Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 226)

INILAMPUNG
Minggu, 14 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


BIJAK betul omongan bapak mertuamu itu. Emang apa kerja dia?” kataku kepada tamping kunci, yang masih duduk di kursi taman bersamaku.  


“Bapak mertuaku itu bandar narkoba, pakde. Sekarang juga lagi ditahan. Bahkan dapet vonis SH,” jawab tamping itu, dengan enteng.


“Maksudnya SH itu apa?” tanyaku.


“SH itu maksudnya seumur hidup, pakde. Jadi sampai dia mati, baru bisa dibawa keluar lapas. Itu juga kalau keluarga mau makaminnya. Kalau nggak, ya orang lapas yang nguburin. Sudah nggak kebayang bakal ketemu dia lagi, karena ada di Nusakambangan sana sejak dua tahun lalu,” ujar tamping itu, dengan suara santai.


“O gitu, prihatin juga aku dengernya. Padahal, kayaknya bapak mertuamu itu orang bijak,” kataku lagi.


“Emang bijak, pakde. Nggak pernah marah atau nyalahin orang. Baik bener bahkan. Nggak pelit juga. Banyak yang sudah dia bantu. Mulai pesantren sampai masjid-masjid. Apalagi, kalau ada tetangga yang kesusahan, tahan dia jual barang buat bantu. Makanya, pas ketahuan kalau ternyata selama ini bapak mertua itu bandar narkoba, banyak orang nggak percaya. Karena pembawaannya emang kalem, nggak banyak ulah, kerjaannya cuma keluar rumah beberapa jam atau ngurung diri di kamar aja,” tamping itu mengurai panjang lebar perilaku bapak mertua yang tampaknya sangat ia kagumi.


“Berarti emang jago bapak mertuamu itu nyimpen apa yang dia lakuin selama ini,” tanggapku, polos.


“Bener itu, pakde. Ibu mertuaku aja nggak tahu kalau kerjaan bapak jadi bandar narkoba selama ini. Cuma emang, seminggu sekali dia keluar rumah beberapa jam. Pulang-pulang pasti bawa kantong plastik warna hitam isinya penuh gitu. Belakangan baru kami tahu, ternyata yang di dalam kantongan, uang hasil jualan narkoba yang jadi jatah dia,” lanjut tamping kunci yang berpembawaan ceria itu.


“Tahunya ibu mertuamu, apa kerjaan bapak selama ini?” tanyaku, tertarik dengan ketertutupan bapak mertua tamping kunci tersebut.


“Ibu tahunya bapak itu kepala keamanan semua ruko yang ada di sepanjang jalan deket rumah itulah, pakde. Karena emang semua ruko di sekitar, nyerahin pengamanannya sama bapak dan bapak nugasin anak buahnya buat jaga keamanannya,” urai tamping tersebut.  


“Sekarang gimana kehidupan ibu mertuamu, setelah bapak masuk penjara dan bakal nggak pulang sampai mati nanti,” kataku lagi.


“Biasa aja, pakde. Tetep kecukupan buat kebutuhan harian. Istri dan anakku juga tinggal sama ibu mertua. Dia semua yang ngebiayai. Aku juga nggak ngerti, banyak orang yang dulu dibantu bapak, pada merhatiin kehidupan keluarga istriku setelah bapak masuk penjara. Kali itu yang namanya balas budi ya, pakde,” kata tamping itu.


“Ya syukur kalau gitu. Berarti apa yang dilakuin bapak mertuamu dulu, dihargai orang. Mereka yang dulu pernah dibantu, pada tahu diri. Padahal, kebanyakan orang, justru ngilang begitu tahu yang pernah ngebantu lagi kena kasus,” ujarku, sambil tersenyum.


“Yang aku tahu dan rasain ya emang gitu, pakde. Jangankan orang lain, saudara kandung aja pas aku kena masalah, malahan ngejauh. Ditelepon istri, nggak pernah mau ngangkat lagi. Kali mereka mikirnya, kalau istriku telepon berarti mau minta bantu. Padahal nggak gitu juga. Cuma pengen ngejaga silaturahmi,” sahut tamping itu, dengan tersenyum. Kecut.


“Ya, itulah seninya kehidupan ini. Kita nikmati aja yang ada dengan santai, tapi jangan lepas dari rasa syukur,” kataku lagi, seraya berpamitan untuk masuk ke kamar.


Aku merebahkan badan di lantai. Merasakan hawa dingin yang menyeruak pelan dari keramik murahan. Kipas angin besar yang menjadi pelengkap sarana kamar sel, aku kencangkan putarannya. Pun kipas angin kecil kepunyaan Dino, aku aktifkan. 


Perlahan, hawa dingin itu menebar di seantero kamar. Tidak hanya menimbul dari lantai. Dan tanpa diniati, aku pun tertidur. Cukup lama aku tidur, hingga telapak kakiku ditepuk-tepuk dengan pelan oleh Rudy. 


