-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 231)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 19 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


ASSALAMULAIKUM, pakde. Diminta bos solat maghrib jamaahan di kamarnya, terus yasinan,” seorang penghuni kamar 25 tiba-tiba menyeru dari balik jeruji besi. Saat itu, aku dan Rudy sedang bersiap kelar kamar untuk menuju masjid.


“O gitu. Oke, segera aku sama Rudy kesana,” jawabku dengan cepat.


“Emang ada apa ya, kok bos ngajak yasinan di kamarnya, om,” kata Rudy, setelah pemberi kabar berjalan kembali ke kamarnya.


“Nggak tahu juga, Rud. Ya sudah, anggep-anggep nambah amal. Habis jamaahan, baca yasin,” ucapku dan mengajak Rudy menuju kamar 25. Kamar yang dihuni oleh seorang bupati.


Setiba di kamar 25, kami langsung solat maghrib berjamaah. Pria yang dikenal dengan panggilan Bos, menjadi imam. Cukup fasih bupati muda usia itu melantunkan ayat-ayat Tuhan. Ditambah suaranya yang merdu, menambah kekhusu’an tersendiri.


Seusai mengimami, bupati yang tersangkut kasus gratifikasi itu menjelaskan maksudnya.


“Saya sengaja ngundang beberapa kawan untuk jamaahan dilanjutkan dengan membaca yasin. Mohon didoakan, besok saya akan sidang putusan. Mohon kepada Allah agar diberi keadilan,” jelas dia.


Selain aku dan Rudy, serta penghuni kamar 25, ada tahanan lain yang mengikuti acara tersebut. Tiga orang dari kamar 24, dan empat orang dari kamar 23.


Pembacaan yasin bersama yang dipimpin langsung oleh sang bupati, berjalan dengan khidmat. Banyak tahanan yang mengucapkan ayat-ayat dari surah istimewa di dlam Alqur’an tersebut, tanpa memegang bukunya lagi. Pertanda mereka telah hafal.


Tepat adzan Isya menggema, doa yang disampaikan oleh sang bos, berakhir. Ia mengajak kami semua langsung jamaahan solat Isya. Dan setelahnya, baru kami kembali ke kamar masing-masing.


Semua yang hadir saat itu, diberikan satu bungkus nasi kotak sebelum meninggalkan kamar 25. Tidak hanya itu. Sang bupati juga mengirimkan nasi kotak ke setiap kamar di Blok B. Masing-masing kamar diberi 10 bungkus nasi kotak. Dari 34 kamar, hanya kamarku saja yang dibagikan empat nasi kotak. Karena memang penghuninya hanya empat orang.


“Kalau sering ada yang riyungan gini, seru juga kali ya,” ucap seorang tahanan di kamar 22, saat melihat penghuni kamar 25 membagikan nasi kotak ke kamarnya.


Ketika aku dan Rudy sedang menikmati nasi kotak berlauk ayam bakar, tiba-tiba sang bupati berdiri di pintu kamarku.


“Wah, lagi makan ya, bang. Kirain sudah santai. Pengen ngobrol-ngobrol,” ujar sang bos.


“Duduk aja dulu, bos. Selesai makan nasi dari bos ini, aku keluar,” sahutku, dan mempercepat makan malam tersebut.


“Santai aja, bang. Biar nggak keselek. Aku di luar aja,” ucap bos seraya bergerak ke arah taman. 


Dari tempat aku dan Rudy makan, aku melihat sang bos sudah duduk di kursi taman seraya memandangi berbagai tanaman dan kolam ikan yang dihiasi air dari pancuran, yang memutar terus-menerus, tiada henti memercikkan airnya.


“Adem bener rasanya disini, bang. Pantes abang bawaannya nyaman-nyaman aja,” kata sang bos dengan suara keras, sehingga aku yang tengah makan di ruang depan bagian kamar, bisa mendengarnya dengan jelas.


“Mendengar gemericik air dan melihat dedaunan yang hijau itu kan cara Rasulullah SAW melepas kepenatan, bos. Makanya, om Mario marah besar kalau mesin air pancuran rusak atau taneman kembang-kembangnya sampai layu,” Rudy yang menjawab perkataan sang bos.


