Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 216)

INILAMPUNG
Kamis, 04 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


DENGAN membaca Bismillah, aku pencet nomor telepon seluler istriku dari hp pemberian Almika. Sampai tiga kali panggilan terputus, tidak ada sahutan. Aku memaklumi, bila ada nomor tidak dikenal, istriku memang sangat jarang mau mengangkat teleponnya.


Di saat aku masih menimbang-nimbang, apakah akan mengulang telepon lagi atau menyudahi, dan menonaktifkannya untuk kemudian menyimpan di balik rak, telepon kecil ditanganku bergetar. Ada panggilan masuk.  Ternyata nomor istriku.


“Assalamualaikum, bunda. Ini ayah. Bunda sehat ya,” kataku, begitu mengangkat telepon.


“Waalaikum salam. Alhamdulillah. Ayah ya rupanya yang telepon-telepon tadi. Bunda ragu mau ngangkatnya, karena nggak ngenalin nomornya,” sahut istriku, dengan suara ceria.


Aku menceritakan, telepon seluler yang aku gunakan merupakan pemberian sipir Almika, beberapa saat sebelumnya. 


“Alhamdulillah. Jadi sekarang ayah bisa komunikasi intens ya sama bunda dan anak-anak. Tapi tetep hati-hati dan waspada pakai hp-nya lo, ayah. Bukan cuma biar nggak kena razia, yang lebih penting lagi jangan sampai nimbulin kecemburuan kawan-kawan sekamar,” ujar istriku, Laksmi, mengingatkan.


“Inshaallah, ayah bisa jaga hp ini dengan baik, bunda. Apalagi waktu Mika kasih tadi, Rudy si OD juga tahu. Kalau dia ditanya sama Dino atau Basri, kan bisa jelasin. Inshaallah, hp ini bawa berkah, bukan nambah masalah,” jawabku.


Aku pun menyampaikan, nanti jam 12.30, kami semua yang akan mengikuti persidangan di pengadilan, diberangkatkan dari rutan. Dengan mobil khusus tahanan milik kejaksaan. 


“Nanti bunda sama Laksa dateng ke pengadilan. Temeni ayah. Tetep tenang dan sabar ya, sayangane bunda,” kata istriku, dan sesaat kemudian mematikan telepon selulernya.


Selepas berbincang dengan istriku Laksmi, aku memberi kabar melalui WhatsApp kepada anak gadisku, Bulan, dan cah ragilku, Halilintar. Juga sopir di rumah, yang kedekatannya sudah melebihi dari saudara, Rayhan. Agar mereka menyimpan nomor telepon selulerku. Dan setelahnya, aku menonaktifkan hp serta menyimpannya di balik rak yang berada di atas tempat tidurku .


Baru saja aku dan Rudy merapihkan kembali posisi rak, tiba-tiba Aris masuk kamar. Wajahnya tampak tegang.


“Ada apa, Ris?” tanyaku, seraya mengajaknya ke ruang depan. Duduk di kursi kecil.


“Nggak tahu ini, be. Sejak semalem, nggak tenang bener hati ini,” ucap Aris, seraya menyulut sebatang rokok yang sejak tadi hanya dipegangnya saja.


“Kamu itu kepikiran karena mulai sidang hari ini, Ris. Sudahlah, hadep-hadepin aja. Nggak usah dibuat berat,” tanggapku, dengan tenang.


“Kali juga ya, be. Tapi emang bener kok, nggak tenang bener hati ini. Sampai-sampai nggak bisa tidur walau cuma sekejap aja,” lanjut Aris.    

   

“Baca Bismillah aja, Ris. Pasrahin semua sama kehendak Yang Di Langit. Tetep jaga kondisi badanmu. Pastinya, nanti di pengadilan kan banyak keluargamu yang dateng, tunjukin kalau kamu tetep fresh, biar mereka nggak makin nelongso hati ngelihat kamu,” ucapku.


Ku ambilkan vitamin di tas kecil. Aku berikan kepada Aris. Agar kondisi badannya tetap terjaga. Apalagi, ia tidak tidur sama sekali semalaman.


“Inilah enaknya sama babe, selalu siap berbagai vitamin dan obat. Kamu baik-baik ngelayani babe, Rud. Pasti ada aja yang dia kasih,” kata Aris, sambil menerima vitamin dariku dan menatap ke arah Rudy, yang terus berdiri menyandarkan badannya ke jeruji besi. Mengikuti perbincangan kami.


“Yang naruhin barang-barang om Mario kan Rudy sih, om. Jadi ya tahu persislah apa aja yang om Mario punya,” tanggap Rudy, sambil tersenyum.