“Om, dhuhuran yok. Sudah selesai adzan,” kata anak muda itu, berdiri di tepian lantai tempat tidurku. 


Tanpa menjawab, aku pun bangun. Dan setelah berwudhu, bergegas mengambil kain sarung serta kupluk. Berjalan cepat bersama Rudy menuju masjid. 


Ketika solat berjamaah, pikiranku mendadak terbang ke angkasa. Membelah kekhusu’an. Terbayang wajah istriku Laksmi, dan anakku, Bulan. 


Berbagai cara ku coba untuk menepis pikiran tersebut. Namun, tetap mengikuti terus seiring dengan gerakan solatku. Bayangan kedua wanita terbaik dalam hidupku itu, terus berkelebat hingga prosesi peribadatan selesai.


Begitu usai salam ke kanan dan kiri, aku langsung kembali bersujud ke sajadah. Menyampaikan permohonan ampun kepada Yang Maha Esa. Beristighfar.


Karena di saat aku menghadap-Nya, masih terbawa oleh pikiran duniawi. Dan setelah banyak mengucapkan istighfar, aku pun memasrahkan hidupku berikut istri dan anak-anakku kepada Yang Maha Kuasa. 


Perlahan, aku bangkit dari sujud. Duduk tepekur dengan rasa berdosa yang demikian besar. Terus beristighfar. Begitu dalamnya hatiku merasakan rasa bersalah tersebut, hingga airmata pun bercucuran. 


Dan ketika untuk kesekian kalinya, bayangan istriku Laksmi dan anakku Bulan hadir dalam pikiranku, aku pun berucap pelan, sambil membayangkan wajah keduanya: “tak ada yang tanpa makna dari apa yang ditakdirkan Allah buat kita!”


Saat aku masih duduk terdiam di atas sajadah, imam solat mendekat. Menyalamiku dengan hangat. Aku tatap wajahnya. Ada senyum indah. Simpatik. 


“Kok sepertinya sedang gundah begitu. Kalau boleh tahu, bapak kenapa?” tanya imam masjid rutan bernama Umar.


Tanpa segan, aku menceritakan apa yang terjadi. Begitu sungguh-sungguh aku menyampaikan penyesalanku, karena masih terbawa pikiran duniawi saat menghadap Ilahi Robbi.


“Bapak jangan putus asa. Sebenernya, saya juga sering terpecah konsentrasi saat solat. Dan pastinya, banyak jamaah yang juga mengalaminya. Bedanya, kami merahasiakannya, sedang bapak mau mengakui dan menceritakan. Ini sangat bagus untuk memperkuat istiqomah,” tanggap ustadz Umar, dengan suaranya yang tenang.


“Maksudnya gimana, pak ustadz?” tanyaku.


“Karena bapak mau mengakui kelemahan diri sendiri kepada Allah. Menyesalinya dengan sungguh-sungguh, dan meminta agar diperbaiki solat bapak kedepannya. Ini langkah menuju pintu istiqomah yang sesungguhnya,” tuturnya lagi.


“Tapi, saya merasa kalau solat yang saya lakukan tidak diterima oleh Allah. Ini yang buat nyesek di hati,” ucapku.


“Maaf ya, pak. Kita jangan pernah gusar, apakah solat kita diterima atau tidak. Kita diberi rejeki bisa bersujud saja, sudah luar biasa. Disyukuri sajalah. Allah itu maha pengampun dan mengetahui segalanya,” kata ustadz Umar, sambil tersenyum, dan menepuk-nepuk bahuku. Menenangkan. 


“Terimakasih tausiyahnya, pak ustadz. Inshaallah ke depan, saya bisa lebih fokus dalam solat, dan istri serta anak gadis saya sehat-sehat saja,” tanggapku, juga sambil tersenyum. 


“Santai saja, pak. Disinilah kita ditempa oleh Allah untuk memperbaiki diri dan ibadah. Setelah selama ini, di luar sana kita sering mengabaikan ibadah. Yang penting, ketika kita merasa sudah tidak mampu lagi menghadapi problema hidup dan saat ikhtiar sudah sampai puncaknya, perbanyak saja doa. Dan biarkan doa serta takdir berperang di langit,” lanjut ustadz Umar.


“Pak ustadz percaya akan kekuatan doa?” tanyaku, seraya menatap wajahnya yang terus tersenyum.


“Sangat percaya, pak. Hanya kekuatan doalah yang bisa mengalahkan takdir. Itu yang diyakini para alim ulama, dan saya pun mempercayainya. Bagi saya, doa mampu membuka jalan tersulit dan paling mustahil sekalipun. Karena bagi Allah, segala sesuatu tidak ada yang tidak mungkin,” jawab ustadz Umar dengan suara tegas.    


“Terimakasih kembali atas pencerahannya, pak ustadz. Inshaallah, barokah pelajaran hidup yang pak ustadz sampaikan untuk saya,” ucapku kemudian, dan menyalaminya serta berjalan keluar masjid. Untuk kembali ke kamar tahanan. (bersambung)

LIPSUS