Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 232)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 20 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang


SUASANA rutan yang mulai sepi, membuat perbincanganku dengan sang bos semakin mencekam. Aku tahu, ia membutuhkan seseorang yang bisa meraup kegalauan hatinya saat itu.


“Nurut bang Mario, aku harus kayak mana sekarang ini?” mendadak sang bos bertanya, sambil menatapku dengan pandangan serius. 


“Maaf ini ya, bos. Apa yang aku sampein, mungkin emang klise. Tapi, ya ini yang bisa aku omongin sebagai wujud pahamnya aku dengan kondisi bos saat ini,” ucapku, dengan hati-hati.


Sang bos yang sesungguhnya memang sudah dalam kondisi terpuruk setelah harus menjalani penahanan akibat tersandung kasus gratifikasi, hanya memandangku tanpa mengeluarkan sepatah katapun.


“Saat ini, hanya bersikap pasrah itulah pilihannya. Pasrah bukan berarti menyerah lo, bos. Pasrah itu penyerahdirian secara total pada yang buat kita hidup di dunia ini. Gusti Allah,” kataku, beberapa saat kemudian.


“Caranya, bang?” ujarnya, menyela.


“Ya sabar dan solat aja, bos. Sabar dalam mengkancah segala kemungkinan terburuk yang sudah bos dengar, dan solat untuk menyambungkannya dengan bersujud kepada Yang Maha Kuasa. Pada saat putus asa semacam ini, gunakan hati dan pikiran buat nemuin cara dan tujuan baru,” lanjutku.


“Abang yakin masih ada peluang buat vonisku turun,” kata sang bos, tetap dengan menatapku.


“Yakinlah, bos. Apa yang tidak mungkin di dunia ini sepanjang Allah berkehendak. Tapi, bos juga harus yakin, kalau permohonan bos diijabah sama Yang Maha Pemberi. Keyakinan akan kelemahan sebagai makhluk, harus bener-bener diwujudin dihadapan Yang Maha Kuat, bos. Isi aja malem ini sampai besok sebelum ke persidangan dengan perbanyak doa dan penyerahdirian secara total,” uraiku, juga dengan menatap sang bupati yang tampak tengah demikian terpuruk jiwanya.


“Rasanya, sekarang ini hidupku sudah begitu gelap ke depannya, dan hatiku sakit sekali dengan situasi ini, bang,” ujar sang bos, setelah berdiam beberapa waktu.


“Aku inget perkataan seorang bijak, bos. Kata dia, jika kamu ingin melihat indahnya fajar, maka kamu harus lalui gelapnya malam. Dan ketika rasa sakit memasuki hatimu, ketahuilah Allah sedang menyiapkan jalan bagi datangnya kebahagiaan,” sahutku, mengutip perkataan seorang ulama bijak.


Seorang tamping waserda melewati tempat kami berbincang. Sang bos menanyakan ada makanan apa saja yang dijajakan. Setelah tamping mengurai makanan yang dibawanya, sang bos meminta dua bungkus minuman ringan kacang hijau dan dua porsi roti bakar.


Rudy buru-buru menyiapkan gelas dan piring untuk tempat minuman dan makanan ringan yang dipesan bupati muda usia itu. selanjutnya, sambil meneruskan perbincangan, kami pun menikmati makanan yang tersedia. 


Malam semakin larut, suasana rutan kian sepi. Hanya suara air mancur di kolam dan sesekali kecipak ikan saja, yang menemani kami saat itu.  


“Abang nggak apa-apa kan begadang?” tanya sang bos.


“Nggak apa-apalah, bos. Kan nggak setiap malem ini,” jawabku dengan cepat.


“Aku nggak bisa tidur sejak kemarin malem, bang. Setelah dapet kabar dari pengacara, kalau bakal divonis sembilan tahun itu. Nggak karuan rasanya hati dan pikiranku. Badan ini kayak nggak bertulang lagi. Gelep bener kalau ngebayangin hidup ke depan,” tutur dia lagi, dengan suara bergetar.


