kontrol kamar ya, be,” kata pak Waras, seraya tersenyum.


“Pengen ngelihat kawan-kawan aja. Alhamdulillah semua sehat. Aris dan kawan-kawan di kamar 12 lagi ngaji. Di kamar 8 ini semua juga sehat. Alhamdulillah,” kataku, juga dengan tersenyum.


“Kami semua sehat, be. Alhamdulillah. Cuma Asnawi aja yang lagi kena demam. Sudah masuk dua hari ini,” kata pak Waras, sambil melihat ke arah Asnawi yang tidur di kasur tipisnya.


“Sudah ke poliklinik kan si Nawi?” tanyaku.


“Sudah, siang tadi, be. Ini habis makan malem dia minum obatnya. Barangkali obatnya ngandung obat tidur juga ya, makanya Nawi langsung tidur gitu,” pak Anas menjelaskan.


“Biasanya, memang dikasih obat yang buat kita cepet tidur, pak. Demam itu bisa diatasi dengan perbanyak istirahat. Ya sudah, biar Nawi tidur aja. Jangan diganggu sampai dia bangun sendiri,” ujarku.


“Ngajinya terus kan, be? Jangan sia-siain waktu disini lewat gitu aja lo. Khatamin baca Alqur’annya, be,” kata pak Anas, seraya memandangku dengan tatapan serius.


“Alhamdulillah, masih lanjut baca Alqur’annya kok, pak. Inshaallah nggak berhenti sampai khatam. Terimakasih selalu ngingetin,” jawabku dengan memberikan seulas senyum untuk pak Anas.


Tiba-tiba Basri dan Dino memanggilku dengan isyarat tangan. Mereka berdiri di ruangan tepat pintu masuk Blok B. 


“Ada razia, pak. Segera kembali ke kamar,” kata Dino, saat aku mendekat.


Aku bergerak cepat ke kamar 8 dan kamar 12.  Memberitahu mereka bila akan ada razia. Setelahnya baru aku kembali ke kamar.


“Om, mau ada razia kata om Basri. Gunting kuku sama gunting kecil om, simpen aja. Masukin di baju-baju,” ujar Rudy, ketika aku masuk ke dalam kamar.


Dan sesaat kemudian, sekitar 20 orang sipir dengan pakaian lengkap masuk ke Blok B. Banyak diantara mereka yang aku tidak pernah melihat selama ini di rutan.


“Kok banyak yang om nggak tahu wajahnya ya, Rud,” kataku, berbisik kepada Rudy, ketika kami berdiri di balik jeruji besi.


“Kalau razia gabungan gini, sipirnya dari rutan atau lapas-lapas lain, om. Makanya tadi sipir disini cepet-cepet kasih kabar ke om Basri sama om Dino. Biar dikondisiin dulu,” jelas Rudy, juga dengan berbisik.


Sebelum memasuki setiap kamar yang ada di Blok B, tampak komandan razia membagi anggotanya menjadi dua tim. Setiap tim berisikan 10 orang.


Tim yang pertama bergerak dengan mulai memasuki kamar 1. Kamarnya tamping dapur. Terdengar suara bentakan. Juga barang yang berjatuhan. Sedang tim kedua memulai tugasnya dengan memasuki kamar 25. Tempat seorang bupati sedang menjalani masa penahanannya sambil menunggu proses persidangan perkaranya.


Komandan razia mendatangi kamarku. Wajahnya sangar. Namun, ia menyalamiku dengan hangat, saat akan masuk ke kamarku.


“Aman nggak disini, pak. Ada barang-barang terlarang nggak,” kata dia sambil memandangku dengan tatapan serius.


“Aman, Dan. Nggak ada barang terlarang di kamar ini,” jawabku dengan tegas. 


“Saya percaya sama bapak. Jadi nggak perlu diperiksa kamar ini. Saya minta, tetep jaga hidup disini sesuai ketentuannya saja. Biar kita sama-sama enak,” lanjut komandan razia dan keluar kamarku.


Tampak Basri dan Dino sibuk menaruhkan minuman air mineral botol di meja taman. Yang disediakan untuk para petugas pelaksana razia malam itu.    


Sementara, suara bentakan demi bentakan masih terus terdengar. Semua penghuni kamar, wajib keluar saat petugas melakukan razia. Suasana pun menjadi riuh, meski diliputi ketegangan yang amat sangat. (bersambung)

LIPSUS