Cari Berita

Breaking News

Menggoreng Puisi untuk Rakyat

Sabtu, 23 Juli 2022

Yon Bayu (kiri), Bambang Widiatmoko, dan Nanang R Supriyatin di PDS H.B. Jassin


Oleh: Yon Bayu Wahyono 

Materi Diskusi Peluncuran Antologi Puisi Minyak Goreng Memanggil
PDS HB Jassin, 22 Juli 2022.


ERA kebebasan yang disusul lahirnya revolusi di bidang teknologi informasi tidak sertamerta menjadi berkah bagi dunia sastra, puisi maupun prosa. Kemudahan mempublikasikan dan menerbitkan karya sastra, disertai dengan kemudahan terjadinya plagiasi bahkan pencurian karya tulis. 

Namun tidak ada kekuatan yang bisa menghentikan para sastrawan,penyair, juga seniman pada umumnya untuk berkarya. Karya sastra selalu memiliki cara untuk bertahan. Sejarah mencatat, puisi menjadi inang, tempat lahirnya revolusi politik dan sosial di dunia, dari Spanyol hingga Rusia, dari Polandia hingga Kuba. 

Ketika revolusi memakan ibu kandungnya, puisi tetap eksis. Kembali ke fitrahnya sebagai penyemai revolusi berikutnya. Menjadi puisi perlawanan yang bergerak di bawah tanah. 

Para penyair Indonesia lintas generasi tentu memiliki pengalaman bagaimana caranya puisi-puisi bisa lolos sensor di masa rezim orde baru. 

Tahun 1996, saya bersama beberapa penyair dari Cilacap seperti Badruddin Emce dan Daryono Yunani punya pengalaman yang bisa menggambarkan hal itu. Seminggu sebelum acara pembacaan puisi di Gelangang Remaja, kami harus menyerahan puisi-puisi yang akan dibaca. 

Apesnya, ada 3-5 puisi yang tidak lolos sensor. Namun kami bergeming dan mengancam tetap akan membacakan puisi yang antara lain berjudul Palestina. Akibatnya, sehari sebelum pementasan, gedung sudah dipenuhi intel dan kami kembali dipanggil untuk memastikan puisi-puisi tak lolos sensor tidak akan dibaca.

Era reformasi menjadi gerbang kebebasan. Pementasan puisi tidak memerlukan izin, kecuali pemberitahuan terkait keramaiannya saja. Tidak ada lagi sensor puisi yang akan dibaca atau diterbitkan.  

Media massa juga tidak lagi membutuhkan SIUPP untuk terbit sehingga sastrawan memiliki banyak ruang publikasi. Meski istilah ini sudah ada sebelumnya, sastra koran benar-benar menemukan momentumnya di awal era reformasi.

Kehadiran internet membawa harapan baru di mana kemudahan menerbitkan karya sastra semakin luas. Booming media sosial yang dimulai tahun 2008, diikuti dengan munculnya blog-blog pribadi, microblogging seperti YouTube, dan blog keroyokan berbasis UGC (use gerenated content) seperti Kaskus, Kompasiana, Indonesiana, dan lain-lain, semakin memudahkan para sastrawan untuk mempublikaiskan karyanya baik teks maupun audio visual.

Sayangnya, era ini juga menjadi penanda turunnya kualitas karya-karya sastra yang dipublikasikan karena tidak ada lagi kurasi, zonder editor. Semua orang bisa menerbitkan karyanya (self publishing), kapan pun, di manapun. Pada saat bersamaan media-media cetak juga diterjang tsunami, sebagian mati dilindas gelombang zaman. 

Meski demikian masih ada media-media mainstream yang tetap eksis dan memberi ruang untuk publikasi karya sastra bermutu plus memberikan honor yang pantas.  

Tetapi yang lebih mengerikan dari revolusi teknologi informasi adalah penggunaan bahasa vulgar, hoaks, di ruang-ruang publik, khususnya media sosial. Ketika semua orang bebas memaki, karya sastra yang menggunakan bahasa simbolik, metafora, menjadi kalah garang. Untuk apa menggunakan metafora jika kita boleh memaki dengan bahasa paling vulgar, paling kasar?