“Manusiawi dan lumrah yang bos rasain itu. Bukan sesuatu yang berlebihan. Cuma saranku, pelan-pelan bos kendaliin pikiran dan perasaan. Ditenangin pelan-pelan aja. Biar bisa konsen berserah diri kepada Sang Pencipta. Maaf kalau aku kayak ngegurui ya, bos. Tapi bos harus percaya, kalau aku ikut rasain beratnya beban bos saat ini. Walau, aku nggak bisa berbuat apa-apa, selain bantu doa,” kataku, panjang lebar.


“Justru karena aku tahu abang bisa rasain apa yang ada di hati dan pikiranku sekarang-sekarang ini, maka aku pengen ngobrol sama abang. Susah nemuin kawan yang sehati dan sepikiran itu, bang. Aku paham bener sekarang ini arti perkawanan. Sayangnya, pemahaman itu aku dapetin setelah masuk penjara gini,” tanggap sang bos, sambil tersenyum kecut.


“Nggak ada yang sia-sia atau tanpa makna semua ini, bos. Terlepas dari salah dan dosa kita, disingkirinnya kita ke penjara ini oleh Allah, tentu karena Dia punya maksud baik. Berprasangka baik ajalah, bos. Takdir ini emang buat nyesek di hati, tapi yakini, pasti ada maksud baik dibaliknya. Nggak usah dicari-cari apa hikmahnya, nanti pada waktunya kita akan alami dan rasain sendiri,” ujarku lagi.


“Jadi, harus tetep berprasangka baik itulah biar bisa tenang ya, bang,” kata sang bupati.


“Kalau nurutku sih gitu, bos. Aku percaya, dengan kuatnya keyakinan dan prasangka baik, kita akan dapetin apa yang kita inginin. Soal kapan terwujudnya, itu rahasia Ilahi,” sahutku.


“Nurut abang, baiknya sekarang aku ngapain?” tanya sang bos, setelah kami sama-sama berdiam beberapa saat.


“Gelar sajadah, solat hajat dan zikir, bos. Sampein semua yang bos inginin sama yang punya langit dan bumi beserta seluruh isinya ini. Nggak ada siapapun makhluk yang bisa bos harepin bantuannya saat seperti ini,” kataku, dengan serius.


“Oke, kalau gitu, bang. Aku pamit, balik ke kamar,” sahut sang bos dan spontan berdiri. Setelah kami bersalaman, ia melangkah dengan tegap kembali menuju kamarnya.


Melihat sang bupati telah meninggalkan taman di depan kamar, Rudy keluar. Ia membersihkan meja dan membawa gelas serta piring ke kamar. Menumpuknya di kamar mandi untuk dibersihkan besok pagi.


“Sudah mau subuh lo, om. Kalau tidur, bisa-bisa kesiangan,” kata Rudy saat melihatku merebahkan diri di kasur.


“Badan ini perlu istirahat juga, Rud. Biar pun cuma sebentar. Nanti bangunin aja kalau sudah adzan subuh ya,” jawabku, dan memulai melepaskan segala pikiran untuk menikmati istirahat. 


“Gimana kalau Rudy bangunin nanti om nggak kebangun?” tanya Rudy.


“Bangunin lagi setelah kamu subuhan dari masjid aja, Rud. Yang penting, jangan setelah matahari muncul baru kamu bangunin om,” kataku.


Suara dengkuran Dino dan Basri yang bersahutan dengan kencang, memaksaku menutup telinga dengan bantal. Hal itulah yang menjadi alasanku selama ini, memilih tidur lebih dahulu dibandingkan mereka. Mengkiati kondisi yang tidak seirama dengan pembawaan kita, lebih indah dibandingkan terjebak dalam ketidakharmonisan berkepanjangan. (bersambung)

LIPSUS