Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 227)

INILAMPUNG
Senin, 15 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang 

 

TEPAT saat memasuki kamar, apel siang sedang dilaksanakan. Dari tiga orang sipir, salah satunya Mirwan yang mendapat tugas.


“Sehat aja kan, om?” tanya dia, sambil menatapku yang berdiri di balik jeruji besi.


“Alhamdulillah sehat. Kamu juga sehat terus ya, Mirwan,” sahutku, sambil tersenyum.


“Alhamdulillah. Berkat doa om, aku sehat-sehat aja. Tugas dulu ya, om. Nanti main ke kamar om,” ujar Mirwan dan melanjutkan tugasnya. Mengecek keberadaan semua penghuni kamar yang ada di Blok B, didampingi seorang tamping regis yang bertugas mencatat jumlah tahanan.


Saat itu, Dino dan Basri sedang duduk di tempatnya masing-masing. Ruangan bagian dalam yang selama ini menjadi tempat kami tidur. Aku pun mendekati mereka. Menjelaskan mengenai keberadaan telepon seluler pemberian Almika.


“Sesuai petunjuk penanggungjawab blok, aku harus koordinasi sama kalian. Jadi apa perintahnya ini? Apakah aku harus bayar juga seperti yang lain, atau gimana,” kataku, seraya menatap Dino dan Basri. 


“Tadi penanggungjawab blok juga sudah cerita. Ya sudah, gimana enaknya pak Mario aja. Kalau mau didata, berarti ya bayar. Kalau nggak didata, ya pinter-pinter aja jagainnya,” sahut Dino dengan kalem.


“Botol kalian juga kan selama ini nggak bayar, dan kita sekamar. Berarti biar adil, aku ikut kayak kalian aja. Nggak perlu didata dan bayar,” kataku, dengan santai. 


Dino dan Basri merespon perkataanku dengan sama-sama mengangkat bahunya. Pertanda mempersilahkan aku megambil keputusan sendiri, dan tentu dengan menanggung semua risikonya.


Tidak lama kemudian, Dino dan Basri keluar kamar. Kiriman pesanan makan siang mereka sudah dibawakan oleh seorang sipir. Mereka pun makan di taman depan kamar. 


Rudy masuk ke kamar. Mengajakku makan siang. Ia telah membagi catering dapur pesananku dengan Ino. Jatah untukku, ia taruhkan di piring, sedang Ino dikirimkan ke kamarnya bersama tupperwaernya.


Buru-buru aku menghabiskan makan siang. Berlauk ikan asin, sambel, dan sayur kangkung. Pikiranku masih terus dibayangi oleh sosok istriku, Laksmi, dan anak gadisku, Bulan. 


Selepas makan, aku mengajak Rudy mengangkat rak di atas tempat tidurku. Untuk mengambil hp pemberian Almika, yang disimpan disana. Dan beberapa saat kemudian, aku telepon istriku.


“Ayah, gimana kabarnya?” ucap istriku, begitu teleponnya berdering.


“Alhamdulillah sehat. Bunda sama anak-anak gimana? Sehat juga kan,” sahutku.


“Alhamdulillah sehat. Ini bunda sama nduk ayah lagi di bengkel. Tadi mobil diserempet orang. Alhamdulillah, kami nggak apa-apa, dan orang yang nyerempet juga mau tanggungjawab perbaikinya lagi,” kata istriku, lanjut.


Aku terdiam. Terjawab sudah, kenapa sejak solat Dhuhur tadi aku selalu terbayang wajah istri dan anakku, Bulan. Ternyata mereka sedang mengalami musibah.


“Tapi bunda sama nduk bener nggak kenapa-kenapa ya. Cuma mobilnya aja yang rusak,” ujarku. Masih khawatir.


“Iya, kami nggak kenapa-kenapa kok, ayah. Tadi itu, nduk minta bunda ke sekolahnya karena ada pertemuan wali murid. Nah, selesai acara, nduk pengen pulang, bunda bawa sekalianlah dia untuk dianter pulang. Baru habis itu, bunda mau balik ke kantor. Eh, di jalan deket rumah, mobil diserempet. Akhirnya, ya ngurus dulu. Sampai sekarang masih di bengkel,” urai istriku, Laksmi, dengan suara tenang.


“Ya sudah, yang penting bunda dan nduk nggak kenapa-kenapa. Tetep disyukuri aja ya, bunda. Yo wes kalau gitu yo, ayah selalu doain bunda dan anak-anak,” kataku lagi, dan langsung menonaktifkan kembali hp pemberian Almika.


Sambil menyimpan telepon seluler kecil ke dalam tas di rak atas tempat tidur, aku sampaikan puja-puji syukur kepada Yang Maha Agung. Berterimakasih atas apa yang Ia berikan kepada istri dan anakku, Bulan. Kian aku menyadari, apapun yang terjadi pasti atas kehendak-Nya. Karenanya, berterimakasih dan bersyukur adalah satu-satunya jalan terbaik untuk terus menjaga ke-taqarrub-an dengan-Nya.


Terdengar suara sepatu laras masuk kamar. Aku menunggu sosok yang muncul. Ternyata sipir Mirwan. Setelah duduk di tepian lantai tempatku, sipir berusia 30 tahunan itu, membuka sepatunya.


