Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 218)

INILAMPUNG
Sabtu, 06 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


PRIA itu menganggukkan kepalanya dengan lemah. Komandan pos jaga memerintahkan kami yang membawa bekal untuk memberi makanan kepada tahanan tersebut.


Dengan spontan, aku menengok ke arah Dika, yang barisannya tepat di sampingku. Beruntung, ia cepat memahami isyaratku. Dika keluar barisan dan mendekat kepada tahanan berusia lanjut yang duduk lemas tersebut. Ia memberi satu botol air mineral dan dua potong tahu isi. 


Dengan gerakan perlahan, pria tersebut membuka air mineral dan meminumnya. Juga memakan tahu yang diberikan Dika dengan lahapnya. Aku beristighfar di dalam hati. Dan bisa membayangkan, betapa beratnya beban pria berusia lanjut itu.


Komandan pos memerintahkan anak buahnya membuka gerbang penyekat yang berdiri menjulang. Tamping regis memanggil nama kami satu demi satu untuk masuk ke halaman di depan kantor rutan. 


Tidak dinyana, Aris dipanggil yang pertama. Saat aku masih terbengong karena Aris langsung mendapat panggilan, tiba-tiba tamping regis menyebut namaku, disusul Dika. Baru yang lain-lainnya.


Pahamlah aku, jika Aris telah mengatur urutan pemanggilan nama kami kepada tamping regis. Dan tentu saja, pengaturan tersebut tidaklah gratis. Karena sudah amat lazim, semua kemudahan di dalam rutan tetap ada harga yang harus dibayar.  


Setelah semua berbaris rapih sesuai posisinya, kami diperintahkan berjalan menuju ke pintu gerbang besi baja. Untuk nantinya masuk ke ruang P-2-0. Ruang pemeriksaan akhir, sebelum keluar pintu gerbang utama kompleks rutan.


Badanku basah kuyup oleh keringat akibat berjemur dibawah matahari selama mengikuti proses untuk keluar rutan ini. Hingga pakaianku juga basah. Bahkan, keringat mengalir deras membasahi badan di balik kaos dalamku.


Tiba-tiba, Aris yang berdiri didepanku, membalikkan badan dan memegang tanganku. Aku terkejut. Tangannya begitu dingin. Seperti es.


“Kamu kenapa, Ris?” tanyaku, pelan. Ada kekhawatiran.


“Nggak tahu, be. Pegangin badanku ya kalau tiba-tiba ambruk,” ucapnya. Sedikit terbata.


Aku menengok ke belakang, ada Dika. Dia hanya tersenyum saat aku menyampaikan kondisi Aris.


“Aris itu stres, bang. Nervous dia, karena mau sidang ini,” kata Dika, tetap dengan tersenyum.


Aku terdiam. Tidak tahu harus berbicara apa. Karena sesungguhnya, aku pun merasakan kegalauan pada saat itu. Hanya saja, aku menyadari, dalam kondisi seperti ini hanya ikhlas itulah pilihannya. 


Yang bagiku, ikhlas adalah nama lain dari terpaksa kemudian terbiasa. Sehingga, tidak membuat jiwa apalagi pikiranku, terbelenggu oleh kegalauan yang ada. 


Seluruh tahanan yang akan mengikuti persidangan telah berada di halaman depan kantor rutan dalam barisan yang rapih, barulah gerbang penyekat ke kawasan kamar tahanan kembali digembok. 


Tamping regis menggedor pintu baja yang menghubungkan ke dalam ruangan P-2-O. Tiga kali gedoran, seorang sipir mengintip dari celah kecil yang ada di tengah-tengah pintu gerbang tinggi dari besi baja tersebut. Tidak lama kemudian, dua orang sipir membuka pintu kecil yang menjadi bagian dari gerbang. Cukup untuk satu badan saja memasukinya. 


Tamping regis masuk ke dalam ruang P-2-O, dan pintu kecil pada gerbang, ditutup kembali. Di dalam ruangan, tamping regis menyerahkan laporan kepada komandan jaga di tempat tersebut. Data mengenai siapa saja yang hari itu akan mengikuti persidangan di pengadilan. 


Sekitar 10 menit kemudian, pintu kecil yang ada pada bagian gerbang besi baja itu, dibuka kembali. Setelah disebut namanya, baru kami satu demi satu masuk. Berkumpul lagi di sebuah ruangan. 


Ruangan berukuran sekitar 10 x 8 meter itu cukup sejuk. Karena memakai AC. Sangat berbeda jauh saat kami berbaris di dalam kawasan penahanan sebelumnya. Kembali dilakukan pemeriksaan. 


Kali ini, pemeriksaan difokuskan kepada badan. Apapun isi kantong harus dikeluarkan. Bahkan yang memakai jam tangan pun, harus dibuka. Setelah dilakukan penelitian yang ekstra cermat, baru diizinkan untuk diambil kembali barang yang dibawa.


Di ruangan ini, bukan hanya sipir rutan yang berdiri tegap dengan pandangan awas. Tetapi juga ada dua orang pegawai kejaksaan dan dua polisi bersenjata laras panjang. Mereka seakan tidak berkedip memandangi kami satu demi satu.


