-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 233)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 21 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang

   

SUARA tamping kebersihan yang mulai beraktivitas, mengejutkanku. Dengan gerak cepat, aku bangun dari tempat tidur dan ke kamar mandi. Wudhu, selanjutnya solat subuh. Di atas kasur, diselingi dengkuran Dino dan Basri yang masih nyenyak tidur.


Saat aku masih menguntai doa, terdengar suara Rudy masuk kamar. Ia menghentikan langkah, tepat di dekat tempat tidurku. Cukup lama ia berdiam disana. Karena aku masih terus khusu’ dalam doa, anak muda yang tersangkut kasus penggelapan kendaraan itu pun beranjak pergi. Ke ruang depan kamar tahanan.


Selepas melantunkan doa, aku kembali merebahkan badan. Melanjutkan tidur. Begitu nyenyaknya aku tidur, hingga baru membuka mata setelah sinar matahari yang terang dan panas, menerobos lewat sela-sela jeruji besi ke kamarku.


“Alhamdulillah. Terimakasih ya, Rab. Engkau tetap beri aku nikmat tidur,” ucapku, begitu bangun dari tempat tidur sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.


Seusai merapihkan seprai kasur berikut bantal dan guling serta menyandarkan kasur ke tembok, aku pun turun dari lantai tempat tidur. Mengambil pakaian bersih di lemari dan mandi.


Baru saja aku memanaskan air di teko listrik untuk membuat kopi, Rudy masuk ke kamar. Wajahnya langsung pucat saat melihatku.


“Kamu sakit, Rud?” tanyaku, spontan.


“Nggak kok, om. Rudy minta maaf, nggak bangunin om. Tadi habis subuhan di masjid, dengerin kultum dulu. Terus diajak ngobrol sama pak ustadz Umar. Dia tanyain om, kenapa nggak subuhan jamaahan di masjid,” ujar Rudy, panjang lebar.


“Nggak apa-apa, Rud. Kan bukan kamu sengaja, nggak bangunin om. Walau kesiangan, om tadi masih bisa subuhan. Terus lanjut tidur lagi,” kataku, menenangkan Rudy.


Setelah air mendidih, aku tuangkan ke cangkir yang telah berisi kopi tanpa gula. Dan duduk di taman depan kamar. Menyeruput kopi ditemani sebatang rokok, seraya melihat kesibukan para tamping kebersihan melakukan tugasnya.


“Om mau sarapan apa?” tanya Rudy.


“Masih ada nggak stok makanan ringan. Kayak roti atau sebangsanya,” kataku.


“Masih, om. Punya om masih banyak stok rotinya. Juga ada susu kental manis dan mentega. Apa Rudy buatin sarapan roti pakai susu aja ya, om,” jelas Rudy.


“Ya boleh, itu aja sarapannya, Rud. Buat tiga tangkep. Kalau kamu mau, bikin juga,” ujarku.


Tak lama kemudian, aku pun sarapa roti diolesi susu kental manis, sambil menikmati suasana taman yang hijau ditingkahi dengan gemericik suara air mancur dari kolam ikan, dan senandung burung parkit yang ada di dalam kandang besar. 


Dua orang sipir yang bertugas pagi, menyapaku. Saat mereka lewat untuk menuju ke kamar 5. Tempat biasa mereka bersama beberapa tahanan mengisi waktu dengan bermain kartu. 


“Lagi nyantai, om,” sapa sipir Adam, dengan suara santai.


“Iya, sambil ngopi,” sahutku, dan memberi senyum.


“Boleh juga nanti dikirim kopi panas ke kamar 5, om. Pengen juga sesekali rasain kopi om,” lanjut Adam, dengan tersenyum.


“Siap, nanti Rudy yang buat dan kirim ya,” tanggapku.


Saat bersamaan, Rudy keluar kamar. Akan menjemur pakaian Dino dan Basri yang telah ia cuci. Aku sampaikan pesan sipir Adam. OD kamar 20 itu menganggukkan kepalanya. Paham apa yang harus ia lakukan.


Tiba-tiba Heru muncul. Pria berbadan tinggi besar yang terlibat kasus penipuan online ini, langsung memelukku dari belakang.


“Abang ini kelewatan lo. Kemarin aku pesen sama tamping, minta abang bukain pintu kamarku karena mau ngobrol sama abang, malahan nggak ditanggepi. Abang keasyikan ngobrol sama tampingnya,” kata Heru, sambil duduk di kursi taman, tepat di depanku.


“Kamu juga salah. Masak aku yang harus bukain pintu kamar kamu. Kan tamping itu yang pegang kunci, mestinya dia yang kamu suruh,” sahutku, tersenyum.


“Nggak tahan sama dia itu, bang. Minta duit terus kalau disuruh bukain pintu. Kalau abang yang suruh kan, nggak perlu kasih apa-apa,” kata Heru. Dan tertawa.


“Dia jadi tamping itu kan bayar juga, Ru. Wajar aja dia minta pengertian kawan-kawan. Lagian, kan nggak mesti duit. Kasih aja rokok sebatang, nggak masalah,” tanggapku. 


“Kata siapa nggak harus duit? Tamping itu paling ngeyel tahu, bang. Kalau dikasih rokok, nggak mau dia. Sok-sokan orangnya. Banyak kawan disini yang nggak seneng sama dia. Nekennya itu kelewatan,” tutur Heru lagi.


