Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 214)

INILAMPUNG
Selasa, 02 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


TERIMAKASIH bantuannya, pak Mario. Kami berutang budi. Siap jalani apapun perintah,” kata Dino, setelah aku duduk di kursi ruang depan kamar sel.


“Santai aja. Emang sewajarnya kita saling jaga,” sahutku dengan enteng, sambil meminta Rudy membuat kopi pahit. Minuman kesukaanku.


Dino dan Basri mendekat. Menyalami, bahkan memelukku. Aku merasakan ada getaran haru di tubuh mereka. Dengan apa yang dilakukan itu, aku pun telah melupakan dan memaafkan prilaku mereka selama ini. Yang tidak pernah menunjukkan persahabatan sama sekali, meski kami tinggal di dalam satu kamar. 


Saat itu aku menyadari, ada kalanya kita memaafkan seseorang bukan karena penyesalan dari orang tersebut, tetapi semata karena hati kita membutuhkan kedamaian.  


Tidak lama kemudian, Dino dan Basri keluar kamar. Mengecek dan mengawasi pekerjaan para tamping kebersihan, juga tamping air.  


Seorang tamping kebersihan yang juga menjajakan sarapan, lewat di depan kamar. Melihat aku duduk di kursi ruang depan sambil menikmati minuman kopi pahit, ia menawarkan jajaannya. Nasi uduk, nasi kuning, bubur sumsum, hingga roti susu. 


“Minta nasi kuning aja,” kataku kepada tamping penjaja makanan.


Pada saat bersamaan, Rudy keluar dari ruang dalam. Ia mengambil tiga bungkus nasi uduk.


“Om, nanti om Basri yang bayar sarapan kita. Tadi pesennya gitu,” kata Rudy, sambil menatapku.


“Oh ya. Alhamdulillah. Sampein terimakasih om ke Basri,” ujarku.


Setelah Rudy menyiapkan piring beserta sendok dan garpunya, aku pun sarapan nasi kuning. Rudy yang melahap nasi uduk, duduk di sampingku.


“Om kok suka bener sama nasi kuning sih. Makanan itu kalau di kampung Rudy, sebenernya khusus buat orang syukuran. Nggak setiap saat makannya,” kata Rudy, di saat kami sama-sama menikmati sarapan.


“Justru itu, Rud. Om selalu sarapan nasi kuning ini, sebagai tanda kalau om memasuki hari dengan rasa syukur,” sahutku, sambil tersenyum.


“O gitu ya, om. Bener juga ya. Boleh juga Rudy jalani kalau gitu, om,” ucap Rudy dengan cepat.  


Di tengah kami masih menikmati sarapan, pak Edy datang. Rudy langsung bangun dari tempat duduknya, memberikan kursi kepada pak Edy. Ia sendiri memilih duduk di lantai. Ndeprok. Menempatkan diri, selain menghormati tamu, dan lebih tua usianya. Anak muda ini memang cukup punya adab. Unggah-ungguhnya cukup bagus.


“Be, terimakasih banyak bantuannya semalem ya. Kalau nggak ada babe, bisa-bisa aku masuk strafsel,” kata pak Edy, setelah duduk di kursi sebelahku.


“Sama-sama, pak Edy. Memang sudah sewajarnya kita saling jaga dan bantu. Nggak usah dipikirin. Lagian, semuanya sudah diatur sama Yang Di Langit,” jawabku, sambil terus mengunyah nasi kuning sarapanku.


“Jujur, be. Aku sempet down waktu ditarik petugas razia itu. Dan yang buatku kesel, itu petugas rutan penanggungjawab blok kita, kok malah ngomporin gitu. Padahal, aku bayar lo dua botol itu,” lanjut pak Edy.


“Nggak usah dipersoalin ya, pak. Emang nggak bener apa yang dilakuin petugas penanggungjawab blok itu, semalem. Tapi aku ngerti kok. Dia harus nunjukin atau kasih bukti ke komandan razia, kalau dia bisa bersihin blok ini dari barang-barang terlarang. Mungkin, kalau kita dalam posisi yang sama, ya bakal lakuin kayak gitu juga. Ngamanin badan istilah gampangnya,” kataku, panjang lebar.


Pak Edy mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampak ia mulai memahami apa yang dilakukan petugas penanggungjawab blok yang tadi malam justru membuka tabir persembunyian dua telepon selulernya. 


