Cari Berita

Breaking News

'Biografi Kecil' Isbedy Stiawan ZS: Pengantar Buku Puisi 'Ketika Aku Pulang'

Jumat, 12 Agustus 2022
Views

Sampul buku puisi "Ketika Aku Pulang", desain digarap Ramadhan Bouqie (ist)


Oleh Isbedy Stiawan ZS

ANGGAP ini sebuah biografi kecilku, sebagai manusia di luar puisi (penyair). Yang tentu punya rindu, waktu silam, masa indah dan pahit semasa anak-anak. Punya “kampung kelahiran” minimal lokus di mana aku dilahirkan. Aku tak punya kampung (etnis), meski dari ayahku (Zakirin Senet) ada titisan Bengkulu dan dari ibuku (Ratminah) mengalir darah Jawa Cirebon. 


Akan tetapi, aku lahir dan besar di Tanjungkarang (sekarang Kota Bandarlampung) Provinsi Lampung. Tempat lahirku persisnya Rawa Subur dan masuk Kelurahan Enggal, serta sekelilingku adalah etnis Lampung, Serang (Banten), Bengkulu, Minang, serta etnis lainnya. Benar-benar heterogen.


Rawa Subur pada masa kecilku terbilang keras. Perkelahian dan sejenisnya acap terjadi. Bahkan, bagi warga Bandarlampung, jika menyebut Rawa Subur akan mensejajarkan dengan kawasan yang menyeramkan. Di sini tak akan kusebut jati diri “kawasan” kenapa dikatakan begitu. Demi menjaga perasaan warga di sana pada masa sekarang. 


Meki dianggap negatif ihwal Rawa Subur, aku tetap mencintainya. Kampung yang dilintasi rel kereta api dari Kertapati hingga Panjang itu, tetaplah mengesankan. Ke mana aku merantau kampung itu dalam diriku. Aku bangga mengatakan, “aku anak Rawa Subur.” Atau “anak Kebon Jahe”, maupun “aku anak Enggal.”


Kedua orang tuaku bukanlah manusia terdidik. Kalau ayah hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan hanya pesuruh di Pemerintah Kota Madya Tanjungkarang-Telukbetung semasa Thabrani Daud sebagai wali kota dan kini berganti menjadi Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan walikota saat sekarang Eva Dwiana (2022). Rawa Subur termasuk di pusat kota; ke Pasar Bambu Kuning atau Stasiun Tanjungkarang bisa ditempuh jalan kaki — dan tidak keluar keringat!


Rawa Subur begitu berkesan dan membekas dalam tubuhku. Walau aku sebagai keluarga besar — delapan orang kakak-beradik — yakni Yusnaini, Zul Irianto, Budihastuti, aku, Usdahniar, Upik Syamsiar, Ahmad Jauhari, Novian Zulkarnain, dan satu kakak seayah, Neneng Djamilah (almarhumah) kami tetap rukun dan selalu welas asih.


Dengan delapan kakak beradik di rumah yang tak besar, dapat dibayangkan masa kecilku. Kadang aku pulas tidur di meja makan, di balik kursi panjang di ruang tamu, dan serupa itu. Ini bukan penderitaan, melainkan melatih diri agar kuat dalam menghadapi hidup yang nantinya lebih keras lagi. 


Rumahku yang hanya tiga meter jaraknya dari rel kereta api, adalah cara lain latihan menjadi manusia tak takut ancaman ataupun gemuruh. Meski aku sempat traumatik akan kekerasan, tatkala menyaksikan dengan mataku “seorang penjahat” di depan rumahku yang diseret aparat negara lalu “di karungkan” sebelum “dilempar ke dalam jip” kemudian dibawa ke suatu tempat. Esok subuh ada kabar, jenazahnya bisa diambil dari belantara untuk dimakamkan. Kala itu kita mengenal petrus (penembak misterius) untuk memutus mata rantai kejahatan yang meresahkan masyarakat. Aku mengalami sebagai “saksi” dari masa-masa mencekam ini di Rawa Subur itu. Jauh sebelum era petrus, aku pun pernah terancam sebilah golok (senjata tajam) yang dilempar seorang yang kutahu preman. Andai senjata tajam itu mengenai tepat di punggungku, niscaya aku mati di saat kelas 2 SLTP. Tuhan belum ingin menjemputku. Alhamdulillah.


*


Sebagai anak Rawa Subur aku pun merasakan dan menjalani masa-masa nakal. Sebagai anak berandal, juga merasakan meminum alkohol, mengisap barang haram, dan sejenis itu. Tidak mungkin menghindar karena aku dalam lingkungan yang tentu setiap saat mengincar itu. Satu-satunya tak masuk lingkaran setan tersebut, ya hijrah.


Akan tetapi, Rawa Subur adalah tanah terakhir bagi ayah dan ibu. Kedua orang tuaku sempat menetap di Jakarta dan setelah dikarunia seorang anak — Yusnaini — hijrah ke sini. Rasanya tidak mungkin pindah lagi. Dan benar, ini adalah tanah akhir bagi hidup ibu dan ayah. Di sini keduanya mengembuskan napas terakhir. Selesai sebagai manusia dan menjadi orang tua. Di Kebon Jahe ia dimakamkan.