“Numpang istirahat ya, om. Aku ngerasa nyaman kalau di kamar om ini. Kayaknya karena sering dingajiin ya, jadi iblis-iblisnya nggak berani masuk. Ganti malaikat yang ngejaga,” kata Mirwan, seraya tertawa.


“Silahkan aja, Mirwan. Pakai aja bantal om,” sahutku, dan memberinya bantal.


“O iya, om. Tadi aku pesen juice tomat di kantin, sama rokok. Nanti dianter kesini. Kalau aku tidur, terima aja ya. Itu buat om emang aku peseninnya,” lanjut Mirwan, sambil merebahkan badannya.


“Oh ya. Terimakasih banyak ya, Mirwan. Baik bener kamu ini sama om,” jawabku, tersenyum.


“Santai aja, om. Itu emang rejeki om, aku cuma ketitipan aja,” tanggap Mirwan, juga tersenyum.


Aku turun dari lantai tempat kami biasa tidur, dan keluar kamar. Memberi kesempatan sipir Mirwan beristirahat dengan tidur siang. Pada saat bersamaan, seorang tamping waserda mengantar pesanan Mirwan. Juice tomat dengan dua bungkus rokok. 


Kembali aku menyampaikan rasa syukur. Karena rejeki-Nya terus mengalir. Dan aku menikmati minuman segar itu sambil duduk santai di ruang depan. Rudy yang tiba-tiba masuk ke kamar, aku beri sebatang rokok. 


“Alhamdulillah. Emang ada aja rejeki kita ini ya, om. Kalau mau terus berbagi, nggak bakalan kekurangan kita di dalem ini,” ujar Rudy, sambil menyulut rokok pemberianku.


“Tapi, berbagi itu niatnya ikhlas, Rud. Bukan karena ngeharepin sesuatu selain ridho Allah,” sahutku. 


“Siap, om. Ikhlas-ikhlas aja kok Rudy lakuin apapun selama ini. Rudy inget pernah baca di buku, kata seorang ulama; perjalanan yang indah adalah ketika kita mampu berbagi, bukan menikmatinya sendiri atau malah pamer dan menyombongkan diri, karena itu tidak ada artinya,” ucap Rudy.


“Kamu makin pinter, Rud. Daya ingatmu luar biasa. Bisa inget apa omongan tokoh yang ada di buku. Terus asah aja otakmu, Rud. Jangan cepet ngerasa sudah berilmu,” tanggapku dengan rasa bangga.


“Siap, om. Semua kan gara-gara om, nyuruh bacain buku-buku di kamar kita. Akhirnya, Rudy rasain jadi kebutuhan ngebaca buku itu. Kayak kita perlu asupan makanan,” kata Rudy lagi.


“Alhamdulillah, om bangga sama kamu. Semangat belajarmu itu luar biasa. Keluar dari sini, kamu makin hebat,” kataku, seraya mengacungkan kedua jempol ke arah Rudy yang duduk ndeprok di sudut ruangan.


“O iya, lupa lapor, om. Tadi Rudy sudah nemuin pak Anas di kamar 8. Kata dia, setiap habis solat Ashar, Rudy mau diajarin baca Alqur’an, sampai mau maghrib. Doain lancar ya, om,” tutur Rudy, beberapa saat kemudian.


“Alhamdulillah. Hebat kamu, Rud. Lakuin semua ini dengan ikhlas ya. Niatin cari ilmu sebagai ibadah. Selain kamu bisa cepet nangkep, juga pahalamu ngalir,” sahutku, dengan wajah penuh sukacita.


Seorang tamping mendadak berdiri di pintu. Memberitahu, kalau aku diminta sipir ke pos penjagaan dalam. 


“Ada apa ya, aku dipanggil?” tanyaku, terheran.


“Nggak tahu, om. Cuma disuruh manggil om Mario. Gitu aja,” ucap tamping itu.


Penuh dengan tandatanya di dalam pikiran, aku keluar kamar. Rudy sempat menawarkan diri untuk menemaniku, namun aku menolaknya. Berjalan berdampingan dengan tamping yang menyusul ke kamar, aku tetap mencoba untuk santai meski beragam pertanyaan bermunculan dipikiran.


Sesampai di pos penjagaan dalam, terdapat tiga sipir tengah menginterogasi seorang tahanan. Yang ternyata adalah Yan.


“Nah, ini pak Mario sudah datang. Kami mau tanya, bapak kenal Yan nggak. Ini orangnya,” kata seorang sipir dengan suara keras.


“Iya, kenal. Dia kawan saya. Tinggal di kamar 12 penaling. Memangnya ada masalah apa sama Yan ya, pak,” sahutku, mencoba tetap tenang.


“Dia tadi kepergok kami sedang telepon di kamarnya. Katanya, hp yang dia pakai punya pak Mario,” jelas sipir berusia sekitar 45 tahunan dengan badan tinggi besar itu.


Aku terdiam. Bingung harus menjawab atau berbuat apa. Karena aku memang tidak mengetahui bila Yan selama ini diam-diam memegang telepon seluler, atau sebutan kerennya di rutan sebagai botol.


Namun, jika aku mengatakan yang sebenarnya, pria yang sejak awal masuk rutan mengaku sebagai kawanku itu, akan dibagal dengan cambukan pecut dari buntut sapi, bahkan bisa berujung dengan masuk strafsel selama dua pekan. (bersambung)

LIPSUS