Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 213)

INILAMPUNG
Senin, 01 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


DINO meminta izin untuk membuka catatan yang ditaruh di bawah baju di lemarinya. Baru beberapa saat kemudian ia menyampaikan, bila pemegang hp yang terdaftar di Blok B sebanyak 68 unit.


“Bener setiap bulannya satu botol bayar Rp 1,5 juta?” tanya komandan razia lagi. Dino menganggukkan kepala.


“Nah, uang setoran dari 68 unit botol itu sebulannya Rp 100 juta lebih. Diserahkan ke siapa dan kalian kebagian berapa,” katanya lanjut, mencecar Dino.


“Totalnya setiap bulan ada Rp 102 juta, Dan. Saya serahkan ke pegawai penanggungjawab blok. Saya sama Basri dikasih masing-masing Rp 1 juta,” aku Dino, sambil terus menundukkan wajahnya.


Komandan razia mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya tampak memerah. Memendam amarah yang menggelegak di batinnya.


“Kalau yang tidak terdata, berapa banyak. Pasti lebih banyak kan?” tanya dia lagi.


“Saya tidak tahu persis, Dan,” jawab Dino.


“Jangan bilang begitu. Kalian kan napi penanggungjawab blok. Kerennya, disebut sebagai kepala blok. Masak tidak tahu penghuni yang pakai botol tanpa terdaftar? Tidak masuk akal saya itu,” tanggap komandan razia. Suaranya terus menekan.


Dino dan Basri terdiam. Keduanya hanya menundukkan kepalanya. Matanya menatap lantai kamar sel.


“Kalian tadi minta ke bapak ini supaya dibantu biar kalian tidak didata dan dimasukkan strafsel. Karena kalian paham, kalau sampai masuk strafsel, tidak bakal kalian dapet remisi. Begitu kan,” kata komandan, melanjutkan.  


Dino dan Basri menganggukkan kepalanya. Bersamaan. Badan mereka tampak gemetaran. Ketakutan. 


“Saya akan lepaskan kalian dalam kasus penemuan botol itu. Tapi, kalian harus jujur, jawab semua pertanyaan saya dengan apa adanya. Dan tatap saya, jangan menunduk terus,” kata komandan razia. Kembali suaranya menekan.


Dino dan Basri mengangkat wajahnya. Seraya mengangguk. Kedua mata mereka memerah, akan menangis karena ketakutan.


“Jadi, berapa botol di blok ini yang tidak terdata. Jawab jujur,” ucap komandan razia, semakin menekan perkataannya.


“Sekitar 30 botol, Dan,” sahut Basri.


“Jangan mengira-ngira. Kasih data konkretnya,” sahut komandan razia dengan cepat.


“Selama ini tidak kami data yang memang tidak terdaftar, Dan. Jadi kami sulit memastikannya,” ujar Basri, dengan suara bergetar.


“Ya coba kalian ingat-ingat saja. Kan kalian pasti sering melihatnya. Bohong besar kalau kalian bilang tidak ingat atau lupa,” tegas komandan razia.


Tampak Dino dan Basri menghitung dengan mengingat-ingat apa yang mereka lihat selama ini. Cukup lama keduanya mencoba menemukan kesamaan data.


“Tidak kurang dari 45 botol yang tidak terdata, Dan,” kata Basri, beberapa saat kemudian.


“Terus, kalian manfaatkan jadi apa mereka yang pegang botol tidak terdaftar itu?” kejar komandan razia. Tampak ada rasa penasaran yang tinggi.


Dino dan Basri berpandangan. Seakan ingin menyatukan jawaban. Melihat hal tersebut, komandan razia tersenyum.


“Jangan merancang alasan yang ngawur ya. Saya ini pernah lama menjadi kepala rutan dan lapas. Jadi, saya paham mainan di dalam. Kalau kalian berbohong, saya masukkan kalian ke strafsel dan saya beri kode F, artinya kalian tidak akan dapat remisi dan harus menjalani hukuman sebagaimana vonisnya,” lanjut komandan razia dengan panjang lebar.


“Kalau ada sipir yang perlu-perlu dana, saya kasih tahu mereka kalau si A di kamar sekian, misalnya, pegang botol. Nanti dirazia sama sipir. Dan si A pasti menebusnya,” aku Dino sambil menghela napas.  


“Bagaimana cara si A itu misalnya, menebusnya?” kejar komandan razia lagi. 


