Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 225)

INILAMPUNG
Sabtu, 13 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


PERBINCANGAN kami terhenti saat datang seorang pegawai rutan. Penanggungjawab Blok B. Setelah menyalaminya, aku mempersilahkan ia duduk di kursi taman. Tepat di depanku.


“Kemarin sudah mulai sidang ya, om,” kata pegawai rutan itu.


“Iya, Alhamdulillah sudah mulai sidang, pak. Dilanjut minggu depan, penyampaian eksepsi,” sahutku.


“Ikuti aja sidang dengan santai, om. Nggak perlu keukeuh-keukeuh amat dengan prinsip yang kita yakini kebenarannya. Jaga kesopanan waktu sidang. Jangan sampai kena pasal jengkel,” lanjut pria berusia sekitar 38 tahunan itu dengan serius.


“Maksudnya pasal jengkel itu gimana, pak?” tanyaku, tidak paham.


“Gini lo. Om kan didakwa dengan pasal 372 dan 378. Jelas kan ancaman hukumannya. Tapi, kalau majelis hakim ngerasa kesel waktu persidangan karena jawaban atau tindak-tanduk om yang tidak sopan, bisa aja dia nambah pasal lain. Itulah yang disebut pasal jengkel. Banyak yang kena pasal jengkel ini akhirnya malah divonis sesuai ancaman maksimalnya,” pegawai rutan itu mengurai.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Memahami apa yang disebut dengan pasal jengkel tersebut. Yang sepenuhnya menjadi hak majelis hakim untuk menggunakan atau tidaknya. 


Sesaat kemudian, aku memberi isyarat kepada pak Sibli dan Ino untuk meninggalkan kami berdua. Kedua napi yang sudah cukup lama menjadi penghuni rutan itu, cepat merespon isyaratku. Setelah bersalaman, mereka pamit kepada pegawai rutan penanggungjawab Blok B yang sedang bersamaku.


Saat itulah aku sampaikan mengenai keberadaan telepon seluler di kamarku pemberian dari Almika.


“Mohon petunjuknya, pak,” kataku melanjutkan penyampaian.


“Nggak apa-apa. Gunakan saja, om. Yang penting di dalam kamar. Semaksimalnya, hindari orang lain tahu waktu om telepon. Soal lain-lainnya, coba atur aja sama Dino dan Basri,” ujar penanggungjawab blok tersebut.


“Terimakasih petunjuknya, pak. Segera saya tindaklanjuti dengan koordinasi sama Dino dan Basri,” sahutku, dan menyalaminya sebagai ungkapan terimakasih.


Beberapa saat kemudian, pegawai rutan itu meninggalkan tempat duduknya di taman depan kamarku. Berjalan mengecek setiap kamar di Blok B. 


Tidak lama berjalan, aku dengar ia menyampaikan teguran keras kepada penghuni kamar 18, karena menjemur pakaian dengan cara digantungkan di jeruji besi.


Pegawai rutan itu berteriak keras, memanggil tamping pemegang kunci. Sang tamping berlari lintang pukang menuju ke arah penanggunjawab blok, dan dengan gerakan cepat membukakan gembok pintu kamar 18.


“Kalau ada yang minta bukain pintu buat jemur pakaian, cepet bukain. Apa guna sudah dibuatin tempat jemuran memanjang gitu kalau masih ada yang jemur di jeruji besi,” kata pegawai itu dengan nada tinggi, sambil tangannya memukul kepala tamping pemegang kunci.


“Siap salah, Dan,” jawab tamping pemegang kunci, seraya mengelus-elus kepalanya seusai terkena pukulan penanggungjawab blok.


Melihat kejadian tersebut, aku yang masih duduk santai di kursi taman, hanya bisa tersenyum. Banyak cara memang yang dimainkan para sipir untuk membina penghuni rutan. Gaya pendekatannya pun sesungguhnya cukup humanis. Ada proses pembinaan yang terukur. 


Namun, akhir dari proses itu semua, acapkali tetaplah berujung kepada pembinaan berupa kekerasan fisik. Yang memang menjadi ciri khas dunia penjara di seantero dunia ini.   


Tamping kunci mendekat ke tempat aku duduk. Ia berbisik, ada pesan dari Heru di kamar 18. Tahanan kasus cyber itu minta dikeluarkan dari kamar. Karena ada yang akan dibicarakan denganku. 


“Kenapa aku yang dia minta buat ngeluarinnya. Kenapa nggak kamu langsung aja, kan kamu yang pegang kuncinya,” kataku kepada tamping kunci, yang duduk di sampingku.


“Biasalah, pakde. Kalau mereka-mereka tahanan biasa yang minta bukain pintu, kan ada upahnya buatku. Karena mereka nggak mau kasih aku apa-apa, maka minta tolong pakde buat keluarinnya,” tutur tamping kunci itu, apa adanya.


