Oleh, Dalem Tehang
ALMIKA membuka jaket yang menutupi baju dinasnya. Ia mengeluarkan bungkusan kecil dari dalam saku jaket tersebut. Ternyata, berisi tiga bungkus rokok. Dan langsung ia berikan kepadaku.
Tidak hanya itu. Tangannya kembali merogoh saku satunya pada jaket yang dikenakannya. Sebuah telepon seluler, ia keluarkan.
“Om pakai botol ini. Kalau ada petugas atau sipir yang tanya, bilang aja dipinjemi Mika. Kalau mereka masih ambil juga, nanti om kasih tahu pas Mika tugas piket,” ujar Almika, seraya menaruhkan telepon seluler kecil itu ditanganku.
Belum lagi aku sempat menjawab, ia mengeluarkan carger hp tersebut dari kantong celananya. Dan menugaskan Rudy untuk menyimpan di lemari tempat pakaianku. Pada bagian sudut dalam.
“Terimakasih banyak atas semua ini, Mika. Cuma om ngerasa belum perlu-perlu amat pegang botol,” kataku, beberapa saat kemudian.
“Om mungkin ngerasa belum perlu-perlu amat sama botol ini. Tapi tante dan ponakan-ponakan di rumah, pasti seneng kalau om bisa komunikasi sama mereka setiap harinya,” jawab Almika, dengan tenang.
Mendengar jawaban Mika, aku pun mengangguk-anggukkan kepala. Membenarkan perkataan sipir muda usia tersebut. Dan kembali teringat akan perkataan anak gadisku, Bulan, dan cah ragilku, Halilintar, saat membesukku dua hari lalu. Mereka berharap, aku bisa segera memegang telepon seluler, sehingga dapat rutin berkomunikasi.
“Terimakasih banyak ya, Mika. Om nggak tahu harus gimana ngebales kebaikanmu,” kataku, beberapa saat kemudian, sambil memeluk Almika.
“Santai aja, om. Hp itu sudah aktif. Sudah Mika isi juga pulsanya. Nanti kan om mau sidang, sebelum berangkat ke pengadilan, om telepon tante. Kasih kabar, jadi tante juga bisa ngatur waktunya kalau mau melihat sidang om,” ucap Mika. Memberi saran.
“Kalau om sidang, dimana nyembunyiin hp ini ya?” kataku, setengah bertanya.
Tiba-tiba Rudy memberi isyarat. Mengajakku masuk ke dalam kamar. Tepat di atas tempat tidurku terdapat rak memanjang. Yang selama ini menjadi tempat aku menaruh Alqur’an, buku catatan harian, juga obat-obatan. Termasuk bingkai foto keluargaku.
“Nanti disimpen dibalik rak ini aja, om. Rak ini kan copotan, tinggal kita angkat. Ada celah untuk taruh hp dibaliknya. Aman kok,” kata Rudy, seraya mengajakku melepas rak dari posisinya. Dan benar, dibaliknya ada celah cukup luas untuk menyimpan telepon seluler.
“Alhamdulillah, aman berarti ya, Rud. Terimakasih ya,” kataku, dan kembali ke ruang depan. Menemui Almika yang tengah berbincang dengan pak Edy.
“Om, ini pak Edy cerita, gara-gara botolnya kena razia tadi malam, dia di-bully terus sama kawan-kawan di kamarnya. Padahal, pak Edy ini kap kamar lo. Apa perintah om,” kata Almika ketika aku telah kembali ke ruang depan.
Aku pandangi pak Edy. Tampak pria yang terjerat kasus mafia tanah itu memang kehilangan kenyamanannya akibat prilaku kawan sekamarnya sejak tadi malam. Walau menurutku, apa yang dialaminya bukanlah hal serius.
Setelah berpikir beberapa lama, aku sarankan kepada Almika untuk masuk ke kamar pak Edy, kamar 34. Dan memberikan teguran kepada penghuni kamar untuk tidak meneruskan perbuatannya mem-bully pak Edy.
Mendengar saranku, Almika langsung keluar kamar. Berjalan menuju kamar 34. Ia memanggil tamping kunci, minta dibukakan gembok kamar tersebut.
