Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 211)

INILAMPUNG
Sabtu, 30 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang


BANYAK penghuni kamar di Blok B yang diamankan petugas razia. Belasan orang. Digiring ke pos penjagaan dengan pengawalan ketat. 


Dan tampak tiga orang petugas membawa kantong besar berisi berbagai macam hasil razia. Barang-barang yang dilarang berada di dalam kompleks rutan.


“Ditemuin botol (hp) nggak?” tanya komandan razia kepada seorang petugas. 


“Aman, Dan. Nggak ada botol disini,” jawab petugas itu, dengan memberi hormat.


Komandan razia yang berasal dari kanwil kemenkumham, tampak sekilas tersenyum. Ia yang masih berdiri di depan pintu kamarku, menengok ke arahku berdiri. Sekitar satu meter di sampingnya. Tetap di dalam kamar dengan memegang jeruji besi.


“Sampeyan percaya kalau di blok ini nggak ada yang megang botol (hp)?” tanya komandan razia itu, tiba-tiba kepadaku. Ada senyum sinis terukir di sudut bibirnya.


Aku tidak menjawab. Hanya mengangkat bahu dan tersenyum penuh arti. Pada saat bersamaan, pegawai rutan yang bertanggungjawab terhadap Blok B, mendadak mendekat. Dan berbisik kepada komandan razia.


Setelah mendengar bisikan petugas rutan, komandan razia memanggil anak buahnya. Memerintahkan untuk mengikuti langkah pegawai rutan tersebut. Berjalan tergoh-gopoh keduanya menuju ke kamar 34. Kamar pak Edy.


Komandan razia masih berdiri di pintu kamarku. Sambil menyulut rokoknya, ia menawariku rokoknya.


“Terimakasih, Dan. Saya ada rokok,” kataku, menyahuti gerakannya mempersilahkanku mengambil rokoknya.


“Sampeyan jangan nolak rejeki. Nanti semua rokok yang disita dari blok ini, saya kasih ke sampeyan,” kata komandan razia, sambil menatapku.  


Aku hanya diam. Tidak berani berkata apapun. Dan ketika untuk kedua kalinya komandan razia menyodorkan rokoknya, aku pun mengambilnya. Semata-mata menghargai niat baiknya.


Pegawai rutan penanggungjawab blok bersama satu petugas razia menemui komandan yang masih berdiri di pintu kamarku sambil menikmati rokoknya. Dibelakang keduanya, tampak pak Edy. Berjalan menunduk.


“Ini ada dua botol ditemukan di kamar 34, Dan,” kata petugas razia. Ia serahkan dua telepon seluler ke tangan komandannya.


“Ini punya Anda?” tanya komandan razia kepada pak Edy, yang terus menundukkan wajahnya.


“Siap. Iya, punya saya, Dan!” jawab pak Edy, dengan suara tercekat.


“Anda tahu aturannya di dalam rutan tidak boleh pegang hp?” tanya komandan lagi. Pak Edy menganggukkan kepalanya.


“Kenapa Anda tetap pegang hp? Sengaja melanggar aturan atau karena apa?” kembali komandan razia bertanya kepada pak Edy.


Pria berbadan kurus dengan kulit hitam pekat yang terkait kasus mafia tanah itu, hanya menundukkan kepalanya. Aku memahami, ia kesulitan untuk memberi jawaban. Karena di dalam rutan, menyatakan yang sebenarnya belum tentu membawa kebaikan. Bahkan bisa saja akan menjadi bulan-bulanan setelah pelaksanaan razia selesai.


Tiba-tiba komandan razia menengok ke arahku. Tatapannya tajam. Aku yang masih berdiri di balik jeruji besi kamar sambil menghisap rokok pemberiannya, kembali menatapnya.


“Sampeyan ada saran?” tanya komandan razia kepadaku, tiba-tiba.


“Disuruh masuk aja dulu, Dan. Diajak bicara berdua. Saya tahu persis, pak Edy ini orang baik,” kataku, kemudian.


Dengan isyarat tangannya, komandan razia memerintahkan pak Edy masuk kamarku. Duduk di kursi ruang depan. Komandan razia memerintahkan anak buahnya dan pegawai rutan yang ada di depan kamar, untuk menjauh.


Setelah ia duduk di kursi samping pak Edy, ia julurkan satu bungkus rokok ditangannya. Pak Edy langsung mengambil satu batang isinya.


Tampak tangan pak Edy gemetaran. Hingga berkali-kali ia gagal menyulut rokok karena tangannya yang memegang korek, tidak bisa ia kendalikan untuk diam. Aku mendekat dan menyulut korek untuk ia menghidupkan rokok ditangannya.


