Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 229)

INILAMPUNG
Rabu, 17 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


SEUSAI solat Ashar berjamaah, aku tidak langsung keluar masjid. Ingin mendengarkan kultum oleh imam masjid, ustadz Umar. Pria berkepala plontos yang dipanggil ustadz itu, tampak sangat disegani. Karena pembawaannya memang penuh wibawa.


Ustadz Umar mengurai pentingnya menuntut ilmu dalam kondisi apapun, karena melakukannya adalah taqwa, sedang menyampaikan ilmu adalah ibadah. Mengulang-ulang ilmu adalah dzikir, dan mencari ilmu merupakan jihad.


“Sementara, orang yang mendengar dengan telinganya, akan menjadi pencerita. Yang memperhatikan dengan hatinya, akan menjadi orang yang sadar. Dan yang menasihati dengan perbuatannya, akan menjadi petunjuk,” urainya lagi.


Ia melanjutkan, orang yang tidur tidak akan tahu bila dirinya sedang bermimpi, kecuali setelah bangun. Begitu pun orang yang lalai akan akhirat, tidak akan tahu jika dirinya sedang menyia-nyiakan kesempatan beramal, kecuali setelah datangnya kematian.


“Dunia tidak perlu tahu jika kita saat ini sedang babak-belur. Yang perlu dunia tahu, kita masih berdiri tegak dan tidak goyah sedikitpun. Keyakinan itu akan lahir, bila kita terus menuntut ilmu sebagai bagian dari ibadah, dan memasrahkan diri secara total hanya kepada Yang Maha Kuasa,” lanjut ustadz Umar.


Seperti yang selalu disampaikan, ustadz Umar pun terus memompa semangat kebersamaan sesama WBP. Ia menekankan perlunya semua penghuni rutan belajar menjadi manusia yang bijak.


“Yaitu yang mengajak tanpa menginjak, menasihati tanpa menyakiti, menunjukkan kebenaran tanpa harus merendahkan orang lain,” ucapnya dan menambahkan, untuk menjadi manusia bijak tidak harus pintar, yang penting memiliki hati baik. 


Pada akhir kultumnya petang itu, ustadz Umar menegaskan, setajam apapun pedang keadilan, tidak akan mampu memenggal orang yang tidak bersalah.


Aku meninggalkan masjid dengan penuh semangat, setelah mendapatkan siraman rohani yang menyegarkan dari ustadz Umar. 


Situasi rutan yang tidak menentu, memang harus disikapi dengan kesiapan jiwa dan pikiran akan masuknya pencerahan-pencerahan keagamaan. Tanpa itu, situasi dan lingkungan akan mampu secara perlahan membawa kita kepada kehidupan yang matang oleh dunia kejahatan.


Sesampai di selasar, aku duduk di tepian bangku memanjang yang terbuat dari semen. Menyaksikan puluhan tahanan sedang beraktivitas penuh dengan keceriaan. 


Ada yang bermain sepakbola, bola volly, maupun hanya sekadar jogging mengelilingi lapangan. Pun ratusan lainnya, duduk bergerombol dengan kelompoknya masing-masing. Menikmati waktu senja yang hanya sesaat hadirnya. 


Keasyikanku menikmati aktivitas para tahanan, terusik setelah kedatangan Danil. Pria bertubuh tinggi besar dengan banyak tato itu, mengajakku menemui tokoh tahanan rutan yang selama ini dipanggil Abah.


“Abah ada di kantin, pengen ngobrol sama abang,” kata Danil, dengan wajah serius.


“Mau ngobrolin apa?” tanyaku, kurang berminat.


“Nggak tahu aku, bang. Tapi emang sudah lama Abah pengen ngobrol sama abang,” ujar Danil.


Atas nama menghargai dan karena sama-sama menjadi WBP, aku pun mengikuti langkah Danil menuju kantin.


“Assalamualaikum, adek haji,” sapa Abah begitu aku masuk kantin. 


Pria berbadan tinggi besar dan penuh tato itu, selalu memakai kaos tanpa lengan. Seakan sengaja untuk menunjukkan kekekaran tubuhnya.


“Waalaikum salam. Sehat-sehat ya, abah,” sambutku, dan menyalaminya dengan menundukkan kepala. Ekspresi penghormatan bagi yang lebih tua.


“Alhamdulillah sehat. Sudah lama abah pengen ngobrol-ngobrol sama adek haji ini. Tapi baru sekarang kesempatannya,” katanya lagi.


“O gitu, emang ada yang penting buat diobrolin ya, abah,” ucapku, dengan cepat.