“Emang ada keharusan kasih ke kamu ya? Berapa emangnya, atau kasihnya berupa apa?” tanyaku, dengan cepat.


“Ya saling ngerti ajalah, pakde. Aku jadi tamping kunci juga kan bayar. Wajar dong kalau aku juga mikirin balik modal dan dapet keuntungan,” ucap tamping kunci itu lagi, sambil tersenyum. 


“O gitu, terus kamu bayarnya berapa buat jadi tamping kunci ini? Bayar ke Dino sama Basri ya?” tanyaku lagi.


“Aku bayar Rp 3 juta, pakde. Ya iyalah, kasih uangnya ke om Dino sama om Basri. Mereka kan kepala blok tahanan disini. Soal kasih apa ke aku, ya terserah aja sih sebenernya. Tapi rata-rata kasih uang, antara Rp 5 sampai Rp 10 ribu sekali bukain pintu kamar buat satu orang,” tamping itu mengurai.


“Wah, untung gede dong kamu selama ini,” kataku, menyela.


“Alhamdulillah, pakde. Sebulan jadi tamping kunci, modalku sudah balik. Tiga bulan belakangan ini, ya itung-itung keuntunganlah. Cukup buat makan dan rokok. Yang penting, sudah nggak tergantung sama kiriman orang rumah lagi. Bahkan, sedikit-sedikit bisa kasih uang jajan buat anak,” ujar tamping kunci berusia 32 tahunan itu.


“Sekarang aku tanya, kenapa kalau aku yang minta bukain pintu, kamu nggak minta aku kasih uang ke kamu,” ucapku, dengan memandang wajah tamping tersebut.


“Pakde kan tinggalnya di kamar terbuka. Kamar kepala blok. Nggak mungkinlah aku atau tamping apapun berani minta ini itu sama pakde. Bisa-bisa kami malah kena hajar nganggur sama om Dino dan om Basri,” tuturnya dengan polos.


“Emang Dino sama Basri bilang apa ke kawan-kawan tamping?” tanyaku, penasaran.


“Mereka bilang, jangan sesekali minta apapun atau nyenggol pakde, kalau nggak mau kena hajar. Mereka juga ngomong gitu sama semua kepala kamar di blok kita ini. Jadi, pakde itu mau bertingkah apa aja sebenernya ya tetep aman. Apalagi selama ini pakde kan nggak banyak omong dan nggak banyak ulah. Malah buat kami segen, walau sekadar buat negor aja,” kata tamping itu lagi dengan panjang lebar.


“Kapan Dino sama Basri bilangin soal aku ke kawan-kawan,” kataku lanjut.


“Sudah lama sih, pakde. Ya, kira-kira sehari setelah pakde masuk kamar forman itulah. Sekamar sama om Dino dan om Basri,” jelas dia, sambil mengernyitkan dahinya, mengingat-ingat waktu yang aku tanyakan.


Mendengar penjelasan tamping kunci itu, aku istighfar di dalam hati. Selama ini, karena ketidakpeduliannya terhadap kehadiranku di kamarnya, prasangka buruk kepada Dino dan Basri pun begitu melekat di dalam hati dan pikiranku. Ternyata, dibalik sikap acuhnya, mereka sejak awal telah memayungiku dengan sungguh-sungguh. Menjaga keamananku di blok yang mereka kuasai.  


“Kok pakde ngelamun? Heran ya, om Dino sama om Basri diem-diem jagain pakde,” kata tamping kunci itu, yang langsung membuyarkan lamunan pikiranku.


“Ya, heran nggak heran sih. Cuma emang nggak nyangka aja, sampai sebegitunya mereka ngomong ke kawan-kawan,” ucapku, beberapa saat kemudian. 


“Waktu masuk sini sampai tiga bulan awal, aku juga emang banyak sakit hati sama gaya om Dino sama om Basri kok, pakde. Yang jarang ngomong dan lebih sering main hajar. Tapi lama-kelamaan, aku paham, ya itulah gaya mereka. Yang aku hormati, kalau ngejaga kawan, mereka tahan pasang badan,” jelas tamping itu.


“Oh ya. Terus manfaat apa yang kamu dapetin dari gaya mereka itu?” tanyaku, makin penasaran.


“Apa ya. Bingung juga aku, pakde. Yang aku inget, pas mahami gaya om Dino sama om Basri, jadi keinget sama omongan bapak mertuaku,” ujarnya.


“Emang apa omongan bapak mertuamu?” tanyaku dengan cepat.


“Kata dia, kalau ada orang berlaku buruk, jangan sedikit pun kamu memandangnya rendah. Karena mungkin orang itu punya satu keburukan yang tampak, tapi punya ribuan kebaikan yang tersimpan,” kata tamping itu, dengan tersenyum. (bersambung)

LIPSUS