Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 219)

INILAMPUNG
Minggu, 07 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


BEGITU aku dan istri melepas pelukan, Laksa langsung mendekat. Setelah menyalamiku, ia pun memeluk dengan eratnya. Adik istriku yang selalu hadir dalam kondisi keterpurukanku ini, larut pada keharuan saat kami berpelukan. 


“Tetep kuat ya, kak,” ucapnya, setelah kami melepas pelukan. Aku hanya menganggukkan kepala dan memberinya seulas senyum. Pertanda betapa besar makna kehadirannya saat itu.


Kami pun duduk di pilar panjang yang terbuat dari semen berlapis keramik. Istriku mengeluarkan nasi bungkus. Aku langsung makan, sambil kami terus berbincang. 


Banyak sekali bawaan istriku saat itu, yang sudah ia pilah untuk dimakan selama menunggu waktu sidang dan untuk aku bawa ke dalam rutan nantinya.


Di saat kami masih terlibat berbagai pembicaraan, telepon seluler Laksa berbunyi. Ternyata ada kakak istriku dan kakak sepupunya di luar. Laksa bergerak cepat. Tidak lama kemudian, mereka pun masuk ke tempatku menjalani penampungan sebelum mengikuti persidangan. Suasana haru menyelimuti hati kami semua. Sebuah pertemuan yang tidak pernah terbayangkan akan dalam situasi seperti itu.


“Sabar-sabar aja, Mario. Nggak ada pesta yang nggak berakhir. Gitu juga, nggak ada masalah yang nggak ada ujungnya,” kata kakak istriku, menegarkan hatiku.


Aku tersenyum bangga. Kehadiran istri dan orang-orang terdekat, sangat besar artinya untuk memompa kembali semangat jiwaku, yang sesungguhnya memang tengah dalam posisi runtuh.


“Gimana ceritanya kamu bisa dapet tempat khusus gini, Mario?” tanya kakak istriku, beberapa saat kemudian.


“Laksa yang ngaturnya, kak. Aku ikut aja,” ucapku sambil menatap Laksa, yang hanya menanggapi perkataanku dengan memberikan senyuman. 


Sekitar 30 menit aku berbincang bebas dengan istri dan keluarga di ruang sel khusus, dua orang berpakaian dinas kejaksaan, tiba-tiba berdiri di depan pintu. Ternyata mereka adalah jaksa penuntut umum yang menangani perkaraku. Satu orang pria dan satu wanita. 


“Pak Mario siap untuk bersidang kan?” tanya jaksa pria, sambil menatapku dengan serius.


“Siap, pak. Tapi pengacara saya belum dateng. Tunggu sebentar ya, pak,” sahutku.


“Oke. Paling cepet juga sekitar 30 menit lagi kok sidangnya. Hakimnya masih ada sidang juga,” kata jaksa itu, dan beberapa saat kemudian meninggalkan ruangan tempatku berada.


Istriku menghubungi Makmun, pengacaraku, melalui telepon selulernya. Ternyata, posisinya baru masuk kompleks kantor pengadilan. Dan setelah diberi petunjuk oleh istriku keberadaan kami, beberapa saat kemudian pengacaraku bersama timnya, ikut bergabung di dalam ruangan sel khusus yang diatur pemanfaatan fasilitas tersebut oleh Laksa.


Tampak Makmun dan timnya heran saat bisa bertemu denganku di ruangan khusus. Tidak di dalam sel penampungan seperti tahanan lain yang akan menjalani persidangan. Yang hanya bisa berbicara dari balik jeruji besi. 


Namun, keheranan mereka tidak aku pedulikan. Aku lebih ingin mendengar apa langkah yang akan mereka lakukan sebagai pengacaraku.


“Sidang pertama ini hanya mendengarkan jaksa membacakan dakwaan saja. Nanti kita tanggapi melalui eksepsi. Kami telah siapkan langkah-langkah ke depannya,” tutur Makmun, mengurai apa yang akan ia dan timnya lakukan.


