Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 228)

INILAMPUNG
Selasa, 16 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


MAAF, pak. Saya harap, masalah ini bisa diselesaikan disini saja. Apa kompensasinya, inshaallah saya siap mengatasi,” kataku, setelah berdiam beberapa saat.


“Jadi maksud pak Mario, kita sama-sama ngerti aja, gitu ya. Oke, kalau itu maunya. Saya tahu, pak Mario banyak kawan sipir disini. Jadi memang saling pengertian itulah jalan terbaiknya,” sambut sipir tersebut, seraya melepas senyuman.


Setelah bersepakat dengan istilah saling pengertian, hp yang diamankan sipir diberikan kepadaku. Dan Yan pun aku ajak keluar pos jaga untuk kembali ke kamarnya.


“Maaf, bang. Terpaksa ngejual nama abang. Kalau nggak gitu, kena hajar habis-habisan aku di pos tadi. Belum lagi kalau dimasukin strafsel. Nggak kebayang dua minggu nggak boleh dibesuk keluarga dan di sel sempit kayak gitu,” ujar Yan sambil menangis sesenggukan, saat kami berjalan di selasar untuk masuk kembali ke Blok B.


“Makanya, jangan banyak ulah, Yan. Ikuti aja aturan main yang ada. Nggak usah ngerasa hebat karena kamu jagoan di luar sana. Kita ini tinggal di wilayah dunia dalam dunia. Kuncinya, kuasai aja wilayah ini dengan pelan dan rendah hati,” sahutku, dengan rasa kesal.


Aku bawa Yan ke kamarku. Setelah ia duduk di ruang depan, aku minta Rudy memberinya segelas air mineral. Dan aku meminta Rudy untuk segera keluar kamar. Aku ingin bicara empat mata dengan Yan.


Aku mendengar dengkuran sipir Mirwan yang tergolek di lantai atas. Untuk memastikan ia sedang lelap, aku pun mendekati posisinya. Selepas itu, baru aku kembali ke ruang depan.


“Jadi gini, kamu tahu kesepakatanku sama para sipir tadi kan? Kamu siap sama kompensasinya kan?” tanyaku kepada Yan, dengan suara pelan.


“Iya, bang. Aku siap, bang. Cuma berapa ya, bang. Mereka kan nggak bilang nominalnya,” ujar Yan, dengan suara terbata dan masih terdapat rasa ketakutan.


“Kamu ini emang nggak nyambung atau sok nggak paham sih, Yan. Mana mungkin, para sipir itu nyebut nominal. Kita aja yang ngerti dan tahu diri. Hargai mereka selayaknya, ke depannya mereka bakal berkawan sama kita. Gitu mikirnya,” sergahku, masih dengan nada kesal.


“Iya, siap, bang. Jadi apa perintahnya, bang,” ucap Yan, masih terbata-bata dan terus sesenggukan. Menahan tangis.


“Perintah pertama, berhenti dulu kamu nangis. Nggak ada yang kasihan sama kamu disini. Malah kamu jadi ejekan. Kedua, segera balik ke kamar. Ambil dana seribu, nanti kita sama-sama ke pos, kasih ke kawan-kawan sipir tadi sebagai tanda saling pengertian,” lanjutku.


“Aku nggak ada uang kalau seribu, bang. Gimana ya,” Yan, menyela.


“Minta bantu Aris atau Dika dulu. Atau siapa aja, terserah kamu. Lengkapi seribu, baru kamu balik kesini. Waktumu maksimal 15 menit. Aku tunggu,” ujarku, dan mempersilahkan Yan keluar kamarku.


Belum sampai 15 menit, Yan telah masuk kembali ke kamarku. Ditangannya terdapat sebuah amplop tertutup, dan memberikannya kepadaku.


“Berapa ini?” tanyaku, masih dengan nada kesal.


“Seribu, sesuai perintah abang,” jawab Yan.


“Oke, pegang sama kamu. Ayo kita ke pos,” kataku, dan kemudian kami berjalan dengan cepat menuju pos penjagaan dalam.


Sesampai di pos, tanpa banyak bicara, Yan menyerahkan amplop berisi uang kepada salah satu sipir yang bertugas disana. Setelahnya, ia menyalami ketiga sipir dengan hormat.


Aku hanya berdiri di pintu pos penjagaan dalam. Menyaksikan realisasi dari sikap saling pengertian antara sipir dengan tahanan yang bermasalah.


“Terimakasih, pak Mario,” ujar salah satu sipir, saat aku membalikkan badan di pntu pos, untuk kembali ke Blok B bersama Yan.


Aku hanya merespon dengan menganggukkan kepala dan tersenyum. Ekspresi tersebut, menurutku, lebih bermakna dibandingkan melontarkan serangkai kata.


