Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 224)

INILAMPUNG
Jumat, 12 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang

   

PESEN dimana kaos dengan tulisan gitu, Ris?” tanyaku, tidak bisa menahan rasa penasaran.


“Buatnya di bimgiat. Kalau kaosnya kita yang siapin, be. Gambar atau kata-katanya, kita juga yang siapin. Murah kok, sekali sablon cuma Rp 10 ribu,” ujar Aris, seraya melihat gambar dan untaian kata penuh makna yang ada pada bagian depan kaosnya.


“Maksudnya, nyablon di ruangan bimbingan dan kegiatan di rutan ini?” tanyaku lagi.


“Ya iyalah, be. Masak mau buat di lapas. Nggak mungkin juga kan,” Aris menyela, seraya tertawa.


“Aku kan nggak paham, kalau di bimgiat atau bimker juga bisa nyablon kayak gini. Maklum, aku kan nggak suka keluyuran kayak kalian,” sahutku, juga sambil tertawa.


“Nah, ini yang terbalik. Babe yang selama ini tinggal di kamar terbuka, malah bilang nggak pernah keluyuran. Kita yang sehari cuma dua jam setengah dibuka kamar aja, bisa kemana-mana. Sebenernya, yang salah itu kita yang emang suka ngeluyur, apa babe yang kuper ya,” kata Iyos, menimpali.


Spontan kami berlima pun tertawa bersama. Kebersamaan di dalam situasi terkungkung dengan keterpurukan semacam ini, memang sangat berarti. Meski aku menyadari, setelah tawa pasti ada sedih. Seperti juga selepas pagi akan hadir siang, bergeser lagi ke petang, diikuti malam. Dan terus berputaran. 


“O iya, be. Aku sama Dika mau tanya. Gimana ceritanya, waktu di pengadilan kemarin, babe bisa kumpul sama keluarga di ruangan tersendiri. Nggak bareng-bareng sama kami yang ngumplek di sel penampungan, berjubelan kayak ikan teri yang nggak laku dijual,” kata Aris, beberapa saat kemudian.


“Nah, aku sendiri nggak paham, Ris. Tahu-tahu, pegawai kejaksaan yang jaga waktu itu, ngajak aku ke ruangan belakang. Nggak lama itu, dateng istri sama adekku Laksa,” jawabku. Enteng.


“Tapi pasti ada pengaturanlah ya, bang,” Dika menyela.


“Ya pastinya gitu, Dika. Adekku Laksa kayaknya yang ngelobi pegawai waktu itu. Tapi emang lebih enak sih di ruangan sendiri gitu. Bisa ngobrol bebas sama keluarga. Pengacaraku juga dateng kesana,” kataku lagi.


“Berapa biayanya ya, be?” tanya Aris, dengan wajah serius.


“Nggak paham aku, Ris. Yang penting kan sama-sama ngehargai aja. Toh, pola saling menguntungkan itulah ujung semua permainan di dunia ini,” lanjutku.


“Apa ada tarifnya kali ya, be,” kata Aris lagi.


“Kalau netepin tarif, pungli namanya, Ris. Nggak bakal pegawai jaga tahanan di pengadilan mau kayak gitu,” ujar Yan, menyela. 


Tiba-tiba seorang tamping regis mendatangi kami. Memberitahu Aris, Iyos, dan Yan mendapat besukan. Spontan mereka berdiri dengan wajah cerah ceria. Hari lebaran bagi tahanan yang didatangi keluarganya. 


Bergegas mereka kembali ke kamar, untuk memakai kaos wajib. Bertuliskan WBP. Warga binaan pemasyarakatan. Dan selanjutnya menuju ke ruang besukan. Pada bagian belakang kantor rutan. 


“Kamu nggak ada besukan, Dika?” tanyaku kepada anak muda low profile itu, saat kami berjalan meninggalkan kantin untuk kembali ke blok tempat penahanan.