“Kami percaya dengan apa yang menjadi strategi pengacara. Silahkan saja. Yang penting lakukan yang terbaik,” kata istriku, Laksmi, menanggapi Makmun.


Seusai berbincang beberapa waktu, Makmun dan timnya keluar ruangan. Mereka memantau waktu sidang untukku di ruangan atas. Tempat persidangan digelar. 


Akhirnya, jadwal sidang untukku pun datang. Seorang pegawai kejaksaan mendatangi ruangan tempat aku, istri, dan keluarga berkumpul. Ia membawa rompi warna merah, untuk aku pakai selama mengikuti persidangan.


Dikawal oleh petugas kejaksaan, aku berjalan sambil terus bergandengan tangan dengan istriku. Diikuti Laksa dan kakak istri serta kakak sepupunya. 


“Ayah, jalannya yang tegap. Tatap ke depan. Jangan menunduk,” bisik istriku, saat kami melangkah menuju ruang sidang.


Saat itu, di sepanjang lorong di dalam kantor pengadilan memang terdapat banyak wartawan yang tengah meliput peristiwa persidangan. Baik yang elektronik maupun cetak. Siapapun tahanan yang akan menjalani persidangan, tidak lepas dari sorot kamera maupun difoto melalui telepon seluler.  


Pegawai kejaksaan yang mengawalku mengajak masuk ke sebuah ruangan. Dan aku beserta keluarga diminta duduk di kursi pengunjung, karena saat itu sedang berlangsung persidangan kasus lain. 


Istriku dan Laksa duduk mengapit posisiku. Yang duduk di kursi paling depan pada bagian pengunjung. Tangan istriku terus memegangi tanganku. Meski perlahan, aku merasakan adanya getaran kegalauan pada istriku. 


Ku rengkuh bahu istriku dengan tangan kiri. Aku tenangkan hatinya. Ku bisikkan kata-kata yang bisa membuatnya terus menjaga ketegarannya. Ia merebahkan kepalanya di bahuku. 


Saat itulah aku menyadari, betapa sesungguhnya istriku sudah begitu lemah kondisi jiwanya. Namun, karena selama ini ia memiliki jiwa yang penuh semangat menggelora, kelemahan tersebut tertutup oleh penampilannya yang selalu tegar, ceria, dan tetap trengginas.


“Bunda itu wanita tertangguh di dunia. Ayah bangga sama bunda. Terus kelola jiwa dan hati serta pikiran bunda dengan baik ya. Banyak orang di luar sana yang pengen bener ngelihat kita terpuruk dan ambruk. Biarkan mereka dengan keinginannya, kita buktikan aja kalau kita nggak selemah dugaan mereka,” ucapku, berbisik ke telinga istriku, Laksmi.


Istriku mengangkat kepalanya dari bahuku. Menatapkan mata indahnya ke mataku. Dalam-dalam. Seakan meminta tambahan sorot ketegaran untuk dirinya.


Ku elus-elus wajahnya dengan pelan dan penuh kasih. Aku meyakini, dengan kelembutan kasih sayang itulah, istriku akan tetap terjaga ketegarannya.      


Persidangan yang tadi tengah berlangsung, telah selesai. Terdakwa meninggalkan ruangan dengan dikawal pegawai kejaksaan. Namun, belum waktunya untuk persidanganku. Majelis hakim memanggil seorang terdakwa lainnya, yang tersangkut kasus narkoba.      


Menyaksikan persidangan demi persidangan, membuat istriku menjadi tidak nyaman. Jiwa dan pikirannya terbawa pada suasana yang jauh dari ketenangan. Apalagi, banyak keluarga terdakwa di dalam ruangan yang tampak menangis. Haru. 


“Kalau bunda nggak nyaman, keluar ruangan aja dulu. Ditemeni Laksa. Nanti kalau ayah mulai sidang, bunda masuk lagi,” kataku, memberi saran.


Tapi istriku menolak. Ia memilih tetap mendampingiku di dalam ruang sidang, sambil menyaksikan pelaksanaan persidangan bagi terdakwa lainnya. Tangan kami terus berpegangan erat. Saling menguatkan. (bersambung)

LIPSUS