“Maaf, bang. Jangan bilang ke Aris kalau uang tadi buat kasih ke sipir ya. Aku tadi ngomong ke dia, kalau abang lagi perlu bener, jadi minta bantu dipinjemi dulu,” kata Yan, saat kami memasuki ruangan Blok B.


“Kamu ini emang anak setan, Yan. Sudah dibantu, malah numbalin aku,” sahutku, dan dengan spontan memukul dengan kencang kepala pria yang tersangkut kasus gratifikasi itu.


Sontak, Yan berteriak kesakitan. Sambil menyampaikan permohonan maaf, ia menjatuhkan badannya. Tangannya memegang kakiku kencang-kencang. Mendadak kakiku bergerak refleks. Menghantam wajahnya. Darah segar mengucur dari hidungnya.


Beberapa tamping yang menyaksikan peristiwa itu, mencoba mendekat. Namun, saat aku menatap mereka dengan amarah meluap, pelan-pelan mereka beringsut menjauh.


Doni dan Basri datang dengan setengah berlari, setelah mendengar kegaduhan di pintu masuk blok. Mereka menatapku. Dengan spontan, aku gerakkan kepala sambil memandang Yan. Memberi isyarat. Tanpa banyak tanya, kedua kepala blok tahanan itu beraksi. Badan Yan diangkat, dan diceburkan ke dalam kolam di dekat taman.


Yan terus berteriak. Meminta maaf. Namun Dino dan Basri tampaknya sudah kalap. Setiap kali badan Yan akan bangkit untuk keluar kolam, dijejak dengan kencang hingga tersungkur lagi ke dalam air.


Setelah sekitar 15 menit, aku mendekati kolam tempat Dino dan Basri memberi pelajaran kepada Yan. Sementara puluhan tahanan lain menyaksikan peristiwa tersebut dari balik jerujinya masing-masing. Tidak ada yang berani bicara. Apalagi mencegah.


“Sudah. Suruh dia keluar dari kolam. Kuras kolamnya dan isi lagi dengan air bersih dari keran yang ada di depan,” kataku kepada Dino dan Basri, yang tampak masih diliputi hawa amarah.


Tidak lama kemudian, Yan keluar dari kolam. Seorang tamping memberinya sebuah ember. Dengan pakaian basah kuyup dan badan gemetaran, ia menguras kolam yang baru tiga hari lalu isinya berupa ikan guramenya, dipanen. Dino memerintahkan seorang tamping mengawasi Yan menyelesaikan tugasnya.


Saat adzan Ashar menggema dari masjid, aku bergegas ke rumah Allah. Bersama Rudy. Setiba kami di selasar, tiba-tiba ada yang memanggilku. Aris, Iyos, dan Dika setengah berlari mengejar langkah kami. Mereka juga akan solat berjamaah.


“Kenapa si Yan itu, be?” tanya Aris, begitu berjalan di sampingku.


“Manusia satu itu nggak bisa dipercaya, Ris. Begajulan itu orang. Dia tadi kan ketangkep pakai hp di kamar. Ngaku sama sipir, botol itu punyaku. Sudah aku urus, dia bebas. Eh, dia malah bohongi kamu dengan minjem uang pakai jual namaku. Gitukan,” ujarku. Aris menganggukkan kepalanya.


“Lain kali, kalau aku ada perlu-perlu, pasti ngomong langsung sama kamu, Ris. Gitu juga kamu, pasti langsung bilang ke aku. Nggak pakai perantara. Kenapa juga kamu percaya aja dia ngejual-jual namaku,” ujarku lanjut, dengan nada setengah marah kepada Aris.


“Ya maaf, be. Tadi itu aku lagi tidur. Dia bangunin dengan ngedadak. Dan bilang kalau babe perlu dana seribu, ada yang penting. Namanya juga nyawa belum utuh di badan, nggak bisa pikir panjanglah, be. Ya sudah, aku kasih aja uang seribu ke dia,” jelas Aris.


“Kalian tahu selama ini dia pegang botol ya?” tanyaku lagi, sambil menatap Aris, Iyos, dan Dika. Ketiganya menganggukkan kepala.


“Banyak di kamar 12 yang pegang botol dan nggak terdaftar?” kembali aku bertanya.


“Ada lima oranglah, bang. Enam sama si Yan. Ada perintah, bang,” sahut Dika.


“Catet nama mereka, dan nanti sebelum maghrib, kasih ke Rudy. Nanti Rudy ke kamar kalian,” ucapku, dan menengok ke arah Rudy, yang spontan menganggukkan kepalanya.


“Ya sudah, sekarang kita solat dulu. Singkirin semua pikiran urusan dunia,” kataku, dan mulai memasuki masjid di dalam kompleks rutan.


Saat itu, sesungguhnya, masih ada hawa panas di dalam jiwaku. Rasa kesal masih menggelembung. Namun, aku berusaha untuk memecahkannya, menemukan ketenangan untuk bisa bersujud dengan penuh kekhusu’an. (bersambung)

LIPSUS