“Orangnya baik kok, Ru. Sopan dan pinter. Walau di dalem, punya tanggungjawab besar buat tetep bisa kasih kebutuhan anak istrinya juga, makanya dia jadi tamping kunci,” kataku menimpali.


“Itu kan dia cerita di depan abang. Coba kalau di belakang, lain lagi. Pinter cari muka emang orangnya. Buat dia, yang utama itu kepentingannya tercapai, nggak peduli sama nasib orang lain,” urai Heru, mulai meninggi.


“Ya sudah, nggak usah dipusinginlah. Masing-masing orang kan punya karakter. Ngapain nambah-nambah dosa ngomongin orang lain jelek. Sekarang, apa yang dari kemarin mau kamu sampein itu,” ucapku kemudian.


“Jadi gini, bang. Ada kawan di kamar yang mau jual botolnya. Abang kan nggak pegang botol, bayarin aja. Dia buat bayar uang mingguan, sudah sebulan nggak bayar,” kata Heru, menjelaskan maksudnya.


“Waduh, aku nggak pegang uang, Ru. Lagian, belum perlu-perlu amat pegang botol sekarang ini. Kalau mau telepon, aku biasanya pinjem punya sipir, sudah cukup,” kataku. 


“Bantu sih, bang. Kawan itu perlu bener soalnya. Kasihan dia di-bully terus di kamar, karena belum bayar-bayar uang mingguan,” ujar Heru, dengan suara memelas.


“Lha, kamu kan banyak duit. Kenapa bukan kamu aja yang ambil?” tanyaku, sambil menatap Heru.


“Aku sudah punya tiga botol, buat apalagi coba, bang. Yang dua buat aku kerja, yang satu khusus buat hubungi istri dan anak-anak,” Heru mengurai.


“Buat simpenankan nggak masalah sih, Ru. Nanti pas ada yang mau, kamu jual. Aku bantu tawarin ke kawan-kawan. Kalau kamu minta aku beli, selain belum ngerasa perlu-perlu amat, juga nggak ada duitnya,” sambungku.


Aku memang merahasiakan bila sebenarnya telah memiliki sebuah botol, yang diberikan sipir Almika. Sesuai pesan pegawai penanggungjawab blok tempatku, juga saran Dino dan Basri, sebaiknya aku betul-betul menjaga kerahasiaan keberadaan barang terlarang di rutan tersebut. 


Bukan karena aku tidak membayar bulanan sebesar Rp 1,5 juta sebagaimana pemegang telepon seluler yang lain, tetapi juga menghindari adanya kecemburuan sesama penghuni rutan. Atau bahkan sipir yang sengaja mencari-cari masalah.


“Kawan itu pakai uangku aja belum balik, bang. Masak aku mau beli botolnya juga,” kata Heru, beberapa saat kemudian.


“Ru, kamu kan banyak duit dari kerjaanmu selama ini. Nggak usah masalahin kawanmu itu pakai uangmu. Anggep aja uang setan dimakan iblis, kan klop. Atau, kalau mau dapet pahala, jadiin aja itu sedekahmu. Bersihin yang kamu dapet dari kerja tipu-tipu itu,” kataku, panjang lebar.


“Sama kawan sekamar, selama ini aku nggak pernah hitung-hitungan, bang. Karena prinsipku, kelemahanku adalah kelebihan kawan-kawanku, dan kelebihanku jadi salah satu kekuatan kawanku. Cuma, kawan ini emang perlu-perlu bener. Dia malu karena jadi omongan terus di kamar,” lanjut Heru dengan suara serius.  


“Ya sudah, bayari aja sama kamu botol itu. Nanti aku bantu tawarin. Emang berapa harganya,” ujarku, kemudian.


“Seribu bang harganya. Tapi, nanti abang tawarinnya di atas itu ya. Masak nggak dapet untung sama sekali. Minimal buat kita beli rokoklah, bang,” kata Heru.


“Oke, beresin soal ini sama kawanmu. Aku bantu tawar-tawarin. Nanti yang minat, langsung ketemu kamu. Nego aja sendiri,” ucapku.


“Oke, deal ya, bang,” kata Heru,  mengajakku bersalaman, dan kemudian bergerak untuk kembali ke kamarnya. Kamar 18.


Baru saja aku beranjak dari taman untuk masuk ke kamar, seorang tamping regis mendatangiku. Ia membawa dua kantong plastik berisi makanan dan minuman, serta vitamin. Juga beberapa potong pakaian.


Saat aku masih mengernyitkan dahi karena tamping tersebut memberikan dua kantong plastik tersebut ke tanganku, ia memberitahu bila itu bawaan istriku, yang saat ini berada di ruang besukan.


“O, istriku dateng ya,” ujarku, dengan perasaan bahagia.


“Iya, pakde. Tapi istri sama anak gadis pakde di ruang besukan umum. Nggak kayak biasanya, di ruangan kantor rutan,” ucap tamping itu.


“Oh gitu. Oke, tunggu sebentar,” kataku, dan buru-buru berganti pakaian. Memakai kaos berkerah dengan tulisan WBP. 


Dan setelah menyemprotkan minyak wangi, aku pun keluar kamar. Membawa kantong plastik berisi pakaian kotor dan beberapa buku catatan harian yang sudah penuh. 


Aku berjalan berdampingan dengan tamping, menuju pos penjagaan. Melapor bila mendapat besukan. Sambil bersiul penuh sukacita, aku menuju ke ruang kunjungan umum. Ini untuk pertama kalinya, aku menginjakkan kaki ke ruangan kongkow keluarga WBP tersebut. (bersambung)

LIPSUS