Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 221)

INILAMPUNG
Selasa, 09 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


PINTU gerbang penyekat di samping bagian depan kantor rutan dengan kawasan penahanan, dibuka. Kami 58 tahanan yang baru selesai mengikuti sidang, berjalan dengan tergopoh-gopoh untuk memasuki area steril tersebut, karena mendadak air hujan gerimis turun dari langit.  


Namun, sesampai di depan pos penjagaan dalam, kami diperintahkan oleh sipir yang bertugas di pos tersebut, untuk kembali berbaris. Dan mengikuti penghitungan ulang, sebelum akhirnya diizinkan untuk masuk ke sel masing-masing.


Sesampai di depan kamar, aku melihat Basri dan Dino sedang berbincang dengan seorang sipir di ruang depan. Setelah masuk kamar, menaruhkan beberapa barang yang aku pakai dan pemberian istriku di dekat tempat tidur, aku keluar lagi. Menuju masjid. Untuk solat Maghrib.


Cukup lama aku bersimpuh di sajadah. Pada sudut kanan masjid. Merangkai permohonan ampunan dan perlindungan kepada Sang Maha Segalanya. Tanpa menghiraukan sekeliling, pikiran dan hatiku hanya terfokus pada penyerahdirian seorang hamba kepada Khaliqnya. Hingga suara adzan Isya, menggema. Aku pun melanjutkan mengikuti solat jamaah.


Sekeluar dari masjid, aku melihat Aris berdiri di dekat wartelsus. Ia melambaikan tangannya. Memanggilku. 


“Kasih kabar dulu ke ayuk, be. Ini kartu wartelnya,” kata Aris, begitu aku mendekat.


“Mahal kalau pakai wartelsus ini, Ris. Dua tiga menit aja sudah kepakai pulsanya Rp 10 ribuan. Nanti ajalah, aku pinjem hp sipir,” kataku, mencoba menolak.


“Ini pulsanya baru aku isi Rp 100 ribu, be. Paling juga baru kepakai Rp 30-an ribu. Baru ku pakai buat telepon istri aja. Nggak usah takut kehabisan pulsa,” sahut Aris, dan menaruhkan kartu wartelsus di tanganku.


Setelah mengikuti petunjuk penggunaan kartu yang hanya bisa digunakan di wartelsus rutan, aku pun memencet nomor hp istriku. Sekali terdengar nada panggil, langsung diangkat.


“Bunda, ini ayah,” sapaku.


“Oh ya. Alhamdulillah, ayah sudah sampai rutan ya. Ini pakai nomor siapa lagi,” kata istriku dengan suara riang.


“Pas adzan maghrib tadi, ayah sudah sampai lagi di rutan. Ini telepon pakai wartelsus, dikasih pinjem kartunya sama si Aris. Ya sudah ya, bunda. Terus saling doa ya,” lanjutku.


“O gitu, Alhamdulillah. Ada aja kemudahan buat ayah. Kenapa nggak pakai hp yang dikasih Mika? Kan lebih enak, nggak pakai pulsa orang,” ujar istriku, Laksmi.


“Tadi di kamar lagi ramai. Nggak enak kalau aktifin hp. Nanti ayah koordinasiin dulu sama Dino dan Basri. Juga pegawai penanggungjawab rutan. Biar aman pakai hp dari Mika, kapan aja,” tuturku. Dan menutup gagang telepon.


Sambil mengembalikan kartu telepon ke tangan Aris, aku sampaikan ucapan terimakasih kepada pria yang terjerat kasus korupsi beberapa proyek pembangunan milik pemerintah ini.


“O iya, be. Aku, Dika, dan kawan-kawan yang tadi habis sidang, pada penasaran lo. Sebenernya, apa yang babe bisikin sama sipir tadi itu, kok dia spontan balikin rokok ke kopiah babe, juga mau pulangin uangku. Mana wajahnya kelihatan ketakutan gitu lagi,” ucap Aris, saat kami berjalan meninggalkan lokasi wartelsus untuk kembali ke Blok B.


Sontak, aku tertawa. Ngakak. Sampai badanku berguncang-guncang, karena begitu asyiknya ledakan tawaku. Aris hanya memandangku dengan tatapan penuh keheranan.


“Kok malah ketawa sih, be. Aku seriusan ini tanyanya. Kawan-kawan juga pada penasaran,” ujar Aris, beberapa saat kemudian. Dengan tetap memandangiku.


“Aku bisikin ke telinga sipir tadi; Kalau kamu hisap itu rokok, barangmu nggak bakal bangun. Habis tiga batang aja, kamu langsung impoten,” kataku, masih dengan tertawa ngakak.


