Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 223)

INILAMPUNG
Kamis, 11 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


SEPERTI biasanya, seusai jamaahan Subuh, imam solat menyampaikan kultum. Kuliah tujuh menit. Dengan suara beratnya, pria berusia 50 tahunan yang berstatus napi kasus penggelapan itu, menyampaikan tausiyahnya.


Ia menekankan perlunya sebagai makhluk, kita semua hanya bersandar kepada Sang Khaliq. 


“Barang siapa yang bersandar kepada hartanya, ketahuilah bahwa sewaktu-waktu ia akan miskin. Siapa yang bersandar kepada kedudukannya yang tinggi, sadarilah jika sewaktu-waktu ia akan hina,” tutur pria yang dikenal sebagai tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi tersebut.


Ia melanjutkan, barang siapa yang bersandar kepada akal dan kepintarannya, maka ia akan tersesat. Namun, siapa yang bersandar hanya kepada Allah, maka ia tidak akan pernah miskin, hina dan tersesat.


Pria setengah baya yang telah menjadi penghuni rutan selama satu tahun lebih ini, menambahkan kultumnya dengan lima tanda ketika Allah akan menaikkan derajat seseorang. 


“Yaitu, kita akan menghadapi banyak masalah secara bertubi-tubi, akan mengalami kesedihan yang berlarut-larut, akan dijauhkan dari orang-orang terdekat, dan akan menjadi gunjingan semua orang, serta setelahnya kita akan merasakan anugerah dari segala ujian yang telah diberikan dan dinaikkan derajat kita oleh Allah,” urai imam solat Subuh di masjid rutan tersebut.


Ia menambahkan, dengan meneliti kelima tanda-tanda Allah akan menaikkan derajat seseorang itu, maka berada di dalam penjara adalah proses panjang, melelahkan, dan menyakitkan, yang memang harus dijalani.


“Tetaplah sabar, tenang, dan ikhlas. Semua ini sudah takdir Allah. Soal kesalahan kita semua di dunia, itu adalah dosa yang memang harus ditebus di tempat ini. Lebih baik menebus dosa di dunia daripada nanti sudah di akherat. Karena kita bisa bertaubat dan perbaiki diri ke depannya. Yang pasti, jangan pernah kita semua meragukan kuasa Allah. Sebab, kita hidup atas kehendak-Nya,” lanjut ustadz pemberi kultum.


Mengakhiri kultumnya pagi itu, pria yang selalu berpenampilan rapih ini mengatakan, siapa yang memuliakanmu, muliakanlah dia, dan siapa yang merendahkanmu, muliakanlah dirimu dengan tidak merendahkannya. 


“Dan, janganlah kita menambah musuh. Cukup dua saja, yaitu setan dan hawa nafsu. Musuh ini saja sulit ditaklukkan, apalagi bertambah dengan memusuhi sesama kita,” tuturnya, dan menutup kultum.


Setelah penyampaian kultum selesai, baru aku meninggalkan masjid. Saat aku masih berjalan berdampingan dengan Rudy, tiba-tiba ada panggilan. Aku menengok ke belakang. Ternyata sang bupati yang memanggilku.


“Tunggu dulu, bang. Berangkat ke masjid bareng, baliknya ya barenglah. Jangan setinggalan,” katanya, sambil tersenyum.


“Maaf, bos. Kirain tadi bos mau lanjut zikiran dulu di masjid,” ucapku, yang menghentikan langkah.


“Enakan zikir di kamar aja, bang. Begitu ngantuk, langsung tidur,” kata pria berwajah tampan dengan jabatan mentereng itu.


“Maaf, bos. Kalau kata filosof Jalaluddin Rumi: angin saat fajar memiliki rahasia untuk memberitahu kita, jangan kembali tidur,” mendadak Rudy menyela.


Aku dan sang bupati spontan berpandangan. Mengagumi perkataan Rudy yang baru saja diucapkan. 


“Rudy, kamu tahu dari mana filosof terkenal itu bicara begitu?” tanya sang bupati yang biasa disapa Bos.


“Dari baca buku, bos. Di kamar kami kan banyak buku. Disuruh om Mario, setiap hari Rudy wajib baca buku minimal satu judul. Makanya, nambah pengetahuan Rudy sekarang ini,” sahut Rudy, seraya menebar senyumnya.


“Hebat kamu, Rudy. Terus baca buku yag ada sampai habis. Nanti ke kamarku setelahnya. Banyak buku juga di kamarku, silahkan kamu baca,” tanggap sang bupati dengan senyum penuh keceriaan.


“Terimakasih banyak sebelumnya ya, bos. Tapi paling cepet Rudy pinjem buku bos sekitar dua bulan ke depan. Sebab masih banyak buku di kamar yang belum Rudy baca. Apalagi disuruh om Mario, ketemu pengetahuan yang penting, catet di buku harian. Jadi banyak nyalin juga Rudy ini,” kata Rudy dengan panjang lebar.