Karya sastra yang pada era penguasa otoriter menjadi katarsis kegundahan dan juga protes, tidak cukup bergaung di era kebebasan. Saya termasuk yang kehilangan kepercayaan diri, juga passion (gairah), untuk bersastra, dan larut dalam bahasa-bahasa medsos manakala hendak menyampai kegelisahan.  

Para penyair yang karyanya tergabung dalam antologi “Minyak Goreng Memanggil”pun sepertinya sudah terteror oleh hal demikian ketika mereka sepakat “menurunkan standar bahasa puisinya” agar dapat langsung dipahami orang awan, agar tidak kalah gahar dengan teriakan netizen di media sosial.

Tetapi saya tidak akan membahas apakah sastra harus menjadi bahasa pamlet, retoris, agar lebih dekat dengan rakyat, ataukah berhenti sebagai karya seni. Sudah banyak referensinya terutama dalam perdebatan besar di masa lampau antara Lekra dan Manikebu.

Saya lebih tertarik menyoroti pentingnya sastrawan memahami data dan fakta, sehingga karyanya tidak sebatas apa yang “dilihat”, “didengar” dan “dirasa” khususnya ketika berbicara tentang kondisi sosial yang ada di sekitarnya. Saya tidak mengatakan karya yang hanya berdasar apa yang dilihat, didengar dan dirasa sebagai hal yang buruk. Konteksnya bukan di situ. 

Saya kagum ketika dalam kata pengantar buku antologi “Minyak Goreng Memanggil” ada data tentang luas kebun sawit, jumlah produksi crude palm oil (CPO) dan lain-lain. Menurut saya ini luar biasa.

Tentu penyair tidak perlu berperan sebagai ahli ekonomi, politisi, dan lain-lain. Sudah punya kavling masing-masing. Tetapi karya yang tercipta dari rasa, barangkali akan lebih greget jika ditulis oleh penyair yang juga paham data secara faktual di balik persoalan-persoalan yang menggelisahkan hatinya.

Misalnya dalam kasus minyak goreng. Bukan hanya soal langka dan mahal, tetapi ada marwah kekuasaan, negara, yang dipertaruhkan. 

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, memegang kuasa (regulator) untuk mengendalikan harga. Pemerintah memiliki kuasa untuk mengendalikan produksi dan harga jualnya di dalam negeri melalui harga patokan atau yang kita kenal dengan istilah harga eceran tertinggi (HET).

HET dikeluarkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan ongkos produksi, distribusi dan keuntungan pengusaha. Namun apa yang kita saksi belakangan ini? Pemerintah nyatanya tidak berdaya mengendalikan 6-7 pengusaha yang memanfaatkan lahan negara untuk usaha.  

Negara kehilangan wibawa di depan segelintir pengusaha yang menguasai jutaan hektar lahan. 
Sejak September 2021 harga minyak goreng mulai merangkak. Memasuki 2022, harganya semakin gila-gilaan, jauh di atas patokan atau HET, dan saat itu pemerintah masih diam. 

Puncaknya terjadi pada Februari 2022 ketika pemerintah mengucurkan subsidi Rp 3,6, tiliun kepada pengusaha agar mau menjual minyak goreng kemasan sesuai HET Rp 14.000 per liter. Duit subsidi diterima, minyak goreng kemasan hilang dari rak-rak supermarket yang ditunjuk menjadi penyalur minyak goreng kemasan. 

Rakyat pun harus mengantri hanya untuk mendapatkan 1-2 liter minyak goreng. Setelah pemerintah melepas HET, seketika, hari itu juga, minyak goreng kemasan memenuhi rak-rakyat supermarket dan minimarket dengan harga dua kali lipat dari HET. 

Ditambah kemudian terjadi lonjakan pada permintaan pada minyak goreng curah sehingga harganya pun melambung. Upaya pemerintah dengan menaikan HET minyak goreng curah menjadi  Rp 14.000 per liter dari semula Rp 11.000 per liter, gagal. Harga minyak goreng curah mendekat Rp 20.000 per liter.

