Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 222)

INILAMPUNG
Rabu, 10 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


TEPAT tengah malam, Rudy membangunkanku. Dengan kondisi masih terkantuk-kantuk, aku pun menikmati makan malam menjelang pagi itu. 


Berlauk dua ekor ikan lele bakar sambel yang dikirim istriku, ditambah telor dadar kocok, tanpa terasa satu piring nasi pun kurang. Sayangnya, tidak bisa menambah nasi.


“Nasinya habis, om. Kalau masih belum kenyang, apa Rudy masakin mie,” kata Rudy, melihat aku belum merasa puas dengan makan saat itu.


“Nggak usah, Rud. Enakan berhenti makan sebelum kenyang,” kataku, mencari alasan.


“Kan emang gitu ajaran Kanjeng Nabi kita, be. Makanlah sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang,” tanggap Rudy, seraya tersenyum.


“Pinter kamu, Rud. Seneng om ngelihat kamu makin cerdas gini,” kataku, sambil menepuk bahu anak muda itu.


“Kan om yang suruh Rudy baca buku-buku yang ada di rak itu. Ternyata emang banyak dapet ilmu lo, om. Soal makan aja, kita harus atur dengan baik,” ujar Rudy lagi.


“Oh ya? Emang apa pengetahuan yang kamu dapet soal makan dari buku yang ada di rak dalem?” tanyaku, tertarik dengan ujaran Rudy. 


“Jadi om, kata Imam Syafi’i, rasa kenyang akan memberati badan, menghilangkan kewaspadaan, mendatangkan kantuk, dan melemahkan pemiliknya dari beribadah,” tutur Rudy dengan terinci. 


“Wuih, hebat kamu, Rud. Bangga om sama kamu. Sudah bisa ingat pengetahuan yang didapet dari baca buku dengan baik. Kamu emang cerdas. Terus asah kemampuan pikiranmu. Isi terus otakmu dengan banyak baca. Inshaallah, ke depan kamu bakal jadi orang pinter dan punya banyak pengetahuan,” ucapku dengan sungguh-sungguh.


“Siap, om. Cuma sebenernya Rudy pengen belajar ngaji lo, om. Baca Alqur’an kayak om gitu. Gimana ya caranya,” kata Rudy, beberapa saat kemudian.


“Kamu ke kamar 8 penaling aja. Minta ajarin sama pak Anas. Dia itu hafal qur’an, Rud. Om juga dimotivasi dia sampai akhirnya bisa rutin baca qur’an ini,” sahutku, memberi saran.


“Siap, om. Nanti Rudy temuin pak Anas. Tinggal ngatur waktu belajarnya, kalau sudah ngobrol sama dia,” kata Rudy.      


Seusai makan, aku keluar kamar. Duduk di taman depan sambil merokok. Rudy membuatkan aku kopi pahit panas. Pada saat bersamaan, tamping waserda yang menjajakan berbagai makanan masuk ke Blok B. 


“Mau makan, om?” tanya tamping waserda. Dengan ramah.


“Baru aja makan. Besok-besok aja pesen makannya,” sahutku, enteng.


Tamping itu meneruskan langkahnya. Dari kamar ke kamar, ia menawarkan jajaannya. Mulai dari nasi ayam bakar, nasi kebuli, pecel lele, sate lontong, nasi sop ayam, hingga bubur kacang hijau, dan roti susu, serta masih banyak lagi lainnya.


Para penghuni rutan yang ingin menikmati makanan yang resminya dagangan para sipir tersebut, tidak diharuskan membayar cash saat menerima makanannya. Bisa dibayar paling lama satu pekan kemudian.


Dan dikenallah penjualan makanan khusus menjelang dinihari hingga subuh itu, dengan sebutan pasdal. Alias pasang dalam. Makan duluan, bayar belakangan. 


Tentu saja, harganya cukup mencekik leher. Rata-rata sampai tiga hingga empat kali lipat dibandingkan harga makanan jika membeli di luar rutan.  


Tetapi, bagi penghuni rutan yang biasa makan menjelang dinihari, atau yang belum makan seharian, tidak ada pilihan. Pasdal itulah solusi satu-satunya. Karenanya, setiap malam setidaknya 900 pcs makanan dengan berbagai menu, selalu ludes dijajakan pada tiga blok di rutan yang berisikan sekitar 1.300 tahanan tersebut. 


Di saat aku masih menerawang serta mengakui kecerdikan sipir yang berusaha sampingan dengan berdagang ala pasdal, seorang sipir masuk ke kompleks kamar tahanan. Langkah kakinya bersepatu laras, begitu kencang. Di tengah kesunyian rutan. Ternyata, Fani yang datang.


“Sudah bangun, bang. Tadi aku ke kamar, abang barusan tidur,” kata dia, begitu menyalamiku dan duduk di taman. Di sebelahku.