Setelah ke-58 tahanan dinyatakan bersih, barulah pintu utama rutan dibuka. Petugas Kepolisian bergerak cepat. Berdiri di luar pintu. Pun pegawai kejaksaan. Kembali kami dipanggil satu demi satu untuk menaiki mobil tahanan yang telah siap di depan pintu gerbang rutan.


Aris kembali mendapat panggilan pertama, disusul aku dan Dika. Berurutan selanjutnya. Hingga 28 orang. Sisanya sebanyak 30 orang, dinaikkan ke dalam satu mobil tahanan lainnya.


Begitu naik ke mobil tahanan, aku langsung mengikuti Aris yang duduk pada posisi paling depan. Membelakangi pengemudi. Dika juga duduk di tempat yang sama. Namun, karena kapasitas kendaraan tersebut seharusnya maksimal 18 orang, maka yang lainnya terpaksa dipangku oleh tahanan lainnya. 


Tidak berselang lama, suara sirine meraung-raung dari kedua kendaraan yang saat itu telah siap membawa 58 tahanan menuju ke pengadilan. Setelah pintu mobil tempat kami duduk ditutup, enam tahanan wanita, naik. Duduk di bagian belakang. Terpisahkan oleh pintu. Dan kemudian, pintu terakhir dari kendaraan spesial pembawa tahanan itu pun digembok.  


Karena AC mobil tahanan tidak berfungsi, maka dibukalah kaca jendela. Yang dilapisi jeruji besi cukup kokoh. Semilir angin pun merayapi ruangan kendaraan yang penuh sesak itu. 


Dan, dengan kecepatan tinggi disertai suara sirine yang tiada henti, kedua mobil tahanan tersebut meninggalkan kompleks rutan. Laju kendaraan demikian kencang. Tak jarang harus meliuk-liuk untuk keluar dari kemacetan di jalan raya. Sekitar 45 menit perjalanan, sampailah kami di kantor pengadilan.


Saat pintu kendaraan dibuka, petugas kejaksaan langsung mengawal enam tahanan wanita masuk ke dalam sel yang disediakan di kantor pengadilan. Setelahnya, baru pintu kedua untuk kami keluar dari mobil, dibuka.


Sambil menunggu giliran turun dari kendaraan, mataku melihat keluar. Tampak istriku, Laksmi, dan adikku Laksa, tengah berdiri di tepian pilar kantor pengadilan. Menatap ke mobil tahanan yang aku tumpangi.


Aku mendekat ke jendela kendaraan dan melambaikan tangan. Istriku melihat gerakanku. Senyum merekah nan indah langsung tersungging di bibirnya, begitu mengenaliku. Pun Laksa. Melambaikan tangannya ke arahku.


Beberapa saat kemudian, aku pun turun dari kendaraan. Upaya istriku untuk mendekat dan menyalamiku, dihalau pengawal dari kejaksaan yang bertugas di pengadilan. Seperti tahanan yang lain, aku pun langsung digiring ke sel penampungan. Berada di bagian belakang kantor pengadilan.


Setelah berada di dalam sel, baru aku menyadari, ternyata di sekitar tangga yang kami turuni sebelum masuk sel penampungan tadi, banyak keluarga tahanan yang menunggu disana. Ada yang duduk di kursi yang memang tersedia, namun lebih banyak yang berdiri. Termasuk istriku dan Laksa, akhirnya juga bergabung disana.


Tidak berselang lama aku berada di dalam sel penampungan, mataku melihat Laksa mendekati seorang pegawai kejaksaan yang bertugas menjaga tahanan yang akan mengikuti persidangan. Tampak mereka terlibat obrolan serius. 


Beberapa saat kemudian, pegawai kejaksaan itu mendekat ke sel penampungan, dan membuka pintunya. Aku diminta keluar oleh pegawai itu, dan dibawa ke ruangan lain pada bagian belakang. Juga berupa sel tahanan. Berukuran sekitar 4 x 6 meter. Namun kondisinya cukup bersih. Bahkan terdapat kipas angin untuk menjaga kesegaran hawa ruangan.  


Sekira 10 menit kemudian, terdengar suara langkah kaki bersepatu. Aku sangat mengenalinya. Itu tapakan khas istriku. Dan benar saja, istriku Laksmi bersama Laksa, muncul di depan pintu. 


Kami pun langsung berpelukan. Penuh keharuan. Hingga istriku menitikkan air matanya. Badannya bergoyang. Begitu kuat ia mencoba menahan deraan batin yang dirasakannya selama ini. 


“Tetep sabar ya, bunda,” ucapku pelan, sambil terus memeluk dan menciumnya.


Lama kami berpelukan. Ku biarkan istriku menumpahkan bongkahan demi bongkahan derita yang selama ini mengendap di dalam batinnya. Meski ia tidak pernah menceritakan, namun aku mengetahui dengan pasti, betapa selama ini ia merasa terkucilkan dan ikut terhakimi oleh lingkungannya, akibat kasus yang melilitku ini. 


Karenanya, aku amat bangga dengan kepiawaiannya mengelola perasaan selama ini. Tetap tampil tegar, elegan, dan maksimal di dalam menjalankan tugas keseharian sesuai profesinya. Bagiku, istriku Laksmi adalah pengamal pitutur leluhur: sabar lan syukur iku ilmu sing paling angel lakonane, nanging sopo sing iso ngelakonine, kamulyan ganjarane. (bersambung)

LIPSUS