Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 212)

INILAMPUNG
Minggu, 31 Juli 2022


Oleh, Dalem Tehang


SEPENINGGAL komandan razia, aku wudhu. Dan bersujud. Menyampaikan rasa syukur dan mohon pengampunan. Ku lanjutkan prosesi hubungan batin dengan Rabbul Izzati melalui membaca Alhamdulillah sebanyak-banyaknya. Hingga kantuk tiba. Dan tanpa keluar kamar lagi, aku pun menikmati istirahatnya badan.


Sampai kemudian, aku terbangun menjelang waktu subuh datang. Karena perut keroncongan. Tersadarlah aku, jika semalam memang belum makan malam.


Aku membuat mie rebus sendiri, karena Rudy sedang asyik terbuai mimpi. Pun secangkir kopi. Dalam kesunyian rutan, aku menikmati makanan sambil melamun. Banyak sekali yang berlalulalang di dalam pikiran. Utamanya apa yang harus aku lakukan menghadapi persidangan pertama kasusku, siang nanti.


“Kalau makan jangan sambil ngelamun, om. Nanti makanannya diambil tuyul,” tiba-tiba Rudy nyeletuk, sambil tetap berbaring di kasur tipisnya.


“Ah, kamu ini ngagetin aja, Rud,” sahutku, yang memang terkejut dengan celetukan Rudy. Apalagi beberapa saat sebelumnya, masih aku dengar suara dengkurannya.


“Kirain om sudah nggak bisa kaget lagi,” ujar Rudy dan bangun dari tempat tidurnya. Menyandarkan badan di tembok kamar.


“Maksudnya?” tanyaku, pendek. Sambil menghabiskan mie di dalam piring.


“Ya kan hidup disini emang penuh kejutan, om. Kata om, hadepi aja dengan tenang, jangan gupekan. Nggak tahunya, om sendiri masih kagetan,” urai Rudy, kali ini sambil melepas senyumnya.


“Itulah manusia, Rud. Lebih banyak bisa menasihati atau ngomong, ketimbang jalaninya sendiri. Gitu juga om. Bisanya kasih tahu, tapi belum bisa jalani yang dikasih tahu dengan baik,” ucapku, terus terang.


Tiba-tiba kami dikejutkan dengan kemunculan Basri dan Dino, yang membuka pintu dengan cepatnya.


“Pak, tolong amanin kami dong. Nggak apa-apa botol kami disita, asal nggak masuk strafsel,” kata Dino dengan wajah serius memandangku. 


“Maksudnya?” tanyaku, heran.


“Petugas razia tadi nemuin botol kami. Padahal sudah disembunyiin di saluran air depan dan dibungkus plastik, selain ditindih batu. Mereka tahu, itu punya kami berdua. Sekarang di pos penjagaan lagi pendataan. Kalau semua yang diamanin disana selesai didata, tinggal giliran kami,” kata Dino menjelaskan.


“Maksudnya aku diminta ngamanin itu gimana?” tanyaku lagi. Bingung. 


“Minta ke komandan razia untuk tidak mendata kami. Sebab kalau sudah didata, pasti dimasukin strafsel,” kata Basri, menambahkan.


“Lah, terus apa hubungannya aku minta bantu komandan razia. Salah-salah malah aku yang kena bagal,” sahutku. 


“Kami tahu, selama razia tadi, komandan kan cuma di kamar kita aja. Ngobrol dengan pak Mario dan kelihatan akrab. Nggak ada salahnya dicoba untuk bantu kami. Pengatu bener ini, pak,” kata Dino lagi.


Aku terdiam. Bingung harus berbuat apa dan bagaimana. Di satu sisi, ingin membantu Dino dan Basri, walau mereka selama ini tidak pernah menganggap keberadaanku di dalam satu kamar. Di sisi lain, aku tidak mau mengambil persoalan orang lain. Apalagi terjadinya di kompleks rumah tahanan. Yang segala hal, bisa kapan saja berbalik dan mengancam keselamatan diri sendiri. 


Mendadak Dino dan Basri duduk di depanku, yang masih duduk anteng di kursi ruang depan kamar sel. Keduanya memegang dengkulku. Mengajukan permohonan agar aku mau membantu mereka.


Dengan gerakan tangan, aku meminta kedua napi penanggungjawab Blok B itu, berdiri. Risih aku diperlakukan seperti itu. Apalagi belum ketemu jalan, apa yang harus aku lakukan. Menerima permohonan mereka atau menolaknya.


