Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 220)

INILAMPUNG
Senin, 08 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


PENANTIAN itu pun berujung. Majelis hakim yang terdiri dari tiga orang, memanggilku untuk duduk di kursi pesakitan. 


Di sebelah kananku telah duduk Makmun dan tim pengacaraku, sementara dua orang jaksa penuntut umum, duduk di sebelah kiriku.


Setelah bertanya mengenai kondisi kesehatanku, majelis hakim memastikan identitas pribadi. Proses persidangan pun digelar. Jaksa membacakan dakwaannya, hampir selama 20 menit.


Selepasnya, majelis hakim menanyakan kepada pengacaraku, apakah akan mengajukan eksepsi ataukah persidangan dilanjutkan dengan memasuki tahapan selanjutnya.


“Kami akan mengajukan eksepsi, Yang Mulia,” kata Makmun, dengan tegas.


Atas sikap tersebut, majelis hakim menunda persidangan hingga pekan depan. Pelaksanaan persidangan perdana kasusku pun berakhir. Berlangsung tidak lebih dari 45 menit.


Dengan dikawal pegawai kejaksaan, aku kembali ke ruangan semula. Di sel khusus yang berada pada bagian belakang dari sel penampungan bagi tahanan umum. Beberapa saat setelah kami berbincang, kakak istriku dan kakak sepupu, berpamitan. Tinggallah aku, istriku Laksmi dan Laksa.  


Makmun dan tim pengacara menemuiku. Kami berbincang sekitar 15 menit. Mematangkan langkah-langkah ke depan. Selepasnya, mereka pun berpamitan. 


Sekitar satu jam kami berada di ruangan khusus tersebut, hingga seorang pegawai kejaksaan mendatangi kami. Memberitahu sudah waktunya aku kembali ke rutan.


Setelah berpelukan dengan istriku dan Laksa, aku pun melangkah menuju ke mobil tahanan yang sudah siap di samping kantor pengadilan, sambil membawa dua kantong plastik berisi makanan yang diberikan oleh istriku. Dan seperti biasanya, Laksa juga memberiku sebuah amplop berisi uang dan tiga bungkus rokok.


Puluhan tahanan lain yang sama-sama mengikuti persidangan denganku, masih berada di sel penampungan. Aku diminta naik terlebih dahulu ke kendaraan tahanan, baru yang lain mengikuti.


Aku panggil Aris dan Dika untuk duduk di sebelahku. Di tempat seperti saat kami berangkat ke pengadilan. Tepat di belakang pengemudi. 


“Bang, bekal kita tadi habis kami makan bareng-bareng sebelum sidang,” kata Dika, begitu ia duduk di sebelah kiriku.


“Ya sudah, itu lebih bermanfaat ketimbang kamu bawa balik lagi ke rutan,” sahutku, enteng.


Aku melihat Dika membawa satu kantong plastik berisi makanan, sedang Aris membawa dua tas kecil dari kain.


“Apa isi tas itu, Ris?” tanyaku.


“Makanan sama alat-alat mandi, be. Tadi dibawain anak-anak sama adekku. Sayangnya, istriku belum bisa dateng. Belum kuat jalan atau berdiri lama,” jelas Aris. 


Perlahan, mobil tahanan bergerak. Melalui jendela, aku melambaikan tangan perpisahan kepada istriku dan Laksa yang masih berdiri di dekat kendaraan. Tampak istriku mengusap kedua matanya. Aku tahu, ia menangis. Seandainya saja ia tidak mengharamkanku menangis, pastilah saat itu juga air mata mengucur dari kedua mataku. Akibat begitu menyesaknya rasa di dada ini.


Hampir semua tahanan melambaikan tangannya ke arah keluarga masing-masing yang berdiri tegang menyaksikan kami, yang duduk berjubelan di dalam mobil tahanan. 


Dan setelah mobil berjalan, baru aku memperhatikan, hampir semua tahanan memegang bawaannya masing-masing. Kiriman dari keluarganya. Ada yang di dalam kantong plastik, banyak juga yang hanya dibungkus kertas koran. 


Perjalanan kembali ke rutan, tidak semulus saat menuju kantor pengadilan. Sepanjang perjalanan, kemacetan banyak membuat laju mobil tahanan menjadi tersendat. Karena bersamaan dengan saat banyak pegawai dan karyawan memasuki jam pulang kerja. 


Meski suara sirine terus meraung dari dua kendaraan yang berjalan beriringan, namun baru sekitar satu jam kami sampai kembali ke rumah tahanan. 


Saat mobil tahanan berhenti, terdengar suara adzan Maghrib dari masjid di dalam kompleks rutan maupun dari kawasan perumahan penduduk di sekitar.