“Maaf, be. Kayaknya babe kurang setuju aku ceritain apa yang aku alami ke pak Almika ya. Tapi emang aku bener-bener ngerasa nggak nyaman karena omongan kawan-kawan itu, be,” ujar pak Edy, beberapa saat kemudian.
“Sebenernya aku nggak setuju sama apa yang pak Edy sampein ke Mika. Karena menurutku, kawan-kawan itu lebih kepada bercandaan aja. Cuma, karena pak Edy lagi ngerasa nggak nyaman akibat perlakuan petugas penanggungjawab blok yang berujung disitanya botol pak Edy, jadi candaan kawan-kawan itu ngebuat pak Edy ngerasa di-bully atau nggak dianggep,” sahutku, dengan nada kesal.
Mendengar jawabanku, pak Edy terdiam. Ia menundukkan wajahnya. Matanya yang redup, menatap lantai.
“Lain kali, kalau ada masalah, jangan buru-buru diceritain ke sipir. Apapun alasannya, kalau sipir sudah turun tangan, bakal beda penerimaannya,” lanjutku.
“Maksudnya gimana, be?” tanya pak Edy, sambil mengangkat wajahnya, menatapku.
“Kalau sipir negor kawan-kawan pak Edy sekarang ini, nanti kawan-kawan bisa aja beranggapan pak Edy bisanya cuma ngadu. Nggak bisa diajak bercandaan. Di sisi lain, mereka ngerasa ditekan. Akhirnya, malah nggak bagus buat pak Edy,” uraiku.
Tidak lama kemudian, sipir Almika kembali masuk ke kamarku. Wajahnya tetap teduh. Tanpa ekspresi.
“Kawan-kawan di kamar 34 sudah saya tanya, ternyata maksud mereka hanya candain pak Edy aja. Mereka bilang, selama ini pak Edy banyak ngelamun, jadi maksud mereka pengen ngelihat pak Edy ketawa,” kata Almika, menjelaskan hasil kedatangannya menemui kawan-kawan pak Edy di kamar 34.
“Syukur kalau begitu, pak Almika. Saya aja yang salah menduga. Mohon maaf sudah ngerepotin,” kata pak Edy, dan menyalami Almika.
“Nggak apa-apa, pak. Kan tugas saya emang ngejaga biar semua penghuni rutan tetep bisa ngerasa nyaman. Walau kalau kenyamanan yang jadi tujuan, nggak bakalan didapet selama tinggal di dalam rutan,” tanggap Almika, seraya tersenyum penuh arti.
Tiba-tiba seorang tamping regis berdiri di pintu kamarku. Setelah memberi hormat kepada Almika, ia menyampaikan bila nanti aku akan menjalani persidangan.
“Jam 11 sudah siap ya, om. Pakai baju putih, celana warna gelap, dan kopiah. Kumpul di pos dalam,” lanjut tamping itu.
“Emang berangkat ke pengadilannya jam berapa?” tanyaku.
“Jam 12.30 harus sudah jalan, om. Hari ini ada 58 yang sidang. Makanya, dari jam 11 harus sudah kumpul di pos jaga. Biar lebih tertib,” jelas dia.
Aku hanya memberi jempol ke arah tamping regis, yang segera beranjak pergi untuk memberitahu penghuni rutan lainnya yang hari itu mengikuti persidangan.
“Oke, om. Mika pamit dulu. Mau lanjut ke tempat tugas di menara depan. Tetep tenang ya, om,” ujar Almika dan setelah menyalamiku, meninggalkan kamarku. Kembali melanjutkan tugas piketnya.
Setelah pak Edy berpamitan untuk kembali ke kamarnya, aku masuk ke ruang dalam. Mengambil telepon seluler kecil yang tadi diberikan Almika. Ingin sekali segera menghubungi istriku. Mendadak, begitu menggelegak rasa rindu kepadanya. Dan rasa rindu kepada istri itulah, yang membuatku merasa kesepian di tengah keramaian, dan ramai di tengah kesepian. (bersambung)