“Emang beneran gitu, be?” tanya Aris, sambil mengernyitkan dahinya.


“Ya itu yang aku bisikin ke sipir tadi, Ris. Makanya dia terhenyak gitu. Baru aku terusin omongan lain dengan nada lebih  kenceng, biar kamu dan kawan-kawan  denger,” sambungku, masih dengan tertawa.


Aris pun kemudian tertawa. Bahkan hingga terpingkal-pingkal. Aku rangkul bahu mantan anggota Dewan Yang Terhormat yang juga pengusaha sukses itu, dan kami berjalan menyelusuri selasar dengan sama-sama tertawa. 


“Tapi emang beneran itu ya, be. Kalau ngehisap rokok babe tadi bisa impoten?” tanya Aris, dan menghentikan langkahnya. Tepat di pintu masuk blok.


Aku kembali tertawa seraya menggelengkan kepala. 


“Ya nggaklah, Ris. Mana ada gara-gara ngehisap rokok terus impoten. Ada-ada aja kamu ini,” jelasku, masih dengan tertawa.


“Kok bisa-bisanya babe dapet ide ngomong kayak gitu sama sipir tadi, gimana awalnya?” tanya Aris lagi. Penasaran.


“Ya nggak tahu, Ris. Tiba-tiba aja keluar ide buat ngomong gitu. Sipir itu kan masih umur 28 tahunan, paling juga baru punya anak satu. Pastinya, takutlah kalau barangnya nggak fungsi lagi. Jadi ya aku asal ngomong aja ke soal impoten itu. Nggak kepikir juga sebelum-sebelumnya,” kataku. Kali ini dengan tersenyum.


Seraya menepuk bahuku, Aris kembali tertawa. Dan tidak lama kemudian, kami pun berpisah di ruangan masuk Blok B. Aku meneruskan langkah ke kamar 20, sedangkan Aris berbelok ke kiri, untuk ke selnya. Kamar 12.


Sesampai di kamar, Dino dan Basri tidak ada lagi. Mereka biasanya berkumpul dengan beberapa sipir, sambil berbincang dan bermain kartu. Aku langsung mandi.


Sambil melipat baju dan celana yang tadi aku pakai untuk mengikuti persidangan, selanjutnya memasukkan ke kantong plastik tempat baju kotor, aku panggil Rudy. OD kamar 20 itu ku minta untuk menaruhkan makanan yang dibawakan istriku ke dalam lemari makanan tempatku.  


“Om sudah makan malem?” tanya Rudy, seusai menata kiriman makanan dari istriku. 


“Belum sih, Rud. Tapi belum laper juga. Maleman aja kali ya makannya. Atau kamu sudah laper,” sahutku.


“Kalau Rudy belum laper, om. Ya sudah, nggak apa-apa maleman aja makannya. Tapi harus makan om,” lanjut Rudy.


“Kenapa harus makan gitu,” ucapku, menyela.


“Sebab, tadi Rudy lihat ada lauk ikan lele bakar sambel. Takutnya, kalau nggak dimakan malem ini, besok sudah nggak enak lagi,” jelas Rudy.


“O gitu, ya sudah. Nanti kita makan agak maleman aja ya. Om mau leyeh-leyeh sebentar. Kalau ketiduran, bangunin pas nurut kamu sudah waktunya kita makan,” ujarku, dan menyiapkan kasur untuk merebahkan badan.   


Baru sekitar 10 menit aku merebahkan badan, terdengar suara sepatu berlaras masuk ke kamarku. Pasti seorang sipir rutan. Aku yang selalu menutup mata ketika meluruskan badan di kasur, mendengar dengan jelas dialog antara sipir yang datang dengan Rudy.


“Om Mario baru tidur, pak. Nanti saya sampaiin kalau pak Fani dari sini,” terdengar jelas suara Rudy.


Ternyata Fani, sipir muda berbadan tinggi besar dengan berewok lebat, yang menyambangi kamarku. Ia merupakan teman saat sama-sama kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta, dan selama ini banyak membantuku menjalani hari-hari penuh keterbatasan di dalam rutan.


Sempat terlintas keinginan untuk bangun dan memanggil Fani. Namun, aku tidak mau membuat Rudy kehilangan muka. Karena ia telah memastikan aku tidur. 


Dan memang, beberapa saat kemudian, aku pun terlelap dengan dengkuran sebagai penyenandungnya. Mengistirahatkan badan dan perasaan. (bersambung)

LIPSUS