Satu persatu kami dibariskan di ruangan P-2-O. Semua barang bawaan ditaruhkan di depan tempat kami berdiri. Dengan cekatan, petugas sipir melakukan pemeriksaan dengan ekstra.


Rokok yang sudah dibuka bungkusnya, disingkirkan. Langsung disita. Makanan yang terbungkus, dibuka. Bahkan, dikorek-korek dalamnya. Untuk memastikan tidak ada barang terlarang yang diselipkan. Peralatan mandi mulai dari sabun, shampo, hingga sikat gigi, juga diperiksa dengan cermat. 


Barang berupa pakaian, ditelisik dengan serius setiap jahitannya. Buah-buahan pun diteliti benar, apakah ada bekas bukaan di kulitnya. 


Setelah selesai dilakukan pemeriksaan barang bawaan, meningkat kepada badan dan barang yang melekat di badan. Buku notes kecil, pulpen, dan kacamata lipatku, tidak luput dari pemeriksaan. 


Bahkan, seorang sipir secara khusus menggunakan alat tersendiri untuk “membaui” ada tidaknya sesuatu yang tersimpan pada barang bawaan yang melekat di badanku itu.  


Seusai ke-58 tahanan dinyatakan bersih, baru satu demi satu kami keluar ruangan P-2-O untuk kembali berbaris di depan kantor rutan. Menunggu beberapa saat, tiga orang sipir didampingi tamping regis, memerintahkan kami untuk membuka alas kaki yang dipakai.


Pemeriksaan badan menjadi prioritas. Barang bawaan yang melekat di badan, seperti cincin, jam tangan, kacamata, ikat pinggang maupun rokok dan korek, termasuk uang, diletakkan di atas kopiah dan ditaruh di depan tempat kami berdiri. 


Setelah masing-masing barang yang ada di dalam kopiah yang ditaruh di tanah berlapis paving block diperiksa dengan cermat, badan kami pun tidak luput dari pemeriksaan. 


Saat memeriksa kopiah Aris yang berdiri di sebelahku, seorang sipir mengambil selembar uang Rp 50.000. Ia memandang Aris dengan tatapan sangar.


“Ini buat aku ya. Buat beli rokok. Bolehkan,” kata sipir itu dengan suara keras. Sehingga hampir semua tahanan yang selesai mengikuti sidang, mendengarnya.


Aris hanya bisa menganggukkan kepalanya. Pasrah. Dan tanpa banyak bicara lagi, sipir itu memasukkan uang tersebut ke kantong celananya. Tanpa rasa sungkan sama sekali. 


Ketika tiba giliran memeriksa kopiahku yang berisi berbagai barang, sipir berusia sekitar 28 tahunan itu, mengambil dua bungkus rokok dari tiga yang merupakan pemberian adikku Laksa.


“Jangan ambil-ambil barang saya, adek sipir. Itu pemberian adek istri saya,” kataku, menegur sipir itu. 


Sengaja aku memanggil sipir itu dengan sebutan adek, bukan hanya untuk meruntuhkan kesangarannya, tetapi juga karena memang usianya terpaut jauh dariku.


Spontan, ia yang sebelumnya berjongkok di depanku karena tengah memeriksa isi kopiah, berdiri. Menatapku tajam. Ada sinar ancaman.


“Kenapa melotot gitu? Mau nakuti atau ngancam saya?” tanyaku, dengan suara mulai meninggi.


“Eh, ngelawan kamu ya. Hak saya mau nyita barang ini. Tahanan itu nggak usah belagu,” sahutnya, dengan pandangan tajam.


Aku tersenyum. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, aku dekati wajahnya. Ku bisikkan kata ancaman dengan pelan kepada dia.


“Pahamkan? Coba aja kalau kamu mau lanjutin ambil rokok itu,” kataku. Kali ini dengan suara keras, agar didengar oleh tahanan lain.


Mendadak, sipir itu kembali menaruhkan dua bungkus rokok yang telah diambilnya, ke dalam kopiahku. Dan ketika ia akan bergerak untuk memeriksa Dika yang ada di sebelah kiriku, aku pegang baju dinasnya.


“Kembalikan uang yang kamu ambil dari Aris tadi. Nggak ada urusanmu main ambil atau minta-minta punya tahanan,” ujarku, dengan memegang kencang baju dinasnya.


Sambil menatapku penuh amarah, sipir itu mengeluarkan uang dari kantong celananya dengan tangan gemetaran, dan langsung diberikan ke tangan Aris. Setelahnya, ia berjalan menjauh. Dan pemeriksaan pun selesai. (bersambung)

LIPSUS