Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 239)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Sabtu, 27 Agustus 2022


Oleh, Dalem Tehang 


WAKTU terus berpacu. Malam semakin larut. Suasana rutan telah sepi. Mayoritas penghuninya tengah terbuai mimpi. Semilir angin yang membawa bekas air hujan, membuat situasi kian dingin.


Namun, sang bupati yang tengah menikmati “kemenangan”, belum terlihat tanda-tanda kelelahan. Terus saja dengan bersemangatnya ia mengurai cerita. Sementara, rasa kantuk telah menerpa mataku. 


“Bang, kita keluar yok. Ngobrol di pos jaga,” ajak bos, beberapa waktu kemudian.


“Ini sudah lewat tengah malam, bos. Enak nggak kalau kita muncul kesana. Siapa tahu yang di pos lagi tidur atau main kartu. Malahan ngeganggu mereka,” kataku.


“Tenang aja, bang. Aku ambil donat dulu. Jadi kita ada bawaan. Nggak mungkin mereka marah,” ujar bos seraya bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke kamarnya.


Tidak sampai 10 menit, sang bupati telah kembali. Ditangannya terdapat satu kotak berisi kue donat. Dan langsung mengajakku berjalan ke pos penjagaan dalam.


Dan benar saja. Saat kami membuka pintu pos dari samping, empat sipir yang ada disana tengah bermain kartu. Dua orang lainnya, tidur di teras depan. Pandangan mereka tampak penuh pertanyaan saat melihat kami muncul.


“Ini ada kue donat, pak. Sengaja anternya malem gini, jadi pas buat ngisi perut,” ujar sang bos, sambil menaruhkan kotak berisi kue donat ke meja di dalam pos.


“O, kirain ada apa. Pak bupati sama om Mario tiba-tiba muncul kayak hantu,” sahut sipir bernama Amir. 


Aku melihat di meja tempat mereka bermain kartu, terdapat tumpukan uang. Berarti mereka bukan hanya mengkiati kejenuhan saat bertugas, namun sekalian mencari keuntungan. Berjudi. 


Kue donat yang dibawa bos, langsung menjadi santapan mereka. Setelah berbincang beberapa saat, aku memberi kode kepada bos, untuk segera meninggalkan pos penjagaan.


“Pikirku tadi mau nongkrong lama di pos, bang. Nggak tahunya, abang malah ngajak balik,” kata bos, saat kami berjalan menyelusuri selasar untuk kembali ke Blok B.


“Mereka lagi main kartu pakai uang, bos. Yang menang, iya seneng kita ajak ngobrol. Tapi yang kalah, bisa aja malah kesel sama kita,” ucapku, mencari alasan.


“Iya juga ya, bang. Lebih repot lagi kalau yang kalah malah minta kita yang balikin kekalahannya,” sahut bos, dan tertawa ngakak.     

“Itu dia, bos. Kan malah jadi sial kita kongkow disitu kalau sampai kejadian seperti kata bos tadi,” kataku, juga tertawa. 


Akhirnya, kami kembali duduk di taman depan kamarku. Meja yang sebelumnya terdapat dua cangkir kopi dan piring berisi kue donat, telah dibersihkan oleh Rudy. 


“Cepet juga kerja anak buah abang itu. Baru ditinggal sebentar, meja sudah bersih lagi,” kata bos, melihat posisi meja taman telah bersih. Bahkan bekas serpihan abu rokok juga sudah tidak terlihat.


“Bos mau ngopi lagi, apa air mineral aja,” ujarku.


“Air mineral ajalah, bang. Nanti kalau tamping waserda lewat, kita beli makanan atau minuman hangat,” sahut bos.


Saat masuk ke kamar untuk mengambil air mineral gelas, aku melihat Rudy telah meringkukkan badannya. Diatas kasur tipis tepat dibawah jeruji besi. Terdengar dengkurannya. Pertanda ia telah lelap. OD kamarku ini memang dikenal mudah tidur, tapi juga gampang dibangunkan. Baginya, tidur berkualitas yang utama. 


Aku mendengarkan dengan serius cerita sang bupati mengenai kehidupannya. Sejak ia mulai tamat sekolah menengah atas hingga menjadi pegawai pemerintah dan melompat kariernya dengan menjabat bupati.  