“Kita lihat perkembangan dulu ya. Aku belum ketemu caranya,” kataku, beberapa saat kemudian sambil menatap Dino dan Basri yang telah berdiri di depanku.


Suara adzan Subuh mengalun dari masjid. Tamping masjid sudah bertugas memanggil pada hamba Allah untuk segera bersujud kepada-Nya.


Rudy buru-buru ke kamar mandi, wudhu. Aku pun bergerak. Mengambil kain sarung dan kupluk. 


“Jadi kami ini gimana, pak?” tanya Dino. Suara pria berbadan tambun dengan wajah sangar yang terlibat kasus narkoba itu, bergetar. 


“Berdoa aja di kamar. Siapa tahu nanti ketemu jalannya,” sahutku, enteng.


Sesaat kemudian, aku dan Rudy keluar kamar. Menuju masjid untuk solat jamahaan. Ketika kami keluar pintu blok untuk menyelusuri selasar sebelum sampai ke masjid, aku melihat komandan razia juga tengah berjalan menuju masjid. Ku percepat jalanku untuk bisa mendekatinya. Dan berhasil. Aku salami dia.


Sambil tersenyum, ia menepuk-nepuk bahuku. Juga mengacungkan jempol tangannya ke arah Rudy yang berjalan di belakang kami. Wajahnya sumringah dan kelihatan telah berwudhu juga.


Setelah masuk masjid, kami berpisah. Ia mengambil tempat di sebelah kiri imam, sedang aku dan Rudy di bagian kanan. Prosesi jamaahan Subuh berlangsung dengan khidmat.


Aku terburu-buru saat berdoa. Sambil mataku terus melihat pergerakan komandan razia. Hatiku telah mantap untuk berjuang membantu Dino dan Basri. Dan beberapa saat kemudian, komandan keluar ruangan masjid.


Tanpa memberitahu Rudy yang masih khusu’  berdoa, aku mengikuti langkah komandan razia. 


“Selalu ikut jamaahan lima waktu ya, pak?” tanya dia, begitu melihat aku berada di belakangnya, sama-sama akan memakai sandal di tangga masjid.


“Alhamdulillah bisa ikut jamaahan lima waktu selama ini, Dan. Sesuatu yang waktu diluar jarang sekali bisa saya jalani,” sahutku, seraya tersenyum.


“Bersyukur terus kalau begitu, pak. Ini namanya musibah membawa hikmah. Minta terus sama Yang Kuasa untuk diberi ridho-Nya. Inshaallah, semua urusan akan terasa ringan,” ujarnya, juga sambil tersenyum.


Ketika kami mulai meninggalkan kompleks masjid, aku memberanikan diri menyampaikan permohonan Dino dan Basri. Sesaat, komandan razia mengernyitkan dahinya.


“Mereka berdua ada dimana sekarang?” tanya dia, dengan suara berat.


“Tadi saya minta tetep di kamar dan berdoa, Dan,” kataku.


“Kalau begitu, kita ke kamar bapak saja,” tanggapnya. Kami pun melangkah menuju ke kamarku. Kamar 20 Blok B. Khusus kawasan penahanan bagi pelaku kejahatan tindak kriminal umum serta yang masih menjalani persidangan. 


Aku buka pintu kamarku, yang memang selama ini tidak pernah dikunci. Tampak Dino dan Basri sedang duduk di atas kasur masing-masing, dan bersarung. 


“Sudah selesai solat subuh dan berdoanya?” komandan razia menyampaikan pertanyaan kepada Dino dan Basri.


Kedua napi kasus narkoba itu, spontan menengokkan wajahnya. Begitu melihat komandan razia yang bertanya, keduanya langsung bangun dari duduknya. 


“Benar kalian berdua yang punya botol disimpan di parit depan itu?” tanya komandan, dengan suara tegas. Dino dan Basri menganggukkan kepalanya.


“Benar kalian minta bapak ini mengajukan permohonan kepada saya untuk kalian tidak didata dan dimasukkan ke strafsel?” tanya dia lagi, sambil menunjukku. Kembali Dino dan Basri menganggukkan kepalanya.


“Sekarang saya tanya lagi, berapa banyak botol yang terdata di blok ini,” kata komandan razia.


“Sekitar 60 botol, Dan,” jawab Dino.


“Jangan mengira-ngira. Saya perlu data riilnya,” komandan razia menyela. Tampak ia sangat piawai dalam memainkan emosi Dino sebagai terperiksa. (bersambung)


LIPSUS