Sang bupati memandang ke arahku. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, kembali ia menunjukkan senyum manisnya. Setelah sampai di selasar lokasi kamar, kami pun berpisah. Sang bupati berbelok ke kiri untuk menuju kamarnya, aku dan Rudy ke arah kanan. Juga menuju ke kamar. 


Usai menaruhkan kain sarung dan kupluk, aku ingin kembali merebahkan badan. Namun, suara dengkuran Dino dan Basri yang demikian kencang, membuatku kurang nyaman untuk memulai memejamkan mata kembali. 


Akhirnya aku keluar kamar, dan berolahraga di lapangan. Berjalan mengelilingi lapangan hingga 15 kali. Dilanjutkan dengan mengangkat barbel di Blok C. Bergantian dengan beberapa penghuni blok tersebut.


Matahari yang semakin meninggi, menguatkan sorotnya. Kian panas. Membuat keringat badanku mengucur deras. Ketika menyelusuri selasar antar-blok untuk kembali ke Blok B, sebuah suara memanggilku dengan kencang dari arah kantin. Ternyata, Iyos yang meneriakiku.


Pria berusia 35 tahunan yang tersangkut kasus penadahan telepon seluler curian itu, melambaikan tangannya. Memintaku ke kantin juga. Mengingat kedekatan hubungan kami sejak sama-sama menjalani penahanan di polres dalam satu kamar, aku pun memenuhi permintaannya.


“Babe mau sarapan apa? Aku lagi mau milih ini,” kata Iyos, begitu aku mendekatinya.


“Lontong sayur ajalah, Yos. Sama air mineralnya sekalian,” sahutku. Pendek. 


Aku dan Iyos duduk di kursi depan kantin sambil menikmati sarapan. Mengarah ke lapangan. Semilir angin yang cukup kencang, seakan mengaburkan terik sorot matahari. 


Sementara, puluhan penghuni rutan masih asyik berolahraga. Ada yang jogging mengelilingi lapangan, tidak kalah banyak yang memilih menggerakkan badan sekadarnya di lapangan volly.


Tiba-tiba Iyos menggerakkan tangannya. Mengarah ke lapangan. Sambil tersenyum.


“Apa, Yos?” tanyaku, yang masih asyik terus menikmati sarapan lontong sayur.


“Itu si Aris, Dika, sama Yan. Nekat amat panas gini olahraga nggak pakai kaos,” ujar Iyos. Menjelaskan arah gerakan tangannya. 


Aku pun menengok ke arah lapangan yang cukup luas itu. Memang ada tiga orang yang sedang jogging tanpa memakai baju atasan. Itulah Aris, Dika, dan Yan. Penghuni kamar 12 penaling. Yang semuanya kenal baik dengan aku dan Iyos.


“Teriakin aja, Yos. Biar mereka kesini,” kataku.


Tanpa menunggu lama, Iyos meneriakkan suaranya dengan kencang. Memanggil Aris. Dan ampuh. Aris langsung menengokkan wajahnya. Pun Dika dan Yan. Melihat Iyos sedang sarapan denganku, ketiganya menghentikan kegiatan joggingnya.


“Inilah babe, sarapan nggak ngajak-ngajak,” ujar Aris, setelah mendekat ke tempat duduk aku dan Iyos di pelataran kantin bagian depan.


“Gimana mau ngajak, Ris. Aku aja diajak sama Iyos,” kataku. 


Setelah Aris duduk di sampingku, Dika dan Yan masuk ke dalam kantin. Memesan sarapan juga. Kami berlima menikmati makan pagi dengan pilihan menu sesuai selera masing-masing.


“Kalian ini aneh, jogging sudah siang dan panas gini, nggak pakai kaos,” ujar Iyos, sambil menatap Aris, Dika, dan Yan.


“Sengaja, Yos. Biar cepet keringetan. Lagi agak flu, jadi perlu penghangatan badan menyeluruh,” kata Aris, dengan enteng.


“Tapi kalau kita lagi makan, ya dipakailah kaosnya. Bau badan kalian lebih sedep dari lontong sayurku,” ujarku, sambil tertawa.


Dengan melepaskan tawa, Aris, Dika, dan Yan pun spontan memakai kaos yang sebelumnya diikatkan pada badan masing-masing. 


Kaos yang dipakai Aris menarik perhatianku. Karena terdapat gambar wajah seorang pria sedang menunduk, dengan tulisan di bagian bawahnya: Don’t forget the past, learn from it. Jangan lupakan masa lalu, belajarlah darinya. (bersambung)

LIPSUS