“Setelah botol diamankan sipir, botolnya dititipkan ke kami. Dan sipir itu menyampaikan berapa dana yang dia butuhkan. Pasti pemiliknya mengadu ke kami. Disitulah negonya, Dan,” urai Dino. 


“Selama ini selalu berhasil dengan pola itu?” tanya komandan razia. Dino mengangguk, yakin.


“Terus, kalau dana yang diminta sudah dikasih, botolnya dikembalikan tidak ke yang punya,” lanjut dia.


“Begitu dia kasih uang tebusan, ya botolnya kami serahin lagi, Dan,” sambung Dino.


“Nah, sekarang ini ada berapa penghuni Blok B, dan biasanya apa saja alasan keperluan sipir itu sampai kalian menekan pemegang botol yang tidak terdaftar,” komandan razia masih penasaran.


“Sampai kemarin, ada 322 penghuni di blok ini. Mereka berada di dalam 34 kamar. Kebanyakan sipir, bilangnya ada keperluan kondangan, mengajak keluarga makan-makan, perayaan ulang tahun, atau pengajian. Ya, semacam itulah, Dan,” Basri yang menjelaskan. 


“Dari 322 orang itu, yang sudah inkrach berapa, atau yang sedang mengikuti persidangan berapa?” tanya komandan lagi.


Kembali Dino dan Basri berpandangan. Tampak keduanya kesulitan untuk memberi jawaban pasti. Bahkan Basri menggaruk-garuk kepalanya, yang sebenarnya tidak sedang gatal.


“Kira-kira yang sudah inkrach lebih dari 85%, Dan. Sisanya masih mengikuti persidangan. Termasuk pak Mario ini, baru siang nanti mulai sidangnya,” ucap Dino, setelah cukup lama berpikir.


Komandan razia memandangku. Tajam dan serius. Seraya menggerak-gerakkan kepalanya.


“O, nama bapak ini Mario ya. Dari tadi kita ngobrol, saya tidak tahu. Benar kata dia, kalau bapak baru akan memulai persidangan,” ujar komandan razia, dengan tetap menatapku.


“Benar, Dan. Inshaallah, mulai siang nanti saya ikut sidang,” sahutku, polos.


“Bapak tahu kan ini kamar kepala blok. Kamar forman istilahnya. Harusnya, yang tinggal di kamar ini yang sudah inkrach kasusnya. Bukan yang masih sidang,” kata komandan razia, tetap menatapku.


“Saya tidak tahu ada ketentuan begitu, Dan. Yang jelas, saya mendapat surat perintah penetapan di kamar ini. Ya sudah, saya tinggal disini,” kataku, apa adanya.  


“Paham saya kalau begitu. Bagaimana prosesnya hingga bapak bisa tinggal di kamar ini,” kejar komandan razia.


Aku pun menjelaskan dengan panjang lebar proses yang aku lalui hingga bisa masuk di kamar terbuka itu. Termasuk berapa dana yang dibayarkan istriku kepada salah satu petinggi rutan.


“Jadi, atas dasar bapak ingin lebih tenang dan nyaman menghadapi persidangan, maka bapak mau membayar mahal untuk tinggal di kamar terbuka ini. Begitu ya,” tanggap komandan razia. Aku menganggukkan kepala.


Komandan razia yang berbadan tinggi besar dengan kumis tipis nan rapih itu, tersenyum. Penuh simpatik. 


“Ya sudah, kalian berdua tidak saya data, apalagi masuk strafsel. Tapi, botol kalian, kami sita. Lain kali, kalau mau main kadal-kadalan sama petugas, yang canggih sedikitlah. Masak ipis pikirannya gampang ditebak,” kata komandan razia beberapa saat kemudian, sambil memandang Dino dan Basri.


Setelahnya ia bergerak keluar kamar. Tepat di pintu, ia menengok ke arahku. Mengulurkan tangannya. Mengajak bersalaman. 


Sambil menatap mataku dengan tajam, ia berucap pelan: “sembunyikan emosi bapak dengan diam, dan kunci diam itu dengan sabar. Perlihatkan kesabaran dengan senyuman. Biarkan dunia bertanya-tanya.”


Di saat aku masih mencoba memahami perkataan pelannya, komandan razia itu bergerak cepat. Keluar blok untuk kembali ke pos penjagaan. Mengeksekusi hasil razia semalaman. (bersambung)

LIPSUS