“Bener juga ya. Baru aku sadar, kalau bang Mario sengaja ngebuat ini semua buat ikuti jejak Nabi kita, sekaligus biar suasana depan kamar jadi sejuk begini. Asli, nyaman rasanya duduk disini,” tanggap sang bos.  


“Kayak bukan di kompleks tahanan ya, bos,” ujar Rudy, menyela.


“Iya, kayak di rumah pribadi aja. Di halaman depannya ada taman kecil yang indah dan terurus. Luar biasa ternyata bang Mario ini ekspresiin hobinya ngejaga suasana tetep sejuk,” kata bos, menanggapi perkataan Rudy.


Setelah menyelesaikan makan dan membersihkan tangan, aku pun keluar kamar. Duduk di kursi taman. Berhadapan dengan pria muda yang sampai saat itu masih menjabat sebagai bupati.


“Terimakasih sudah diundang ikut pengajian tadi, bos. Inshaallah, apa yang jadi harapan bos, akan terkabul,” kataku, memulai pembicaraan.


“Mestinya malah aku kasih tahu bang Mario dulu sebelumnya. Cuma karena siwek dan riweh ngurus ini-itu, akhirnya baru keinget pas maghrib. Bersyukur abang belum ke masjid,” sahut bos, dengan nada kalem.


“Nggak ada kemestian disini, bos. Kita ini sama-sama tahanan. Saling ngehargai antarsesama itulah yang utama. Aku seneng sudah diajak ikut doain tadi,” tanggapku, dengan tersenyum.


“Jadi gini, bang. Kayaknya aku bakal divonis tinggi. Sekitar sembilan tahunan. Belum lagi ada kewajiban balikin kerugian negara dan lain-lainnya. Jujur, aku bingung dan galau nggak karuan sekarang ini. Makanya, aku adain yasinan dan doa bersama itu, biar hati bisa tenang,” sang bos mengurai apa yang dirasakan saat itu.


“Kok bos tahu bakal divonis segitu?” tanyaku.


“Dapet bocoran dari pengacara, bang. Dan katanya, nggak bisa lagi dinego buat turun,” jelas sang bupati, seraya tersenyum kecut. 


“Maaf ini, bos. Mungkin emang bener, sudah direncanain bos bakal divonis sembilan tahun. Tapi itu kan mau-maunya manusia. Kalau Allah berkehendak lain, emang bisa apa juga kita semua. Kan gitu. Jadi, apa yang bos lakuin dengan kita yasinan bersama dan doa tadi, itulah cara bos dan kita semua meminta langit mengubah rencana manusia di bumi. Ya sudah, kita serahin semuanya sama kehendak penguasa langit dan bumi aja,” kataku, panjang lebar.  


“Iya sih, aku juga sudah pasrahin sama kehendak Yang Kuasa. Tapi, ngebayangin sembilan tahun hidup di penjara itu, nyesek hati ini, bang. Nggak usahlah kita bohong, sehari aja disini, rasanya lama bener putaran jam itu. Kebayang kan kalau sampai sembilan tahun,” tutur sang bos, ada nada getir yang mendalam di dalam suaranya.


Aku hanya diam. Memang tidak bisa dibayangkan, betapa tersiksanya hidup di dalam penjara selama bertahun-tahun. Menjalani satu hari saja, rasanya sudah suntuk tidak karuan. Jika tidak pandai-pandai mengelola hati dan pikiran, rasa marah, kesal, dan kecewa itulah yang akan naik kepermukaan.


“Coba abang bayangin ya. Setahun itu 12 bulan. Artinya, 52 minggu atau 365 hari. Sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, dan 31.536.000 detik. Kebayang nggak, kalau aku harus jalani waktu sebanyak itu sembilan kali lipat di dalam penjara,” ujar sang bos, beberapa saat kemudian. Suaranya bergetar hebat. 


Aku terdiam. Sangat memahami betapa besar kegalauan di hati pria muda usia dengan jabatan prestisius tersebut. Aku juga amat memahami, setegar-tegarnya orang tegar, ia akan terguncang ketika menerima ujian atau musibah. Bukan karena ia kurang iman, tetapi bukti bahwa ia hanyalah manusia biasa. (bersambung)

LIPSUS