“Iya, tadi Rudy bilang kamu habis ke kamar. Kecapekan setelah ke pengadilan tadi, jadi langsung blek-sek,” sahutku.


“Gimana sidangnya tadi, bang?” tanya Fani, sambil menaruh dua bungkus rokok ke dekat cangkir kopiku.


“Wah, kamu ini ngasih rokok terus lo, Fani. Abang nggak pernah kasih kamu apa-apa selama ini. Alhamdulillah, sidangnya lancar. Cuma jaksa bacain dakwaan aja. Nggak sampai 45 menit selesai. Minggu depan dilanjut lagi. Penyampaian eksepsi dari pengacara abang. Yang lama itu proses berangkatnya, nunggu dipanggil sidang, sampai pemeriksaan pas baliknya di rutan,” kataku, mengurai.


“Emang itu yang buat capek, bang. Persiapan mau ke pengadilan sampai masuk lagi ke rutan. Tapi, ya itulah yang harus abang jalani. Dibawa santai dan enteng-enteng aja, biar nggak buat kesel,” tanggap Fani, sambil tersenyum.


Aku menawari Fani untuk dibuatkan kopi oleh Rudy. Namun, sipir muda itu menolak dengan halus. Ia membuka jaket tebalnya, mengeluarkan tempat minum sendiri. Yang sudah ia siapkan sejak dari rumah.


“O iya, bang. Tadi aku denger cerita dari kawan-kawan. Katanya, abang sempet bersitegang sama sipir ya, waktu pemeriksaan pulang dari pengadilan,” ucap Fani, beberapa saat kemudian.     


Aku pun menceritakan secara detail apa yang terjadi pada saat aku dan 57 tahanan lainnya kembali dari pengadilan. Tanpa menambah atau mengurangi. 


Aku merasa perlu menyampaikan apa adanya kepada Fani, karena ia salah satu sipir yang selama ini sangat memperhatikan kehidupanku di rutan. Aku tidak ingin, ia memperoleh informasi yang setengah-setengah, apalagi menyesatkan. 


“Oalah, gitu ceritanya, bang. Kok dia bilang kalau abang ngancam dia ya,” tanggap Fani, setelah mendengar ceritaku.


“Emang dia cerita apa, Fani?” tanyaku, dengan nada meninggi, karena ada rasa penasaran.


“Nggak apa-apa kok, bang. Ya sudah, nggak usah dimasalahin lagilah, bang. Namanya juga sipir baru, mana anaknya petinggi di kanwil. Jadi ngerasa paling gagah. Banyak juga, sipir senior yang nggak suka sama anak itu. Cuma, ya nggak bisa ngomong apa-apa, karena mandang bapaknya aja,” tutur Fani, beberapa saat kemudian.


Seorang sipir lain tampak masuk ke Blok B. Setelah dekat, baru aku mengenalinya. Ia adalah komandan pengamanan rutan yang sejak awal aku masuk rutan, telah membantuku.


“Selamat pagi, Dan,” kataku, menyapa.


“Pagi juga. Wah, lagi asyik cengkrama sama Fani ya, pak,” sahut komandan pengamanan rutan, seraya menyalamiku dan duduk di kursi taman juga.


Kami bertiga akhirnya terlibat perbincangan ringan penuh canda tawa. Tanpa menyentuh sedikit pun kehidupan di dalam rutan. Rudy membuatkan kopi manis untuk komandan pengamanan rutan. Serta mengeluarkan satu bungkus roti dari lemari tempat penyimpanan makananku. 


Saking asyiknya bercengkrama, kami tidak menyadari bila telah beberapa jam duduk santai di taman depan kamarku. Sampai terdengar suara mengaji dari masjid. Pertanda sebentar lagi waktu solat Subuh. Komandan pengamanan rutan dan Fani pun berpamitan. Kembali ke pos jaganya. 


Seusai merapihkan meja taman, aku langsung ke kamar mandi. Wudhu. Rudy juga bersiap untuk ikut jamaahan di masjid. Saat aku keluar kamar, terdengar gembok kamar 25 dibuka. Dan keluarlah bupati yang tengah menjalani penahanan dari selnya. Juga akan jamaahan solat Subuh.


“Assalamualaikum, bang Mario. Sehat terus ya,” sapa pria muda berstatus bupati itu, dengan ramah.


“Waalaikum salam, bos. Alhamdulillah. Bos juga sehat ajakan,” sahutku, seraya menyalaminya dengan hangat.


“Alhamdulillah. Yang penting saling doa ya, bang. Inshaallah, doa kita diijabah Allah,” lanjutnya. Sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit.


Kami pun berjalan berdampingan menuju masjid, yang berjarak sekitar 300 meter dari pintu utama Blok B. Sesampai di rumah Allah, aku, Rudy, dan bupati muda itu, melakukan prosesi peribadatan sendiri-sendiri, sebelum solat berjamaah. (bersambung)

LIPSUS