Pemerintah kembali mengucurkan subsidi Rp 7 triliun lebih kepada pengusaha agar mau menjual produksi minyak goreng curah seharga Rp 14.000 per liter. Apa yang terjadi? Subsidi kembali menguap harga jual minyak goreng tetap melambung di atas HET.

Saat harga minyak goreng kemasan melambung, pemerntah  mengeluarkan kebijakan DMO (domestic market obligation) yang mengharuskan produsen minyak goreng menyisihkan 20 persen produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. Seperti kita ketahui, kebijakan ini dimanfaatkan oleh pejabat Kementerian Perdagangan untuk kongkalikong dengan perusahaan sawit. Pemerintah pun kemudian memberlakukan larangan ekspor CPO selama sekitar 15 hari. 

Saat ini minyak goreng baik kemasan maupun curah sudah melimpah di pasaran. Tetapi ingat, hal itu bukan karena dampak larang  ekspor CPO, melainkan harganya yang sudah sesuai dengan kemauan pengusaha di mana minyak goreng kemasan dari HET 13.000 menjadi rerata 24.000, dan minyak gorenga curah dari Rp 11.000 menjadi 14.000, bahkan di beberapa daerah masih di kisaran Rp 16 ribu per liter.

Pengusaha yang rakus dan licik, tentu tersenyum. Tidak perlu ada larangan ekspor jika jika harga di dalam negeri sudah sama tingginya dengan harga di Singapura, Eropa, Amerika. 

Rakyat Indonesia yang perdapatan per kapitanya hanya sekian persen dari Singapura, Eropa, Jepang dan dll, dipaksa membeli produk yang diusahakan di atas tanah negara, dengan harga yang nyaris sama.

Saat ini pendaptan  per kapita Indonesia sekitar 4.026 dollar Amerika Serikat equivalen Rp 62 juta. Sedang pendapatan per kapita Singapura 59.797 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp837 juta. 

Sekali lagi, dari sini kita melihat betapa tidak berdayanya pemerintah menghadapi – meminjam istilah yang disampaikan mantan Menteri Perdagangan saat rapat di DPR, mafia minyak goreng. 

Saya tidak mengatakan ada monopoli dan kartel, tetapi ketika pengusaha bisa mengatur pemeritah, ini sudah warning bagi konsep ketahanan pangan nasional. 

Reshuffke menteri perdagangan juga belum memperlihatkan hasil. Harga minyak goreng kemasan masih bertengger di atas Rp 20 ribu per liter. Baru sebatas menyulap minyak goreng curah menjadi kemasan dan ikut dijual di minimarket dengan harga Rp 14 ribu per liter.   

Satu-satunya keberhasilan yang layak dicatat, mungkin terkait promosi agar pembeli minyak goreng curah kelak memilih anaknya. 

Jika ada elit partai berani menyeru kepada rakyat agar tidak cengeng menghadapi tragedi minyak goreng, maka kita harap dia punya keberanian untuk menyeru kepada segelintir konglomerat agar tidak mencari untung gila-gilaan di tengah pandemi. 

Kita berharap dia juga berani memaksa pengusaha tidak memanfaatkan ketidakberdayaan masyarakat dalam sistem perdagangan yang tidak adil. Kekuasaan yang dimandatkan kepada pemerintah adalah untuk memastikan adanya perlindungan kepada masyarakat kecil, masyarakat yang rentan dieksploitasi.

Ada sistem yang salah sehingga harus dibenahi sebelum menjadi kanker ganas, sebelum ungkapan Mark Twain “pengusaha merampok rakyat disebut bisnis, sementara ketika rakyat miskin melawan disebut anarkis”, menjadi kenyataan di negeri Pancasila yang kita cintai bersama. 

Penyair, sastrawan, harus berada di garda terdepan dalam menyuarakan persoalan hari ini tanpa perlu terjebak pada dukung-mendukung politik. Penyair adalah hatinya masyarakat. Ia tidak dapat terbebas dari lenguh ibu pertiwi, pun air mata anak-anak bangsa.

------

*) makalah ini disampaikan saat diskusi antologi puisi Minyak Goreng Memanggil di PDS H.B Jassin

LIPSUS