Abah tidak langsung menjawab. Ia memerintahkan anak buahnya untuk memesankan aku kopi dan membawa beberapa panganan ringan.


“Kopi pahit aja. Nggak pakai gula sama sekali,” kataku kepada anak buah Abah yang mendapat perintah.


“Kenapa adek haji kok seneng kopi pahit?” tanya Abah, sambil menatapku dengan pandangan matanya yang tajam menusuk.


“Enak aja kalau kopi pahit itu, abah. Citarasanya bener-bener keluar. Karena tanpa campuran apapun,” kataku, sekenanya.


“Kalau abah minum kopi tanpa gula, rasanya hambar. Nggak ada enak-enaknya,” ujar Abah, tetap dengan menatapkan matanya ke arahku yang duduk di depannya.


“Awal-awal dulu, emang nggak enak aku rasain kopi tanpa gula. Tapi lama kelamaan, ya nikmat-nikmat aja,” kataku, sambil tersenyum.


“Jadi, adek haji sudah ngerasain nikmatnya tinggal di rutan-lah ya sekarang ini,” Abah menyela, dan melepas senyum dari balik kumisnya yang tebal melintang.


“Ya, bisa dibilang gitulah, abah. Apalagi pilihan kita disini, selain menikmati situasi dan kondisi yang ada. Kecuali kita mau stres, ya lawan aja kenyataan yang ada,” sahutku, dengan tersenyum.


“Abah seneng sama adek haji ini. Cerdas dan bermental kuat. Bawaannya selalu slow, tapi kalau sudah marah, nggak berhenti kalau nggak menang,” ujar Abah, dengan serius.


“Nggak gitu jugalah, abah. Aku ini cuma manusia biasa. Yang punya rasa sedih, galau, takut, bahkan putus asa. Bersyukur, Allah terus beri kekuatan. Makanya masih bisa tegak berdiri,” sahutku, sambil menundukkan wajah.


Sambil mengirup kopi pahit dan mengunyah tahu isi, aku terus menunggu obrolan apa yang akan disampaikan Abah, yang telah lama ingin berbicara denganku.


“Jadi gini, adek haji. Dua minggu lagi, abah mau bebas. Abah pengen, adek haji yang gantiin abah ngedidik mereka-mereka ini. Nggak banyak jumlahnya, sekitar 12 orang aja. Tapi mereka punya kelebihan masing-masing. Pasukan siap tempur istilahnya,” akhirnya Abah menyampaikan maksudnya. 


Aku terdiam. Hanya anggukan kepala yang bisa aku tunjukkan kepada Abah dan beberapa anak buahnya. Yang duduk di kursi sebelah tempat aku dan Abah.


“Maaf, abah. Aku nggak paham maksudnya. Ngedidik kayak mana?” tanyaku, polos.


“Mereka ini semua kasusnya berat-berat. Mulai dari pembunuhan, perampokan, sampai bandar narkoba. Mereka perlu dididik agar nanti keluar dari sini, nggak begajulan lagi. Rata-rata mereka ini ipis. Minimal sudah tiga kali masuk bui. Nah, selama ini, abah arahin mereka untuk ninggalin semua masa lalu. Dan mereka berjanji, nggak bakal lagi lakuin kejahatan. Masalahnya, abah kan mau bebas. Mereka butuh pemimpin,” Abah mengurai, panjang lebar. 


“Kenapa aku yang abah pengenin gantiin peran abah selama ini buat mereka? Kenapa abah tidak tunjuk salah satu dari mereka ini aja?,” tanyaku lagi. Penasaran.


“Abah ini punya kekuatan ngebaca orang, adek haji. Nurut bacaan abah, adek haji ini punya jiwa pemimpin. Pengayom. Punya toleransi tinggi sama sesama. Dan yang utama, selalu tampil tenang serta rendah hati. Pembawaan itu, nyimpen kekuatan besar yang ada pada diri adek haji,” tutur Abah, dan memandangku, serius.


Spontan aku tertawa. Membuat Abah dan anak buahnya tampak terheran-heran. Mendadak Abah bangkit dari duduknya, dan menarik badanku. Memelukku dengan erat.


“Abah sampein ke adek haji pesan Mbah Kiyai Kholil Bangkalan ya. Kata beliau: bila hidayah tiba, permusuhan pun akan musnah. Jadilah engkau bagaikan air, dibutuhkan oleh siapa saja dan apa saja. Jika tidak begitu, jadilah seperti batu, tidak ada bahaya maupun manfaat. Tapi, jangan engkau laksana kalajengking, siapa yang melihat akan takut,” ucapnya dengan pelan di telingaku, yang masih dalam pelukan eratnya. (bersambung)

LIPSUS