Meski masih di dalam kota - Bandar Lampung — setidaknya aku telah menjadi anak rantau; keluar dari kampung kelahiranku. Meninggalkan Rawa Subur. 


Aku merasa “pulang” ke sana, 60 tahun kemudian. Pada tahun 2018, serasa aku ingin benar-benar pulang. Merasakan kerinduan yang sangat pada kampung yang melahirkan, mengasuh dengan keras, membesarkan dengan tempaan yang tidak manja. Aku “bukan anak mami” melainkan “anak jalanan yang berandal” sampai aku menyadari aku membutuhkan “jalan sunyi”. Selain itu, hanya “rumah tangga” aku bisa meninggalkan kebiasaan buruk semasa remaja di Rawa Subur.


Apakah aku sudah benar-benar melupakan Rawa Subur dengan segala ihwal yang kualami atau kulihat dulu? Kenangan atau ingatan tak akan hilang seluruhnya. Karena ia membekas. Bagaimana bisa ingatan tentang anak-anak berjudi persis di bawah jendela rumahku? Perjudian yang menggunakan nisan sebagai meja/lapak di TPU Kebon Jahe. Atau sebilah badik menancap di paha orang karena soal sepele di lingkaran judi. Juga ujung pisau merobek pipi dan tembus, karena kecurangan dalam berbagi hasil pencurian.


Bahkan, tatkala seorang penjahat yang diseret dari dalam rumah, lalu dimasukkan ke karung kemudian ditembak. Ini terjadi  pada masa penembak misterius (petrus). Semua peristiwa tersebut bukan saja tak bisa dihapus, malah membekas dan membuatku traumatik. 


Hidup dalam lingkup keras dan kekerasan, bertahun-tahun membayangi perjalanan hidupku. Menjadi bayang, serupa bayangan diri di air kolam. Tetapi, aku tak bisa membenci masa laluku itu. Justru, entah kenapa, aku masih merindukan. Aku ingin pulang, aku pulang, ke kampung di mana aku dilahirkan. Aku pulang. Apakah pulang dalam arti batiniah, kerinduan, fisik, ataukah pulang secara metafisik. Pulang ke haribaan. Peluk ibu, ke dekapan ibu.


Inilah yang melatari aku menulis puisi panjang bertajuk “Pulang” ataupun bertema kerinduan balik ke tanah kelahiranku, Rawa Subur. Saya menulis banyak puisi ihwal Rawa Subur baik kerinduan atau hanya kenangan. Semisal puisi "Rawa Subur, 60 Tahun Kemudian" yang lumayan panjang. Begitu pula puisi "Pulang" yang 50 bagian. Kedua puisi tersebut bertitimangsa 2018 dan 2019, sampai terkini: 2022.


Ada yang menyarankan agar puisi-puisi disatukan dalam buku. Saya pun mengumpulkan: baik dari laptop, ipad, flashdisk, maupun media sosial (FB/IG). Semula aku rencanakan  judul buku ini “Pulang” namun karena kata (diksi) itu sudah banyak yang menggunakan, maka aku ubah dengan judul buku yang kini ada di tangan pembaca. Yaitu Ketika Aku Pulang


Kata "ketika" sepadan dengan "saat" atau "kala", yang berarti dapat setelah, sekarang, ataupun kelak (nanti, akan datang). Dan, pasti, pulang akan dialami atau dirasakan oleh setiap orang. Setiap bernama makhluk bernyawa.


Ketika pulang adalah segala pengalaman yang telah menjadi masa lalu akan dikenang. Pulang secara ruh berarti tiada lagi masa lalu dan kenangan itu. Ketika aku pulang, benar-benar kembali kepada masa lampau atau ke masa datang. 


Perubahan dan hal-hal teknik dalam penerbitan buku ini misalnya soal judul yang telah kusebut di atas maupun pengumpulan puisi untuk buku ini, karena hasil diskusi dengan teman dan orang dekatku. Baik saran langsung maupun komentar yang kuterima. Saatnya aku berterima kasih kepada Endri Kalianda, Lukman Hakim Daldiri, Arman AZ, Himawan Ali Imron, Ramadhan Bouqie, D. Zawawi Imron, Muchlas E. Bastari, Zul Irianto, Bachtiar Basti, Arief Mulyadin, Iberahim Bastari, Antoniyus Cahyalana, Anwar Putra Bayu, Ahmad Gaus, Denny JA, Helmi Fauzi, Asrian Hendy Caya, Nanang R Supriyatin, Mustafa Ismail, Saptarini, Agusri Junaidi, Alfariezie, Erika Novalia Sani, Yon Bayu, Yose Rizal Manua, Yozi Rizal, Ahmadun Yosi Herfanda, Eddy Pranata PNP, Iyut Fitra, Hermawan AN, Fatin Hamama, Nena Kinanti .*


Karang Anyar-Lampung Selatan, 31 Januari 2021


____
Redaksi: tulisan ini merupakan pengantar pembuka buku puisi Ketika Aku Pulang. Bagi yang berminat mengoleksi buku ini dapat menghubungi Isbedy Stiawan ZS.

LIPSUS