“Tapi pasti masih banyak yang kamu nggak tahu, Rud. Om Mario-mu ini kan punya tas kecil. Tas doraemon sebutannya. Isinya macem-macem. Semua barang ada di tas itu,” ujar Aris, dan tertawa ngakak.


Aris meminta Rudy untuk membeli makanan ringan di kantin. Dan beberapa bungkus rokok, serta air mineral. 


“Kamu belum sarapan, Ris? Kalau belum, beli nasi uduk aja. Di kantin pasti ada,” kataku.


“Emang belum sarapan sih, be. Cuma lagi nggak nafsu makan juga. Enakan makanin tempe atau tahu goreng aja. Nanti makan nasinya setelah sampai di pengadilan,” sahutnya.


“Maksudnya gimana, Ris?” tanyaku.


“Nanti kan pasti ada keluargaku yang dateng, be. Nggak mungkin mereka nggak bawain aku nasi buat makan siang. Nah, pas kita lagi di sel pengadilan nunggu sidang, itulah kesempatan buat makan,” Aris mengurai.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Tidak menyangka, Aris telah memiliki rencana tersendiri untuk mengisi perutnya dengan makan nasi. Di sela-sela waktu menunggu persidangannya.


Tidak berselang lama, Rudy telah kembali dari kantin. Ia membawa beberapa potong makanan ringan seperti yang diinginkan Aris. Tempe dan tahu goreng, juga bakwan. 


Ketika Aris dan Rudy sedang menikmati makanan ringan yang dibeli dari kantin, aku gunakan kesempatan untuk mandi. Kali ini, agak lama aku membersihkan badan. Karena untuk pertama kalinya akan mengikuti persidangan. Dan menghirup udara luar setelah lebih dari 100 hari hanya berkutat di kawasan penahanan.


Kemeja putih dan celana panjang warna hitam yang telah dibawakan istriku, tergantung di sudut kamar. Aku jaga betul kerapihannya. Kopiah hitam yang akan aku gunakan, ku bersihkan dengan kuas kecil secara perlahan, sehingga warnanya kembali hitam mengkilat. Pun sepatu jenggel warna hitam, aku bersihkan. Menyemirnya dengan halus, dan menjemur di sudut taman, agar tidak terkena sengatan matahari secara langsung. 


Melihat aktivitasku menyiapkan apa-apa yang akan dipakai untuk hadir di dalam persidangan, Aris tampak mengamati dengan serius.


“Babe nanti pakai sepatu ya?” tanya Aris.


“Ya iyalah, Ris. Masak pakai sandal,” sahutku, pendek.


“Kan nggak dilarang juga pakai sandal, be,” lanjutnya.


“Ya emang nggak dilarang sih, tapi aku ngerasa nggak panteslah ke persidangan pakai sandal. Kita kan harus tetep ngehargai proses persidangan di pengadilan itu, Ris. Yang utama, ya ngehargai diri sendiri kalau kita pakai sepatu,” ucapku. 


“Bener juga ya, be. Aku sebenernya heran lo sama tatacara ikut sidang. Kita diwajibin pakai baju putih, celana warna gelap, dan berkopiah. Tapi pakai sandal, nggak dilarang. Jadi kayak dagelan aja tampilan para terdakwa itu,” tutur Aris, dan tertawa. 


“Aku juga sebenernya heran, Ris. Terutama soal kewajiban pakai kopiah itu. Kenapalah, kita-kita yang jadi terdakwa harus berpenampilan kayak ustadz di saat jalani persidangan. Kalau nurutku, yang penting pakai baju dan celana yang bersih, rapih, dan bersepatu. Jadi marwah pengadilan juga terjaga. Ini mayoritas terdakwa santai aja pakai sandal. Bahkan banyak yang bersandal jepit, kayak mau ke kamar mandi aja,” kataku lagi. Panjang lebar.


“Kan emang kebanyakan sidang itu kayak dagelan, om. Apalagi buat kasus yang remeh-temeh. Kalau sudah ada deal-deal sebelumnya, ya lancar aja. Maka nurut Rudy, nggak usahlah gupek-gupek amat ngikuti sidang. Jalan-jalani aja, nanti juga selesai juga,” ucap Rudy, menyela.


“Ya emang ujung-ujungnya selesai juga, Rud. Cuma selesai yang kayak mana?” tanggap Aris dengan cepat.


“Nah, itu dia, om. Selesainya kayak mana itu yang perlu diatur di luar persidangan,” lanjut Rudy, dan menebar tawanya. (bersambung)

LIPSUS