Cari Berita

Breaking News

Ojo Dibandingke dan Pesan Istana

INILAMPUNG
Rabu, 31 Agustus 2022

 


Farel saat di Istana Negera, HUT RI ke-77 


  • Oleh, DR Salamun, M.Pd.i
  • Dosen, dan Tinggal di kaki Tanggamus - Lampung



JANGAN dibandingkan itu terjemah dari kata ojo dibandingke yang berasal dari kosa kata bahasa jawa. 


Tulisan ini bukan semata-mata tentang lagu yang sedang viral, bahkan sampai mendapatkan kehormatan tampil di Istana Negara dalam rangkaian ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 77 pada 17 Agustus lalu. 


Namun sepertinya menjadi kurang seru jika penulis tidak memulai narasi ini dengan sedikit memberikan pemaknaan atas peristiwa bersejarah tersebut, yang semoga menjadi bagian cerita bersejarah penuh makna tidak saja bagi seorang Farel Prayoga, tapi tentu juga para pelaku sejarah yang terlibat baik secara aktif maupun pasif dalam peristiwa tersebut.


Dalam perspektif hermeneutika, peristiwa “ditampilkannya Farel Prayoga di Istana” ini sebagai teks dan Presiden Jokowi sebagai author (penulis) atau persisnya adalah yang membuat teks. Kuasa sebagai author tersebut didasarkan pada kuasa yang diberikan oleh konstitusi yang diberikan kewenangan sebagai “penguasa Istana Negara”. 


Tentu kemudian konteks pemahamannya akan sangat tergantung oleh khalayak ramai sebagai reader (pembacanya). Setiap teks yang sudah diproduksi, sejatinya author (penulis) sudah mati, berjuta makna akan diberikan oleh para reader-nya.


Menurut saya tidak ada yang salah dalam peristiwa tersebut. Namun siapapun berhak memberikan tafsir atau pemahaman atas teks (peristiwa) tersebut, baik yang suka dan merasa terwakili maupun yang tidak suka atau menganggap Istana dan terutama momentum upacara hari kemerdekaan sebagai sesuatu yang sakral, tentu peristiwa tersebut menjadi tidak lazim atau setidaknya baru terjadi sepanjang sejarah. Menurut hemat saya, setidaknya ada tiga makna penting dari peristiwa tersebut. 


Pertama, dari lirik lagu ojo dibandingke (jangan dibandingkan) tentu ada pesan yang ingin disampaikan oleh Presiden Jokowi yang kemudian bisa ditangkap oleh siapapun apakah kepada “atasannya” dalam skala lokal nasional maupun global internasional. Kepada siapa sesungguhnya pesan tersebut ingin disampaikan, secara persis tentu hanya Pak Presiden yang tahu. 


Kedua, Presiden Jokowi ingin menjadikan Istana menjadi tempat yang ramah bagi rakyatnya. Beliau sering mengundang banyak elemen masyarakat, meskipun tentu secara teknis lebih sebagai perwakilan-perwakilan. 


Ketiga, Presiden ingin memberikan apresiasi atas prestasi anak bangsa yang di antaranya dalam bidang ekonomi kreatif. Hal itu ditunjukkan dengan diterimanya sebuah karya seseorang oleh masyarakat luas dengan indikator viral. 


Ya, kata viral hari ini menjadi mantra sakti yang sering menjadi pertimbangan para pembuat konten. Kadangkala menjadi sesuatu yang negatif jika dimaknai secara kurang bijaksana, yang penting bisa terkenal dan viral. Dalam kehidupan sehari-hari semangat utama dari ojo dibandingke mengandung pesan-pesan penting. 


Katakanlah dalam kehidupan secara umum dan dalam dunia Pendidikan yang kemudian menjadi bagian otoritas penulis untuk memperbincangkannya. Semua orang itu jenius. Tetapi jika Anda menilai ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, percayalah itu adalah bodoh (Albert Einstein).


Pernyataan Einstein ini perlu menjadi catatan penting bagi para pendidik, guru, ustadz, dosen, mentor, coach, trainer atau apapun sebutan yang diberikan sebagai pelabelan atas diri seseorang yang kemudian mendapatkan tugas untuk mendampingi peserta didik, siswa, santri, trainee atau pembelajar apapun dalam arti yang lebih luas. 


Psikolog dan peneliti dari Harvard, Howard Gardner, dikenal karena telah mengembangkan teori kecerdasan berganda. Bobbi DePorter dkk (1999) merangkum pemikiran Gardner tersebut dalam Quantum Teaching dan dialihbahasakan oleh Ary Nildari (2010) dengan SLIM-n-BIL. 