“Anda tidak usah panik. Sebenarnya, kami sudah tahu persis, kalau di rutan ini banyak penghuni yang memegang botol. Hanya, saya tadi penasaran saja. Masak iya, di dalam satu blok khusus kasus kriminal umum ini, tidak ada hp yang kami temukan,” kata komandan razia, dengan kalem.       


“Ya syukur kalau komandan sudah tahu. Tapi komandan juga pahamlah, kenapa kami tidak mau bicara,” sahut pak Edy, setelah bisa menenangkan hati dan pikirannya.


“Iya, saya paham. Bahkan sangat paham. Anda tidak mau bicara kan karena khawatir nantinya bakal kena bagal. Dijadiin bulan-bulanan sama sipir. Saya jamin, siapapun yang sentuh Anda akan saya mutasikan. Ini kartu nama saya, kapan saja silahkan anda telepon dan bicara ke saya,” tegas komandan razia, seraya menatap pak Edy dengan serius.


“Jadi apa yang harus saya sampaikan, Dan?” tanya pak Edy, dengan suara pelan.


Mata pak Edy menatapku. Seakan memberi isyarat agar aku meninggalkan kamar. Sehingga ia bisa bebas berbicara empat mata dengan komandan razia.


“Tidak apa-apa, bapak ini tetap di kamar saja. Saya percaya, dia tidak akan buka rahasia pembicaraan kita,” ucap komandan razia, menangkap isyarat tatapan mata pak Edy.


Sambil menarik napas dalam-dalam, pak Edy mengungkap fakta mengenai keberadaan telepon seluler di blok kami. Mulai dari kewajiban membayar Rp 1,5 juta perbulan, hingga pendataan dan jumlah hp yang ada, serta tindakan yang diambil sipir bila menemukan sarana komunikasi tersebut, yang tidak terdaftar.


“Terimakasih kerjasamanya, pak. Walau sebenarnya, kami juga tahu permainan yang ada disini. Dan dengan alat deteksi yang ada di kementerian, kami bisa tahu berapa banyak sinyal di dalam kompleks rutan maupun lapas,” ujar komandan razia itu, terus terang.


“Sama-sama, Dan. Saya mohon betul, dirahasiakan pembicaraan ini,” kata pak Edy, sambil membungkukkan badannya.


“Pasti jadi rahasia kita saja. Anda tidak usah khawatir. Dan kalau menurut sinyal yang kami tangkap, bukan di blok ini yang paling banyak hp-nya, tapi di Blok A. Blok tempat khusus kasus narkoba itu sudah masuk taraf bahaya,” lanjut komandan razia, membuka fakta apa adanya.


“Maaf, Dan. Kenapa bukan Blok A yang diseriusi razianya,” kataku, menyela.


“Ini saya buka strateginya ya, pak. Malam ini memang kami sengaja hanya merazia Blok B. Kami mengirm sinyal saja ke blok lain. Kami juga tahu, blok-blok lain sudah dilakukan pengamanan. Maka, habis dari sini, kami tidak lanjutkan razia malam ini. Mungkin minggu-minggu depan,” kata komandan razia. 


Seorang petugas razia datang. Berdiri di dekat pintu kamar. Akan memberikan laporan kepada komandannya.


“Sudah selesai, Dan. Semua hasil razia dan yang terkena razia, diamankan di pos jaga dalam. Menunggu perintah lanjutan,” kata petugas razia itu.


“Oke, segera saya ke pos,” jawab komandan razia, pendek. 


Sebelum meninggalkan kamarku, ia meminta pak Edy kembali ke kamarnya. 


“Jangan lupa, kalau ada apa-apa, segera telepon saya. Nanti botol anda, dikembalikan,” kata dia, dan menyalami pak Edy.   


Sambil menyalamiku, komandan razia berpesan, agar aku terus sabar dan ikhlas serta taat kepada aturan di dalam rutan. 


“Sampeyan pahami ya, yang menjadikan sulit itu bukan keadaan yang tidak berpihak, tapi pikiran kita sendiri yang terkadang sering membesarkan persoalan kecil, atau terkadang merumitkan sesuatu yang sederhana,” ucap komandan razia, dengan menatap tajam kepadaku.


Setelahnya, ia beranjak pergi. Berjalan sendirian menyusuri selasar untuk sampai ke pos penjagaan dalam. Menindaklanjuti hasil razia malam ini. (bersambung)    

LIPSUS