“Aku kepikiran terus sejak kejadian semalem itu, be. Ngapain kita bayar kalau pas razia, barang kita nggak diamanin sebelumnya, malahan dijadiin tumbal,” ketus pak Edy. Masih ada kegeraman di dalam perkataannya.


“Ya sudah, jadiin pengalaman aja kejadian semalem itu, pak Edy. Nggak perlu jadi sesalan. Yakin aja, episode kehidupan kita terus berubah. Berganti dari satu situasi ke situasi lain. Bertukar-tukar. Berbolak-balik. Kadang di atas, kadang di bawah. Nah, yang nggak boleh berubah itu cuma hati yang tetep tenang dan teguh dalam kebenaran,” tuturku, mencoba menenangkan hati dan pikiran pria sebaya denganku itu.


“Tapi aku sempet malu pas balik ke kamar, be. Kawan-kawan ngetawain aku. Masak sudah bayar mahal, botolnya masih disita,” tambah pak Edy. Ada senyum kecut di bibir hitamnya.


Aku hanya tersenyum. Memang acapkali, tanggapan orang di sekeliling, bisa membuyarkan keyakinan diri kita terhadap suatu persoalan. Padahal, pada akhirnya, hanya diri kita sendirilah yang menjadi penentu kehidupan ini.


“Nggak usah dipikirin omongan atau respon kawan-kawan di kamar, pak Edy. Santai aja. Ngapain nambah-nambahin beban dan cuma buat hati nggak nyaman,” sahutku, dan menepuk bahunya.


“Kadangkala, jengkel juga sama tanggepan kawan-kawan di kamar itu, be. Sampai aku mikir, apa pindah kamar aja ya,” kata pak Edy. 


“Santai ajalah, pak. Pindah kamar itu bukan nyelesaiin masalah, tapi justru buat masalah baru. Harus ngenalin lagi watak satu demi satu penghuni kamar, harus nyesuaiin sama kebiasaan di kamar itu. Ditambah iuran mingguannya kita harus nyesuaiin juga. Sudahlah, jalani aja yang ada sekarang. Nanti juga berhenti kawan-kawan itu ngopeni urusan pak Edy,” tanggapku, dengan mengurai gamblang.


“Gimana kalau kawan-kawan di kamar terus ngusilin, be?” tanya pak Edy, sambil menatapku. Meminta ketegasan.


“Ya omongin aja, nggak usah lagi ngurusi urusan pak Edy. Kalau masih juga, gebukin aja. Nanti aku bantuin,” kataku, dengan nada serius.


Tiba-tiba berdiri di pintu kamarku, seorang sipir muda berbadan tegap. Almika. Ia langsung menebar senyum simpatiknya begitu aku berdiri menyambut dan menyalaminya.


“Sehat terus ya, om. Nanti mulai sidang lo. Tetep dibawa tenang ya,” kata Almika, dengan terus menunjukkan senyum ramahnya, yang membawa ketenangan tersendiri buatku.


“Alhamdulillah, om tetep sehat, Mika. Om juga sudah siap untuk ikuti persidangan. Inshaallah, om tetep bisa tenang dan enjoy aja,” sahutku, juga dengan tersenyum.


“Sip kalau gitu, om. Mika juga tenang kalau om sudah yakin bisa tenang jalani persidangan. Jujur, sejak semalem kepikiran sama Mika, kayak mana besok om mau sidang ini,” tuturnya, terus terang membuka rasa di hatinya.


“Alhamdulillah, berkat pikiran dan doamu itulah om dapetin ketenangan, Mika,” ujarku, sambil menepuk-nepuk bahu Mika, mengekspresikan kebanggaan kepadanya.


“Jujur ya, om. Mika kepikiran terus sama om karena om kan selama ini banyak diemnya ketimbang ngomong. Mika khawatir, om diem itu karena beratnya beban batin selama ini,“ lanjut Mika, menatapku dengan pandangan serius.


Aku tersenyum. Ada rasa bahagia, bangga sekaligus haru atas pengakuan Almika yang apa adanya. Demikian perhatiannya sipir muda usia yang baik hati ini kepadaku. 


“Jadi gini, Mika. Singa itu ditakuti karena diem, sedangkan anjing dijadiin mainan karena menggonggong,” kataku, beberapa saat kemudian.


Spontan Almika tertawa, dan memelukku penuh dengan ketulusan. Pagi itu, suasana di kamarku memang penuh warna. Dan sesungguhnya, itulah hakekat kehidupan. Selalu berubah, berbolak-balik, berputaran. Hanya kematian yang merupakan kepastian. (bersambung)

LIPSUS