“Nggak tahu, bang. Kata paklek waktu ketemu sidang kemarin sih, secepetnya mau dateng. Bawain sepatu buat hadir sidang lanjutan nanti. Tapi, apa hari ini dia dateng atau besok, Dika nggak paham,” jelas Andika, nama lengkapnya. 


Aku menangkap, ada nada sedih dalam perkataan Dika. Karena di alam semesta ini, ia hanya memiliki keluarga yang terdiri dari paklek, bulek, dan adik sepupunya saja.


“Ya sudah, nggak usah jadi pikiranmu, Dika. Kalau pun paklekmu belum dateng hari ini, bisa aja besok atau lusa. Mereka yang di luar kan banyak kesibukan. Beda sama kita yang di dalem, kerjaannya cuma makan tidur aja,” sahutku, mencoba menepis kesedihan yang menyeruak di hati Dika.


“Inshaallah, mental Dika mah sudah teruji, bang. Nggak bakal baperan, apalagi sampai terpuruk. Urusan dunia penjara ini cukup sampai ke pikiran aja, nggak Dika masukin perasaan,” ujar Dika sambil menatapku.

 

“Syukur kalau gitu sikapmu, Dika. Abang khawatir kamu drop aja karena keberatan beban perasaan,” tanggapku. 


“Tenang aja, bang. Dika yakin, seseorang yang mampu bangkit setelah jatuh adalah orang yang lebih kuat dibanding yang tidak pernah jatuh sama sekali. Jadi, Dika pasti bangkit lagi. Karena selama ini Dika sudah kuat, dan dengan kejadian ini, pasti makin kuat lagi,” ujar Dika dengan nada tegas. Khas anak muda yang bergelora.


Setelah memasuki pintu Blok B, aku dan Dika pun berpisah. Menuju ke kamar masing-masing.  Seusai mandi dan berganti pakaian bersih, aku duduk di taman. 


Ditemani secangkir kopi pahit dan rokok, aku terlibat perbincangan dengan pak Sibli dan Ino. Beberapa tahanan lain yang akan ke ruang besukan, sempat menyapa kami. 


Dan setiap kali ada tahanan yang akan keluar blok untuk menuju ruang besukan, tampak Ino menarik napasnya panjang-panjang.


“Kamu kenapa, Ino?” tanyaku.


“Nggak apa-apa, be. Ngenes aja hatiku kalau ngelihat kawan-kawan mau ketemu keluarganya,” aku Ino dengan polos.


“Emang sudah berapa lama kamu nggak dapat besukan?” tanya pak Sibli, sambil memandang wajah kawan satu kamarnya itu.


“Sejak aku masuk sini, pak. Terakhir istri dan adikku nemuin, waktu aku masih ditahan di polda. Begitu pelimpahan ke rutan sampai sekarang sudah setahun lebih, mereka nggak pernah dateng,” urai Ino. Suaranya mendayu. Penuh rasa pilu.


“Tapi kamu tetep bisa komunikasi kan sama istri dan keluargamu?” tanyaku lagi.


“Alhamdulillah masih, be. Aku yang telepon mereka lewat wartelsus. Tapi ya jarang juga. Paling sebulan dua kali aja. Kalau sudah pas kangen-kangennya,” tutur pria bertubuh tambun yang tersangkut kasus penadahan pasir kuarsa tanpa izin ini.


Aku dan pak Sibli saling berpandangan. Kami memahami benar apa yang dirasakan oleh Ino. Pengusaha sukses yang menggeluti bisnis material bangunan tersebut, memang kondisinya sangat memprihatinkan. 


Sesungguhnya, jiwa Ino selama ini menangis. Hanya saja, ia mampu menutupinya dengan pembawaan lahiriyah yang selalu tenang dan tetap tercuatkan senyum di bibirnya. Benarlah perkataan banyak orang, terkadang sebegitu kejamnya orang membuat kita jatuh, tapi semesta punya cara sendiri untuk membuat kita tangguh. (bersambung)

LIPSUS