Spasial-Visual; berpikir dalam citra dan gambar, Linguistik-Verbal; berpikir dalam kata-kata, Interpersonal; berpikir lewat berkomunikasi dengan orang lain, Musikal- Ritmik; berpikir dalam irama dan melodi, Naturalis; berpikir dalam acuan alam, Badan- Kinestetik; berpikir melalui sensasi dan Gerakan fisik, lntrapersonal; berpikir secara reflektif, dan Logis-Matematis berpikir dengan penalaran. 


Setiap anak manusia tentu memiliki semua kecerdasan tersebut, namun tentu saja ada yang dominan dan sedang-sedang saja dari setiap potensi tersebut. Farel atau "Farel-Farel" lainnya yang memiliki skill pada bidang musik dapat disebut memiliki kecerdasan musical-ritmik yang potensial untuk dikembangkan. 


Dalam banyak kasus, proses Pendidikan nasional kita masih mengarah kepada penguatan beberapa potensi kecerdasan saja untuk tidak mengatakan hanya berfokus pada linguistic-verbal dan logis-matematis jika dilihat dari proses evaluasi pembelajarannya. Sebut saja, misalnya, ujian nasional yang kemudian Alhamdulillah sudah dihapus.


Pertanyaan berikutnya adalah apakah pascadihapusnya ujian nasional (UN) kemudian proses pembelajaran dan evaluasinya sudah mengedepankan pendekatan multiple intelligen tersebut? Pendidikan (nasional) sebagai sebuah upaya sadar secara kolektif untuk tidak saja mencerdaskan kehidupan bangsa, namun juga tentu untuk mewujudkan generasi anak bangsa yang bermartabat tentu saja membutuhkan waktu untuk terus dilakukan penyempurnaan.


Dengan demikian, tentu kehidupan dunia Pendidikan menjadi tantangan tersendiri bagi para pemikir dan praktisi pendidikan dan pembelajaran untuk terus berkontribusi dalam memperbaiki dunia Pendidikan kita baik dari segi people/man (sumberdaya manusia), process (proses) maupun technologies (teknologi).


 Esensi merdeka belajar di antaranya adalah anak atau peserta didik diberikan haknya untuk menumbuhkan bakat, potensi dan kreativitasnya masing-masing.


Hal inilah yang kemudian menjadi agenda terpenting bagi para penyelenggara pendidikan dan utamanya adalah para pendidik yang mendapatkan amanah untuk mendampingi peserta didik untuk terus bertumbuh. Tetap memberikan bimbingan dan apresiasi atas segala aspek kecerdasan peserta didik dengan tidak membangun tembok-tembok diskriminasi dan membandingkan kecerdasan antara peserta didik yang satu dengan lainnya.


 Kecerdasan dalam hal kinestetik, attitude dan moral juga patut dibangun ketimbang hanya mengedepankan kecerdasan intelektual yang miskin karakter, misalnya. Pesan penting lainnya dari ojo dibandingke adalah dalam kehidupan keluarga. Bahwa dalam skala kecil maupun keluarga besar setiap anak memiliki kelebihannya masing-masing. 


Membandingkan anak yang satu dengan lainnya bukan tindakan tepat. Bahkan justru akan mengganggu psikologi si anak, baik ketika masih kecil bahkan seorang anak yang sudah dewasa atau menduduki jabatan tertinggi apapun. Seorang anak adalah tetap anak dan seringkali orangtua tetap memperlakukan kita sebagai anak. Tidak ada yang keliru dalam hal ini. Justru harus disadari oleh setiap anak manusia bahwa apapun pangkat dan kedudukannya, seorang anak harus tetap memperhatikan atau yang lebih tepat adalah memberikan pengabdian terbaik kepada orangtua mereka dengan akhlak yang baik bagaimanapun itu.


Dalam satu keluarga tentu selalu ada barangkali yang menjadi trouble maker (pembuat masalah). Tentu di sisi lain Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan karunia dengan menjadikan sosok yang dapat menjadi problem solver (pemecah masalah). 


Meskipun demikian orangtua dalam hal ini tidak boleh membuat “diskriminasi” perlakuan kepada putera puteri mereka. Sejatinya edisi terakhir dari perjalanan anak manusia adalah ketika seseorang sudah dicukupkan rejekinya atau dieksekusi oleh sang malaikat maut untuk menghadap Allah SWT.


Sepanjang nafas masih diberikan oleh Allah SWT tentu setiap anak manusia dalam kapasitas apapun berhak untuk terus berproses memperbaiki dirinya menjadi lebih baik atau edisi terbaiknya (best edition of himself). (**)


  • Dr. Salamun, adalah seorang mantan aktivis mahasiswa, politisi, dan kini menekuni dunia kampus sebagai dosen di STIP Pringsewu. Menempuh pendidikan doktornya di UIN Raden Intan, Lampung.
  • Artikel ini pernah tayang di KOMPAS,( 29/08/2022),


LIPSUS