“Penuh perjuangan juga ternyata perjalanan hidup bos ini ya,” tanggapku, kemudian.


“Bener, bang. Nggak ada yang mudah. Walau orangtua berkecukupan juga punya jabatan, tapi aku tidak dimanjakan. Tetep harus punya sikap mandiri, trengginas, dan bisa ambil pilihan sendiri. Memang, begitu lihat aku kesulitan, pasti mereka bantu. Tapi itu dilakukan setelah aku berjuang dulu. Mereka nggak mau kasih aku sesuatu sebelum aku berusaha maksimal,” urai bos, mengenai pola pendidikan orangtuanya.


“Misalnya kayak mana, yang sederhana aja, bos,” ucapku, tertarik.


“Misalnya, aku pengen mobil. Aku harus punya uang buat uang mukanya dulu. Juga bayar kreditnya perbulan. Nanti, kalau di perjalanannya aku nggak bisa bayar bulanannya, baru mereka bantu. Itu juga nggak terus-terusan. Sebelumnya, orangtua ngajak aku bicara, kenapa bisa nggak kebayar kreditnya, gimana ngaturnya dulu, dan lainnya. Gitu juga waktu aku beli rumah, mereka sepakat-sepakat aja setelah aku sampein uangnya dari pos ini, nanti bayar kreditnya dari usaha ini,” tutur bos, panjang lebar. 


“Jadi, kehidupan bos di keluarga penuh demokrasi ya. Nggak melulu orangtua ngarahin mesti gini atau gitu,” kataku.


“Iya, demokratis dan penuh toleransi. Tapi, harus tanggungjawab. Ada hal-hal yang orangtua bersikap teges juga. Dan aku sama adik-adik paham, kalau mereka sudah bicara harus A, ya itu wajib dijalani. Karena kami yakin, perintah itu untuk kebaikan kami. Bukan ngeberangus kemauan pribadi kami,” lanjutnya.


Perbincangan kami terhenti saat seorang tamping waserda masuk ke Blok B dan menawarkan makanan yang ia jajakan. Sang bupati memanggil tamping tersebut dan memesan dua bungkus minuman bandrek ditambah dua bungkus sate lontong.


Kami meneruskan perbincangan ringan seraya menikmati makanan dan minuman hangat yang dijajakan tamping waserda. Sang bupati menguraikan kasus yang membawanya masuk bui dan terancam dicopot dari jabatannya.


“Paling lama dua bulan lagi aku sudah bukan bupati, bang. Pasti dicopot karena kasusku sudah inkrach,” ucapnya, tanpa ada nada kesedihan sama sekali dalam bicaranya.


“O gitu. Emang bos langsung terima ya putusan enam tahun penjara itu?” tanyaku.


“Iya, bang. Langsung aku terima vonisnya. Ngapain lagi. Aku bersyukur dikasih Allah keringanan yang nggak kebayang sebelumnya. Jadi aku dan pengacara, nggak banding. Jaksa juga gitu. Dan nurut aku, ini pilihan terbaik. Aku bisa lebih enjoy jalani hari-hari ke depan, karena sudah pasti waktu hukumanku,” jelasnya.


“Kebayang nggak, nanti setelah selesai jalani hukuman, bos mau berkarier di bidang apa?” tanyaku lagi.


“Kebayang sih, bang. Cuma ngapain mikirinnya dari sekarang. Kita manusia ini kan sedetik aja bisa berubah. Buatku sekarang, banyakin aja amal ibadah buat ngehapus salah dan dosa di masa lalu. Nanti ya urusan nanti. Aku yakin, pada saatnya pasti ada jalannya. Prinsip yang ku pegang, aku jadi kuat dan hebat dengan caraku sendiri, bukan dari orang lain,” kata bos, tetap dengan nada santai.


“Jadi, mau perbanyak ibadah aja ya ke depannya, bos,” kataku lagi.


“Iya, itu yang mantep di hati dan pikiranku, bang. Inshaallah nggak berubah. Karena aku yakini bener, dimana ada doa, disitu pasti ada jawaban, dimana ada iman, disitu pasti ada mukjizat, dan dimana ada pengharapan, disitu pasti ada kekuatan,” tutur sang bupati dengan suara penuh ketegasan dan optimisme. (bersambung)

LIPSUS